Tiga tokoh perubahan pekan lalu bertemu di pendopo kami di Rumah Perubahan. Ketiganya adalah CEO yang sama-sama dipercaya publik berhasil membawa perubahan. Yang pertama, CEO yang kini Menteri BUMN, Dahlan Iskan. Kedua CEO Garuda Indonesia, Emirsyah Satar dan yang ketiga pemimpin baru Bank BJB, Bien Subiantoro. Bien Subiantoro, mantan Direksi Bank BNI yang kini memimpin BJB, membawa sekitar 100 orang staf dan jajaran pemimpin Bank BJB untuk menghadapi perubahan demi perubahan yang dia pimpin.
Mereka belajar dari para tokoh perubahan bagaimana menghadapi perubahan. Menurut Macquarie Equities Research pada laporan yang diterbitkan 2 Februari 2012, Bank BJB pantas mendapat perhatian. Bank ini, menurut Macquarie, telah memasuki tahapan baru: starting new chapter.
Bank Nasional
Seperti kebanyakan bank milik pemerintah daerah lain, Bank BJB juga mengalami pergulatan internal yang hebat. Namun beruntung BJB berhasil keluar dari dilema-dilema kedaerahan dalam sebuah pertarungan yang panjang. Terkurung dalam niche-nya yang sempit, bank-bank daerah seperti tak punya pilihan. Pemiliknya tak hanya gubernur, melainkan juga para bupati.
Selama bertahun-tahun bank daerah telah menikmati pasar yang captive, yaitu pemerintahan- pemerintahan daerah. Bank daerah adalah ibarat kasir bagi pemerintah provinsi dan kotamadya/kabupaten. Pegawai-pegawai pemda otomatis menerima gaji dan sekaligus menjadi nasabah bank daerah di wilayahnya. Bank Indonesia menginginkan bank-bank daerah menjadi local champion di wilayahnya masing-masing. Namun, sejalan dengan waktu, danadana milik pemerintah daerah ternyata juga diminati bankbank nasional dan bank-bank asing.
Nasabahnya juga demikian, menjadi sasaran empuk bank-bank swasta dan bank-bank nasional. Di lain pihak iklim demokrasi dan pasar bebas telah membuat bank-bank daerah kesulitan mempertahankan teritorinya. Ada banyak kasus yang menunjukkan para bupati dan wali kota tidak 100% setia pada bank miliknya. Bila Pak Wali Kota atau Pak Bupati tersinggung, kas daerah bisa dipindahkan seketika ke bank lain.
Namun bila masalah-masalah seperti itu tak ada, bank daerah menjadi terlalu nyaman. Anda bisa bayangkan masih banyak bank daerah yang warna kedaerahannya sangat kental. Maaf, bukan kental corak budayanya, melainkan kepentingan orang per orangnya. Artinya, mereka enggan mematuhi perintah hierarki. Rotasi karyawan menjadi sangat sulit karena masing-masing mempunyai hubungan dengan penguasa setempat.
Bukan hal yang luar biasa bila CEO bank daerah ditelepon bupati hanya karena soal pindah memindahkan karyawan. Inilah suasana yang saya sebut sebagai “budaya kucing” dalam buku Cracking Zone. Dana mudah pindah tangan, karyawan sulit ditangani, dan produknya tidak jelas. Mungkin di daerah Anda, manajemen bank-bank daerah tidak seekstrem itu.Tetapi secara umum demikianlah pergulatan sekitar 12 orang CEO bank daerah yang “diimpor” para gubernur dan bupati dari bank-bank nasional untuk memajukan bank-bank daerah.
Sudah begitu, para CEO pun masih harus berhadapan dengan persoalan governance yang meletihkan. Jadi mereformasi bank-bank daerah, menjadikannya regional champion, apalagi menjadikannya national champion bukanlah persoalan sederhana. Ke atas mentok, ke kiri tembok, ke kanan kawat berduri. Namun bukan CEO namanya kalau mereka mendiamkannya.
Mungkin BJB dapat menjadi sumber pembelajaran yang baik bagaimana bank asal daerah milik pemerintahan daerah berhasil keluar dari kusutnya semangat kedaerahan yang sempit, menjadi bank nasional yang kompetitif dan sehat. Bila pada akhir 2009 asetnya baru Rp32,41 triliun, kini sudah di atas Rp 53 triliun.
Good Governance
Tentu saja semua kemajuan berasal dari adanya good governance. Menjadi kas daerah bukan berarti penguasa-penguasa daerah bebas memasukkan tangannya kepada operasional perbankan. Demikian pula bukan berarti eksekutif bebas semaunya memimpin. Namanya bank, tentu saja harus ditangani secara prudent. Maka sudah pasti bank daerah perlu bekerja keras mendapatkan CEO—dan tentu saja jajaran direksi yang solid dan bersih.
Dulu pemimpin-pemimpin daerah bebas memilih orang, sekarang pemerintah daerah “beruntung” karena mereka harus mendapat persetujuan bank sentral untuk mengangkat direksi. Direksi yang sudah diputuskan RUPS bisa saja tidak jadi terus bila Bank Indonesia menemukan catatan-catatan khusus tentang kandidat tersebut. Setelah itu CEO harus berani memutuskan ke mana banknya diarahkan.
Sudah pasti ia hanya punya dua pilihan: Mendiamkan hidup di masa lalu yang nyaman dengan “budaya kucing” atau keluar dari belenggu masa lalu dan menjadi “cheetah”yang siap berlaga di medan tempur. Yang pertama berarti tidak memerlukan perubahan. Strateginya cukup survival. Untuk yang kedua Anda butuh seorang cracker yang tidak mendiamkannya.
Strateginya: menjadi champion, pemenang! Kalau Anda menjadi cracker sudah pasti akan berhadapan dengan dua atau tiga pihak. Pertama Anda akan berhadapan dengan para “kucing” yang ingin mempertahankan comfort zone. Kedua, Anda akan berhadapan dengan dewan komisaris yang juga ingin mempertahankan ketenangan. Ketiga, Anda akan dikutuk pemain- pemain nasional yang siap menerkam pasar Anda.
Nah,bagaimana BJB keluar dari belenggu-belenggu itu? Ceritanya begitu panjang. Dimulai dari CEO terdahulu, Agus Ruswendi, yang meletakkan dasar-dasar agar BJB beralih menjadi bank nasional yang mandiri. Melalui pergulatan yang panjang ia berhasil menjadikan BJB perusahaan terbuka yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Sejak itu perubahan terus digulirkan. Change management office dibentuk untuk mempercepat transformasi. Seluruh jajaran pemimpin dibekali teknik change management.
Di era Bien Subiantoro, gerak BJB menjadi lebih solid lagi. Ia memperbarui jaringan dan teknologi informasi bank ini, memperbaikibusiness process, dan pelayanan.Seperti pada beberapa perusahaan lain yang saya ikuti, BJB memulainya dari “people”. Kompetensi budaya kerja diperbarui. Kemarin saya mengatakan pada para pemimpin BJB bahwa kini suasana baru telah terbentuk.
Bila dua tahun lalu “loading”orang-orangnya agak lambat, kini jauh lebih cepat. Mereka pun tengah terlibat dalam breakthrough project yang strategis. Kita dapat menyaksikan sebuah babak baru telah hadir dari Bandung. Kini BJB telah menjadi aset nasional yang penting dan bank-bank daerah bisa belajar bagaimana transformasi dapat dijalankan dengan penuh semangat. Kalau BJB bisa, apa iya yang lain tidak bisa?
RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/469972/34/