Di atas pesawat komersial milik armada Amerika, seorang pria asal Asia terlihat tergopoh-gopoh membawa sebuah tas besar. Di belakangnya seorang perempuan muda menggendong bayi yang baru berusia satu setengah tahun. Tangan kiri pria itu menenteng tas besar sedangkan tangan kanannya menggantung pada kain segitiga, kayaknya pasien patah tangan.
Di pintu masuk, pramugari berwajah tegas menghardiknya. \”Itu tak bisa dibawa masuk, terlalu besar\” Ujarnya tegas. \”\”Lalu bagaimana?\”tanya pria itu. \”I don\’t know, \” Ujar crew bule tadi. \”We will call you agent,\” tambahnya.
Pria itu mencoba memasukkan tas itu ke dalam bak kabin yang terletak di atas kepala penumpang. Seorang pria tua berdiri dan menolongnya. Dan seorang pria lainnya ikut membantu. Mereka sudah lebih dulu duduk di pesawat, dan bak kabin sudah cukup penuh. Mereka bertiga menyusun letak tas dan mati-matian memasukkan tas besar itu kedalam kabin karena ukurannya pas sekali. Setelah berupaya keras, tas itu pun berhasil masuk. Dan semua penumpang bersorak gembira.
Pria tadi beserta istri dan anak bayinya lega duduk di kursi, dan crew yang berperilaku tegas seakan tak memperdulikannya.
Pria itu adalah saya, dan perempuan tadi adalah istri saya, yang tahun 1998 kembali ke tanah air setelah lebih dari 6 tahun menuntut ilmu di negeri Paman Sam. Bodoh, lugu, ribet, namun tetap santun. Itu saya alami dan betapa gregetan menghadapi crew yang kaku dan tak melayani.
Beberapa hari yang lalu saya melihat sebuah film pendek yang dikirim teman-teman saya dari jaringan global para dekan yang dikoordinir Dekan di Yale School of Management. Di situ tergambar seorang crew yang menegur penumpang yang masih memakai ponsel di dalam pesawat. Pria itu mohon-mohon waktu beberapa detik karena kebutuhan emergency. Tetapi crew tak peduli, ponsel diambil dan dicemplungkan ke gelas kopi. Dan ia pun beranjak pergi.
Film itu ditutup sebuah pesan: Be assertive, or you loose customers!
Bukan Agresif
Dalam kamus, kata assertive diterjemahkan menjadi tegas dan assertiveness adalah ketegasan. Namun dalam literatus pendidikan, kata assertive sendiri dimaknai sebagai keberanian menyatakan apa yang dipikirkan secara jujur dan terbuka tanpa mengganggu hubungan.
Celakanya, tegas disini sering diartikan sebagai perilaku yang gamblang dan gerang. Tengoklah pendapat-pendapat tentang kepala negara yang sering kita dengan. \”Presiden tidak decisive, tidak tegas.\” Tetapi tengoklah bagaimana mereka menyampaikannya. Mereka juga tidak assertive, melainkan agresif. Persis seperti crew airlines yang memasukkan ponsel ke gelas kopi atau crew yang membentak saya lebih dari 12 tahun yang silam.
Di jalan-jalan raya di Jakarta, ribuan caci maki juga semakin sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak sabar. Sepeda motor begitu mudah membunyikan \”klakson amarah\” hanya karena kendaraan yang ada didepannya kurang sigap memacu kecepatan.
Di lain pihak kita juga banyak menyaksikan orang-orang yang membiarkan haknya dilanggar orang lain.
Beberapa hari yang lalu misalnya, guru-guru TK dan PAUD Rumah Perubahan menyelenggarakan pentas seni untuk melepas kenaikan kelas. Mereka menyewa tenda untuk panggung yang disepakati harganya sebesar dua juta rupiah, dan warnanya biru. Esoknya tenda dipasang, namun bukan berwarna biru. Apa yang dilakukan para guru? Anda benar, mereka memdiamkannya.
Hal serupa juga sering kita saksikan di check in counter di Bandara. Orang-orang yang tak berbudaya langsung merapat ke depan tanpa menghormati mereka yang sudah berada diantrean, dan petugas membiarkannya, bahkan melayaninya. Di satu pihak ada kelompok agresif, di lain pihak ada kelompok yang susah bilang \”tidak.\” Jadilah kekacauan.
Di banyak negara maju, pemerintah tidak hanya mengurus pertahanan-keamanan dan kesejahteraan saja, melainkan juga kebudayaan. Kebudayaan yang dimaksud bukan sekedar semi pertunjukan atau ekonomi kreatif, melainkan bagaimana masyarakat saling mengikat diri, membentuk spirit kesatuan. Dan tanpa assertiveness ikatanpun pupus. Assertiveness ditanam sejak usia dini dan dipelihara dalam kehidupan sehari-hari.
Hongkong dan Taiwan beberapa tahun ini gencar mengkampanyekan kata terima kasih sambil tersenyum. Maklum mereka memang malas tersenyum, padahal ekonominya hidup dari …., sebaliknya, pada tahun 1989, masyarakat Jepang digemparkan oleh buku \”Japan That Can Say No\” (\”No\” to …) yang ditulis pemimpin senior LDP, Shintaro bersama almarhum pendiri Sony, Akio Morita. Pasalnya, orang-orang Jepang terlalu mendiamkan dan susah bilang tidak. Jadi suatu bangsa bisa berubah menjadi agresif, dan lainnya pasif. Pada tahun 1996, buku serupa ditulis di China: China Can Say No.
Orang-orang yang pasif menghormati maunya orang lain, bila gilirannya disambar orang lain ia membiarkan. Tetapi pada saat bersamaan mereka tidak menghormati dirinya sendiri. Sebaliknya, orang-orang yang agresif memicu konflik. Kalau gilirannya diserobot ,mereka rela berkelahi dan mengeluarkan kata-kata yang merendahkan martabat orang lain. Ia terlalu respek terhadap dirinya sendiri.
Ditengah-tengah ada kelompok pasif-agresif yang sarkastis. Tidak terima diserobot, tetapi tidak berani menegur atau memperbaiki cara-cara yang tidak tepat. Mereka ngomong kasar, sinis, tetapi tidak di depan orang yang bersangkutan. Gerundelnya di belakang, beraninya hanya pada lantai di tanah, atau dinding di tembok dan pada teman-teman yang tak melakukan.
Di Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Skandinavia, juga di Thailand, assertiveness diajarkan di sekolah-sekolah sebagai wadah pembentuk karakter dan kepribadian. Dengan bekal assertiveness, bawahan akan membiarkan atasan korupsi, bahkan di kampus sekalipun, dosen-dosen yang tidak memiliki assertiveness membiarkan rektornya korupsi. Paling-paling hanya gerundel di belakangnya. Sedangkan mereka yang berani berbicara terlalu keras. Akibatnya kampus hanya maju dari segi gedung-gedung yang tumbuh cepat, padahal di balik itu terjadi peristiwa besar yang sungguh merusak.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan