Pada tanggal 12 September 1962, di tengah-tengah Perang Dingin yang memisahkan dunia Barat dengan Timur, presiden Kennedy memberikan kuliah umum di Rice Stadium, Houston-Texas. Judulnya “Why We Choose to Go to the Moon\”. Sewaktu kuliah di Amerika Serikat, saya pernah bertanya kepada profesor yang membimbing thesis saya tentang situasi yang mereka hadapi di era Kennedy mengucapkan pidatonya itu, umumnya mereka menyeka keringat dingin.
Suasananya demikian mencekam, ujarnya. \”Kalau bunyi alarm, kami segera berlari ke dalam rumah, bersembunyi, dan mematikan lampu. Sampai sekarang kalau bunyi alarm saya keringat dingin. Kita tak bisa membedakan apakah itu alarm tanda datangnya bencana tornado atau pertanda datangnya kepala nuklir yang ditembakkan komunis dari bumi Kuba ke negeri ini, \” tambahnya.
John F Kennedy yang piawai berpidato mengucapkan janjinya untuk membawa Amerika keluar dari masa-masa sulit. \”Ketika bangsa-bangsa lain mengembangkan teknologi untuk menaklukkan gunung, kita justru mengembangkan misi untuk menaklukkan bulan. Kita pilih itu karena dua hal: Pertama, kita tidak ingin membiarkan Rusia melihat bumi kita dari atas Amerika. Kedua, kita mengirimkan misi ke bulan bukan karena itu mudah, melainkan karena itu sulit.\”
Tepuk tangan bergemuruh, tetapi dari bahan-bahan sejarah yang saya baca, tak sedikit orang yang menyangsikan ucapan Kennedy itu. Namun dalam hitungan tahun, tak lama kemudian Kennedy membuktikan ucapannya dengan misi Apollo. Kita tidak tahu persis apakah benar Apollo sudah mendarat di bulan, karena rumor yang beredar di berbagai media dalam dua puluh tahun terakhir menyebutkan ada sejumlah kejanggalan dari gambar yang dipublikasikan oleh NASA saat itu. Pertama, di bulan tak ada cahaya matahari, tetapi mengapa foto yang diambil ada bayangannya? Kedua, kalau di bulan tak ada oksigen, mengapa bendera Amerika Serikat tampak berkibar?
Wallahualam, kita tak tahu mana yang benar, namun saat diumumkan pendaratan itu, bangsa Amerika tampaknya mendapatkan amunisi motivasi yang kuat untuk bangkit melawan ancaman perang nuklir. Riset-riset unggulan maju pesat, dan teknologi menggeliat. kalimat yang diucapkan Kennedy terus mengiang di telinga saya,\”Kita memilih pergi ke bulan bukan karena hal itu mudah, melainkan karena sulit.”
Teknologi Sulit, Memberantas Korupsi Apalagi
Ucapan Kennedy kembali terngiang di telinga saya, saat saya mendengarkan ceramah Carol Dweck, psikolog dari Stanford yang penelitiannya pernah saya ulas di kolom ini. Ialah orang yang membedakan fixed mindset dengan growth mindset. Orang-orang yang berhasil, kata Dweck adalah orang yang mau melakukan hal-hal yang sulit. \”mereka menyukai tantangan dan mau menghadapi kesulitan, karena melakukan hal-hal yang sulit merupakan jalan setapak menuju mastery, kehebatan,\” ujarnya.
Ibarat telepon genggam, sebelum dipakai Anda menyetelnya dulu, disetting. Maka demikian pulalah otak kita. Kita pula yang menyetelnya, sadar maupun diluar kesadaran, dan hasilnya menjadi mindset. Kalau tidak disadari, mindset juga bisa disetel salah oleh orang lain dan tetap kita pakai sekalipun tidak cocok untuk kita gunakan sehari-hari. Setelan yang bisa membuat kita maju itulah yang disebut Dweck sebagai growth mindset, yang tidak mudah menyerah kala menghadapi hal-hal yang sulit. Sedangkan setelan yang membuat hidup kita sulit, disebutnya sebagai fixed mindset.
Seminggu setelah menyelesaikan tugas yang diberikan negara untuk menyeleksi calon komisioner KPK, kami bertigabelas merasa lega. Namun saat yang bersamaan baru terasa otot-otot seperti akan lepas dari tulangnya. Pagi-siang hingga malam kami memotret dan menyeleksi satu persatu dari calon yang sangat terbatas. Sampai didapat delapan kandidat. Itulah hasil maksimal yang dapat kami berikan. Namun otot terasa lemas, bukan karena tugas ini menyita waktu dan pikiran, melainkan merasakan betapa beratnya negeri ini memberantas korupsi. Hampir setiap hari kita saksikan betapa menjijikannya para penegak hukum dan politisi bersekongkol dengan para koruptor.
Banyak pertanyaan yang muncul saat menyaksikan empat-lima orang oknum anggota DPR secara paksa memasuki ruang tahanan Nazaruddin dan berciuman pipi di depan kamera. Saya sebenarnya ingin tahu apa yang mereka bisik-bisikkan di telinga Nazar. Seorang politisi senior yang mempersoalkan perginya empat orang oknum anggota parlemen itu dengan tiga bus ke mako Brimob memberikan jokes, bisikannya begini. \”tolong nanti jangan banyak omong di pengadilan ya, jangan sampai kau sebut-sebut proyek kita\”.
Saya menganggapnya jokes, tapi teman saya yang lain menimpali. \”I know who they are.\”
Saya tak mengerti apa maksudnya. Yang jelas, cara mereka, bersama-sama dengan pengacara koruptor yang hebat-hebat itu pasti membuat upaya pemberantasan korupsi yang kita titipkan di KPK menjadi amat sulit. KPK menjadi terlihat compang-camping, dirangsek mereka dari segala sisi. Saat tak mengijinkan pengacara masuk, KPK dituding tidak professional. Namun saat rekaman dibuka dan menunjukkan ketidak inginan Nazar sendiri untuk tidak didampingi pengacara, KPK dituduh kurang Percaya Diri. Kasihan sekali Ibu Pertiwi ini.
Menjadi amat lebih sulit lagi, karena orang-orang yang bersahabat dengan koruptor kakap dan yang tak malu-malu berciuman pipi dengan para koruptor itulah yang kelak akan memilih empat dari delapan nama kandidat yang kami ajukan ke Presiden di Komisi tiga DPR. Saya hanya berharap akan ada keajaiban, mudah-mudahan Tuhan memberikan mereka pikiran yang bersih, yang akan dicatat oleh sejarah sebagai sebuah keajaiban. Ya siapa tahu tiba-tiba datang sakit perut, mules-mules, atau apa sajalah. Atau bisa juga muncul jiwa besar. Seorang yang berjiwa besar itu akan maju berdiri dan mengatakan, \”karena saya memiliki conflict kepentingan, ijinkan saya kali ini tidak ikut memilih.\”
Namun bila Tuhan belum menghendaki, bagi saya itu berarti Ia memiliki rencana yang lebih besar. Bukankah hanya bangsa yang mau menghadapi hal-hal sulit yang akan menjadi besar dan teruji? Ini berarti KPK harus lebih pintar lagi menghadapi para koruptor dan jangan salah tangkap, apalagi salah menghukum.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia