Beberapa tahun yang lalu saya pernah menulis tentang pengalaman saya sebagai guru. Di situ saya teringat dengan cerpen “Oemar Bakri” yang ditulis Fajar Gitarena, seorang guru SD di Jogjakarta. Ia bercerita tentang seorang guru yang sudah 30 tahun mengabdi dan akan segera pensiun. Namun kendaraannya tetap sama: sepeda motor tua yang mogok dan bannya sudah menipis.
Saat motornya akan dijalankan untuk menghadapi pelepasan pensiun, Oemar Bakri menghadapi masalah. Bannya bocor, padahal lubang tambalannya sudah banyak. Di tanggal tua itu ia tak punya uang. Maka ia pergi ke bank. Naik bis tak perlu bayar, karena sopir dan keneknya dulu murid-muridnya. Di bank ia juga ditolong saat antre, karena pimpinan cabangnya mengenalinya sebagai gurunya. Namun saat pulang, uangnya dirampas copet. Ia lapor polisi dan polisi yang menangkap copet beserta copetnya ternyata murid-muridnya juga.
Itulah realita yang dihadapi seorang guru. Murid-muridnya ada dimana-mana. Ada yang sukses menjadi pengusaha dan manager, namun tak sedikit yang harus menguras keringat hidup di jalan. Ada yang jadi penegak hukum namun juga ada yang ditangkap aparat karena melanggar hukum.
Kampus dan sekolah mendidik yang baik-baik, namun hasilnya siapa yang tahu? Anak-anak kita tidak hanya belajar dari kita, melainkan juga pada orang-orang dimana mereka berada. Demikianlah yang saya alami, punya murid di KPK, Kepolisian, dan Mahkamah Agung yang sangat reformis, namun kemungkinan juga ada yang menjadi tahanan mereka.
Alam semesta tidak berjalan sendiri-sendiri. Kita semua saling berinteraksi, dan apa yang kita lakukan akan menimbulkan akibat-akibat. Seorang yang berbuat harus rela bertanggung jawab. Menerima hukum sebab-akibat berarti menerima karma. Tak bisa menghindar, kendati bisa memutar-mutar menyulitkan pemeriksa, menyeret orang lain yang tak bersalah. Tetapi seperti obat nyamuk yang tidak basah, ujung kepalanya bisa terbakar juga.
Misalokasi
Korupsi di kampus belakangan juga ramai diberitakan. Dan sebagai pendidik saya tentu ikut merasa malu dan terpanggil untuk menegakkan dan mengembalikannya. Tetapi sistem politik seperti ini tampaknya sungguh merepotkan. Orang-orang kampus yang mau jadi pimpinan harus ikut melobi mentri, karena mentri punya suara yang besar. Melobi mentri berarti menemui tokoh-tokoh politik.
Demikian pula anggarannya. Sejak dunia pendidikan mendapatkan alokasi anggaran yang besar, ada tendensi untuk mengalihkan “spirit of entrepreneurship” yang 10 tahun lalu didengung-dengungkan menjadi “spirit of bureaucracy”. Dulu, anda tentu masih ingat, di baliho-baliho besar di depan kampus-kampus PTN terpampang tulisan pengumuman pemilihan calon Rektor yang isinya mencari orang-orang yang memiliki jiwa kewirausahaan untuk memimpin kampus.
Artinya Rektor harus pandai mencari uang dari fundraising, menjual patent dan seterusnya. Lihat saja bagaimana Business Schooldi NUS (Singapore) memiliki gedung yang megah bernama gedung Mochtar Riyadi, atau Warthon School yang memiliki professor dengan sponsor Sukanto Tanoto. Mereka mencari dana agar bisa menghasilkan pendidikan kelas dunia yang berbobot.
Tetapi tengoklah apa yang terjadi saat ini? Rektor-rektor tertentu mencoba menjual “independensi” mimbar ilmiahnya agar menjadi satker (satuan kerja) Depdiknas. Alih-alih memperbesar resources secara entrepreneurial, mereka justru beralih ke negara dan melobi ke pejabat dan parlemen untuk mendapatkan anggaran negara. Selebihnya, anda tentu tahu sendiri apa akibatnya.
Melobi uang negara dewasa ini berarti melobi pengambil keputusan anggaran aparatur negara, berarti mereka harus mendekat pada pelaku-pelaku politik, partai politik dan aroma uang pun tercium. Yang pasti mereka akan bertambah kuat secara politis karena uang sudah berbicara. Teori perilaku mengatakan, penjahat keuangan enggan berhubungan dengan banyak orang. Mereka hanya ingin “memelihara” orang yang sama.
Apa akibatnya sistem yang demikian bagi sistem pendidikan di Indonesia ? Kampus-kampus akan tak bebas lagi berpikir, para pemimpin tak bebas dari kesucian ilmiah, pengelolaan keuangan semakin tersentralisasi, pemimpin tertinggi dapat menjadi sangat otoriter, bahkan akan terjadi pemborosan dan kebocoran keuangan secara besar-besaran. Kalau ini dibiarkan governance structure akan hanya menjadi bagian dari pencitraan.
Pendidikan Indonesia akan semakin jauh dari pemupukan modal insani. Terjadi misalokasi besar-besaran dari uang untuk mendidik – menjadi uang untuk pembangunan fisik. Beasiswa sulit dikorupsi, tetapi bisa diperlambat pembayarannya. Tetapi gedung-gedung fisik dan peralatan, mudah diambil komisinya, diberi mark up dan seterusnya. Maka tak mengherankan bila para koruptor lebih tertarik membangun gedung-gedung super besar ketimbang memperbaiki mutu tenaga didik.
Alokasi anggaran pun akan begitu sulit mengalir ke bawah untuk membiayai operasional pendidikan pada tingkat fakultas atau program studi. Jangan berharap gedung-gedung bersih fakultas yang dulu Anda saksikan bisa Anda nikmati di hari esok. Pengalaman saya, saat ini saja untuk mendapatkan tissue toilet saja susah setengah mati.
Di negara-negara yang kaya saja, pemerintah tak mau membiarkan kampus-kampusnya steril dari masyarakatnya. Apalagi di negara yang gedung-gedung SD nya masih banyak yang harus dibangun. Kampus harusnya dipimpin orang-orang berdedikasi tinggi, dengan integritas yang tak bisa dibeli oleh kekuasaan.
Kalau sudah demikian, orang-orang kepercayaan politisi akan menguasai kampus, dan orang-orang “lugu” yang dipercaya menjadi wali amanah akan repot menghadapi “jago-jago silat” yang pandai menekuk lutut mereka. Menghadapi orang-orang yang “street smart” itu diperlukan sebuah wawasan dan juri yang tak bisa dibeli pula.
Tak bisa dibeli, bukan hanya oleh uang, tetapi juga oleh mulut manis, cara-cara halus, kiriman bunga, perhatian atau kehadiran dalam acara-acara tertentu. Tengoklah ke bawah, dan bicaralah dengan unit-unit terkecil, maka kebenaran akan ditemukan disana.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan