Tanpa disadari, peta belanja dan perdagangan Indonesia tengah berubah, sementara pikiran kita masih sama seperti dulu, yaitu : Jakarta metropolis, dan Surabaya pintu gerbang menuju Indonesia Timur. Indonesia tengah berubah menjadi kumpulan kota-kota besar, dan dalam waktu dekat diperkirakan 3 dari 5 penduduk Indonesia hidup dalam suasana perkotaan. Hal serupa juga terjadi di dunia, sehingga kesejahteraan suatu bangsa kelak akan ditentukan oleh bagaimana para walikota menata kotanya, bukan semata-mata urusan kepala negara.
Saya tidak tahu bagaimana nasib petani di masa depan. Sepertinya petani-petani tidak akan mewariskan keahliannya kepada anak-anak dan cucunya karena kehidupan sebagai petani Indonesia saat ini sungguh kurang diperhatikan : harga gabah rendah, tak boleh mahal. Subsidi pupuk tidak mereka nikmati, melainkan diambil pabrik-pabrik pupuk. Pedagang pestisida merayu mereka memakai bahan-bahan beracun sehingga semua predator akan ikut mati, kecuali tomcat. Wajar bila petani bekerja keras agar anak-anaknya menjadi sarjana dan meninggalkan pertanian.
Hub Cities
Berubahnya kehidupan menjadi urban antara lain ditandai dengan munculnya hub cities, yaitu kota antara atau kota penghubung yang mempertemukan mereka ke kota-kota yang lebih besar, mega city. Pemicunya amat beragam, mulai dari munculnya kekuatan-kekuatan ekonomi baru seperti tambang, kebun, dan hasil laut atau perbaikan infrastruktur seperti di Aceh dan tentu saja jadwal penerbangan pesawat-pesawat perintis. Ekonominya berkembang pesat, tetapi sampah dan kriminalitas menjadi masalah besar.
Inilah daftar hub cities yang saya amati dari perjalanan udara lima tahun terakhir ini. Hub cities menjadi kota pesinggahan sehingga bisnis perhotelan menjadi marak dan Anda pun kesulitan mencari kamar untuk menginap. Kota-kota itu adalah Ambon, Makasar, Manado, Balikpapan, Medan, Aceh, dan Cirebon. Daftar hub cities ini bisa terus bertambah sejalan dengan geliat ekonomi danbreaktrough yang dilakukan para entrepreneur di masing-masing kota.
Makasar adalah hub cities yang paling menarik, terutama setelah dibukanya pusat hiburan Trans Studio yang penuh lampu dan berada di tepi pantai. Makasar telah berubah menjadi kota yang padat dan super sibuk, menarik pengunjung dari Kepulauan Maluku, Manado, Maluku Utara, dan Pulau Jawa.
Kalau orang dari Ambon pergi ke Makasar, maka penduduk dari pulau-pulau terpencil di Maluku justru berlibur ke Ambon. Penduduk dari Saparua, Buru, Key dan pulau-pulau kecil lainnya berlomba-lomba datang mencari kerja ke Ambon pasca kerusuhan. Hal serupa juga terjadi di Ternate yang dipenuhi penduduk dari berbagai pulau di Maluku Utara, mulai dari Halmahera, Tidore, sampai Morotai. Jadwal pesawat di Ternate meningkat pesat 2 tahun terakhir ini. Sementara orang-orang dari Ternate justru berlibur ke hub city lainnya, yaitu Manado dan Makasar.
Di Kalimantan, hub cities tampak di Balikpapan yang menjadi pusat transit kedatangan pesawat dari kota-kota tambang yang baru terbentuk sepuluh terakhir ini. Berau, pusat tambang batu bara yang mulai bergeliat menjadi kota yang serba terbatas, Tarakan, Samarinda, dan kota-kota kecil lainnya semua berpusat ke Balikpapan sebelum terbang menuju kota-kota lainnya.
Di sebelah tengah sebenarnya masih ada Lombok yang memiliki bandara internasional baru, namun arah gerakannya belum terlihat apakah ia mampu menarik bisnis dari kota-kota sekitarnya di NTT dan NTB, menggantikan Surabaya dan Denpasar. Dulu orang-orang Lombok memplesetkan arti NTB, sebagai “Nasib Tergantung Bali”. Tetapi kini Lombok akan menjadi penentu bagi masa depannya sendiri.
Disebelah barat ada Banda Aceh yang menjadi hub dari kota-kota di sekitarnya : Meulaboh, Tapak Tuan, Lamno, Bireun, Lhoksemawe, Sigli, dan Sinabang. Pasca Tsunami Aceh memiliki infrastruktur jalan darat dan pelabuhan laut yang sulit dikalahkan oleh propinsi-propinsi lain. Jalan-jalan besar yang dibangun oleh pemerintah Amerika Serikat dan konsorsium Uni Eropa kini mampu menghubungkan kota-kota kecil itu ke Banda Aceh. Ini menjadikan Banda Aceh tumbuh menjadi kota dagang yang sangat ramai dengan bangunan-bangunan hotel baru. Kalau dilengkapi dengan industri-industri manufaktur baru setelah Gubernur baru dilantik nanti, Banda Aceh pasti akan menjadi kota hub yang menarik.
Kegelisahan kota di Banda Aceh memang belum mengganggu Medan yang juga menjadi hub yang bertarung dengan Banda Aceh. Medan terlalu tangguh untuk dikeluarkan dari daftar hub cities Indonesia mengingat daya dukung perekonomiannya yang berasal dari sektor pertanian, perkebunan dan hasil laut, ditambah dengan entrepreneurship yang cukup dominan di kalangan inang-inang, etnik melayu, dan keturunan Tionghoa yang terkenal ulet.
Di Pulau Jawa, perhatian saya tertuju pada Cirebon. Ini adalah hub city yang super ramai dan padat. Ia menjadi pilihan bagi para pendatang dari berbagai kota di propinsi Jawa Barat – Jawa Tengah, mulai dari Kendal dan Tegal, hingga kota-kota di sekitar Bandung. Selain mulai sulit mendapatkan kamar hotel, Cirebon juga dipadati truk pengangkut bahan-bahan baku ke pabrik semen dan pabrik genteng. Tetapi jarak Cirebon dan Jakarta, semakin hari semakin pendek dan menjadikan ekonomi kota ini semakin bergeliat.
Perubahan-perubahan mendasar pada sejumlah kota-kota lain juga tengah terjadi di Lampung, Padang, Pekanbaru, Palembang, Bandung, Semarang, dan malang. Bahkan juga di Sorong dan Jayapura. Semua ini berpengaruh kuat pada bagaimana Anda menjalankan roda usaha, membuka outlet atau mengatur logistik menembus konsumen-konsumen baru dari kota-kota tersebut.
Yang jelas di hub cities akan terjadi ledakan permintaan terhadap kesejahteraan, mulai dari perumahan, perhotelan, sambungan telepon, dan kapasitas BTS, pusat-pusat belanja, pengolahan dan pembuangan sampah, pendidikan dasar (anak-anak), sampai gadget, asuransi, perbankan dan jasa-jasa keamanan. Saya akan lanjutkan perubahan tentang mega cities minggu depan. Yang jelas ia akan berpengaruh pada cara para pemimpin menggerakkan perubahan dan mendistribusikan kesejahteraan.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan