Bisnis dan ekonomi sesungguhnya ibarat menyetir mobil. Diperlukan cara yang berbeda agar berjaya di tanjakan. Gas sedikit dipacu lebih dalam, tetapi gigi persneling dipasang pada posisi 1 atau 2. Seperti biasa tanjakan adalah pusat kemacetan.
Di jalan tol dalam kota Jakarta , setiap kali meninggalkan pusat kota dari arah bandara menuju Bekasi, kemacetan selalu ada pada jembatan-jembatan yang menyeberang perempatan seperti di Slipi, Kuningan, dan Pancoran. Di sana jalannya menanjak, dan saya perhatikan tak banyak pengemudi yang piawai menjaga kecepatannya. Hampir semua bergerak melambat, terkesima melewati tanjakan dan mengemudi dengan cara yang sama seperti mengemudi di jalan yang datar.
Demikianlah manusia Indonesia berbisnis dan menjalankan roda ekonomi. Ketika para ekonom dan pengamat menyampaikan ekonomi Indonesia tengah berjaya, kita justru bakal menyaksikan ribuan pengusaha “terkapar” di tanjakan karena ulahnya sendiri.
Kurang Terampil
Saya tentu tidak sedang menakut-nakuti Anda, karena dasarnya saya adalah orang yang selalu optimis. Bagi saya di setiap keadaan selalu ada celah, yang berarti ada harapan. Saya pun nyaris tak pernah “stuck” di jalan tol, siap “kesasar” mencari jalan baru, bahkan berani membayar tarif tol untuk keluar – masuk. Sementara ribuan pengendara terlihat asyik dalam lamunannya bertahun-tahun melewati jalan yang sama, tak mau membayar kesulitan dengan kreativitas berpikir, atau keluar mencari jalan baru. Aneh ya? Di jalan tol kok malah macet. Dan Anda pun membiarkannya.
Seperti itulah kebanyakan pengusaha kita. Di jalan yang menanjak kok malah stuck,terkapar. Inilah realita indonesia di tengah pertumbuhan ekonomi yang dipuja-puja dunia. Kita harus akui, kita kurang terampil bermanuver di tanjakan. Kurang siap menjadi pengusaha besar.
Dua hari yang lalu saya diminta berbicara di depan Asosiasi Suplayer Matahari Department Store. Hari Darmawan, pendiri Matahari sejak zaman Belanda dulu, senior dan tetap sehat, masih aktif di assosiasi ini, kendati Matahari sudah bukan miliknya lagi. Mendengarkan seorang pembicara lain memaparkan data “How good Indonesia”, seorang pemasok besar berbisik: “Realitanya tidak seperti itu”.
Kami pun berdiskusi. Hari Darmawan mengatakan enam bulan terakhir ini retailer tengah kesulitan. Turun sekitar 30%, ujarnya. Hal ini dibenarkan oleh semua pemasok. Namun eksekutif puncak Matahari bilang begini: “Kami tidak mengalami penurunan, tetapi kami benar-benar harus bekerja sangat keras, melakukan banyak hal supaya tidak turun.”
Kompetisi di Tanjakan
Demikianlah pengusaha Indonesia di tanjakan. Sebagian besar terkapar, sebagian lagi bisa hidup normal dengan segala manuver agar tidak kesulitan, namun akan ada yang melesat mengambil bahu jalan dengan lampu hazard.
Pengusaha-pengusaha muda Indonesia yang belum berpengalaman juga akan banyak yang terkapar kalau berbisnis “as usual”. Apalagi bila berpikir enak, seakan-akan ekonomi bagus akan terbawa arus. Ekonomi Indonesia per Desember 2011 adalah ekonomi yang bagus, dengan peringkat rating kredit yang menggiurkan para investor asing, dengan cadangan devisa sebesar USD 114 miliar dan APBN Rp 7.200 triliun. Dana-dana investasi akan mengalir deras, rupiah akan menguat. Tahun ini, diperkirakan tumbuh 6,5%. Ini benar-benar ekonomi tanjakan yang menggiurkan, tetapi bisa melenakan.
Lantas kesulitan-kesulitan yang akan muncul jarang sekali dibicarakan. Saya coba bantu Anda dengan lima masalah berikut ini yang perlu Anda antisipasi.
Pertama, tanjakan itu berarti kompetisi melewati puncak. Semua orang ingin ikut ke atas, membuat tanjakan menjadi crowded. Pemain-pemain asing berdatangan. ASA (semacam lembaga keuangan mikro dari Bangladesh) segera berdiri di sini. Retailer-retailer besar dari Thailand dan Malaysia juga masuk. Merek-merek bahan bangunan, jaringan restoran, konsultan asing, dan segala pemain tumplek di Indonesia.
Kedua, kompetisi berarti perebutan pasar, Anda berbagi kue. Kuenya membesar, tetapi yang berebutan lebih cepat lagi membesarnya. Akibatnya, pelanggan Anda bisa berkurang.
Ketiga, kompetisi berarti variety. Pasar akan punya variety atau variasi pilihan yang sangat luas. Ini berarti kota-kota besar tradisional (ibukota propinsi) yang selama ini Anda bidik akan mengalami kesumpekkan. Sumu . Konsumen punya uang tetapi pilihannya jadi lebih luas, yang dibelanjakan jadi sedikit–sedikit, sementara di daerah pinggiran, di Aceh, Papua, Mataram dan Bengkulu terjadi sebaliknya.
Keempat, kompetisi mendorong harga turun ke bawah. Hanya yang melakukan restrukturisasi biaya produksilah yang akan menang.
Kelima, kompetisi juga berarti rebutan sumber daya mulai dari bahan baku sampai buruh. Ketika di satu sisi usaha Anda ditekan oleh persaingan harga, Anda juga harus menaikkan tawaran agar buruh Anda tidak hengkang.
Jadi apa yang harus dilakukan? Itulah pekerjaan rumah Anda. Ada sejuta pilihan, dan pilihan yang tepat akan mengantarkan Anda ke jalan yang benar. Pemilih yang tepat bukan hanya bertahan, melainkan menang. Jangan lagi terkapar, apalagi di tanjakan. Inilah zona baru yang saya sebut sebagai The Cracking Zone. Tumbuh, tapi penuh jebakan
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia