Fobia Sihir Ekonomi – Jawa Pos 3 Juli 2011

Sejak Thomas Friedman menulis buku The World Is ­­Flat (2005), banyak orang percaya bahwa bumi tempat kita berpijak di abad ke-21 ini telah benar-benar berubah menjadi datar.  Teknologi telah mengubah dunia ke dalam suatu keserempakan dan saling mengisi karena semua orang sudah terhubung.  \”Meaning\” yang digelontorkan Friedman sejak tahun 2005 itu menimbulkan impak yang sangat kuat di kalangan banyak ekonom dunia, sebab bila benar  telah berubah menjadi datar, maka dampak resesi global akan sungguh menyakitkan.

Dugaan itu ternyata keliru.  Bumi ternyata belum menjadi datar.  Seperti kata Columbus, Bumi ini masih bulat, dan bentuknya masih seperti telur, belum berubah menjadi dadar atau omelet.  Matahari yang bersinar di satu titik ternyata tak dinikmati merata all a sudden seperti ramalan Friedman.  Krisis yang menakutkan yang menimpa Amerika Serikat sejak tahun lalu ternyata tak menimbulkan krisis di Asia.  di sana gelap, di sini terang.  Ketika Amerika Serikat menikmatisummer bulan Juni ini,  di Australia, New Zealand, dan Afrika Selatan justru mendekap kedinginan.

Phobia Flatter

Fobia terhadap gejala flatter, dengan cepat ditangkap di seluruh dunia.  Namun saat fobia itu menyerang kita, saya sempat mengingatkan kemungkinan kita telah salah berfobia.  Hal itu saya tuangkan dalam buku Marketing in Crisis yang terbit dua tahun lalu.  Dan ternyata kita benar, fobia flatter itu berlebihan.  Yang benar masihlah Columbus.  Bumi ini masih bulat kok.  Kita di Asia justru menikmati pertumbuhan ekonomi yang bagus, yang impaknya dirasakan saat liburan ini ketika orang-orang yang beruntung, menikmati hari liburan dengan menguasai seat pesawat besar-besaran.  Yang menikmati pertumbuhan itu orang Indonesia, India, China, dan Brazil.  Orang-orang yang biasa hanya berlibur ke Bali kini pergi ke Singapore dan Hongkong, dan yang tahun lalu ke Hongkong kini terbang ke Eropa dan Amerika Serikat.

Bahkan ketika Fobia  ini melanda IMF, tak banyak orang Eropa yang sadar bahwa mereka tengah terkena \”sihir\” kematian.  Dalam \”sihir\” itu di-believe-kan (ditanamkan kepercayaan) bahwa setelah Yunani, krisis akan merambat ke Portugal, Spanyol, Itali, terus ke negara-negara industri di Eropa Barat.  Maka, ketika ratusan ribu penduduk Yunani turun ke jalan mengamuk pada pemerintahnya  beberapa hari ini, persis seperti saat bank-bank kita ditutup IMF dalam krisis 1998, media global memberitakan Eropa dalam keadaan ketakutan.  Dana 20 miliar Euro yang digelontorkan untuk menyelamatkan Yunani disambut dingin, bukan sebuah sukacita.

Padahal fobia massal ekonomi seperti ini hanyalah sebuah sihir, yang kata Profesor Richard Wiseman, \”diciptakan oleh orang-orang \’pintar\’ agar dipercaya\”.  Mereka, lanjut Wiseman, hanyalah memiliki \”ability to make something from nothing\” yang daya kekuatannya menjadikan seseorang seperti paranormal atau cenayang yang gagah dan seakan-akan serba benar dan mampu berbicara dengan arwah, atau meramalkan kebebaran.  Sebuah kebenaran yang hanya akan menjadi benar kalau manusia mempercayainya.  Dan celakanya, perhatikanlah, hampir semua paranormal hebat punya kekuatan sihir membuat sebagian besar orang yang diajak bicara percaya kepadanya.

Nah, di Eropa, orang-orang Jerman yang sedari dulu tangannya gatal bekerja, tak memperdulikan ramalan-ramalan itu.  Maka keajaiban pun terjadi di Jerman.  Krisis yang diramalkan IMF tak menjadi kenyataan. Jerman diam-diam menjadi runner up eksportir dunia setelah China.  Pendapatan ekspor Jerman memberi kontribusi  dua pertiga dari perekonomiannya.  Ini semua dipicu oleh leadership konselor Gerhard Schroder yang berkuasa singkat antara 1998-2005, yang bersedia tidak populer, bahkan hingga ia tak dipilih kembali oleh rakyatnya karena memperjuangkan masa depan negara.  Ia memotong upah dengan mengurangi jam kerja demi menyelamatkan ekonomi, namun memberikan jaminan pengangguran. Akibatnya ekonomi membaik, dan diam-diam Jerman menguasai dua sektor yaitu permesinan UMKM yang tekonologinya  tidak mudah ditiru pesaing lain (ini berbeda dengan metode China dalam memasuki pasar dunia) danbranded economy dalam otomotif dan elektronik.

Bagaimana Indonesia?  Apakah kemajuan ekonomi kita dipicu strategi yang kuat, kepemimpinan yang tidak populis dan rela memperjuangkan jangka panjang, menurunkan pendapatan tetapi meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan, atau jangan-jangan ekonomi kita hanya kebawa arus China dan India saja?

Kekuatan SIHIR

Tak banyak pemimpin yang menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang mudah percaya pada kekuatan sihir. Tengok saja kiri kanan, satu orang latah, esoknya puluhan orang ikut-ikutan latah.  Sama seperti fenomena kesurupan massal atau hipnotisme.  Kita semua mudah sekali terseret gelombang antrian yang panjang, masuk ke dalam pusaran yang ternyata terbawa arus besar. Sayangnya sihir yang sedang kita alami ini adalah sihir negatif. Sihir tentang ancaman negara gagal, hutan belantara korupsi, ketidakpercayaan pada penguasa dan keadilan, kegagalan persekolahan, terbelenggunya birokrasi dan seterusnya. Di mana letak kemimpinan?

Bangsa yang mudah kena sihir dapat diduga adalah banga yang kurang produktif. Secara ia bekerja, matanya melirak-lirik tidak fokus pada pekerjaannya. Jalan tol bisa macet total hanya gara-gara ada mobil berhenti dan penumpangnya wanita cantik. Semua mata berhenti hanya untuk melihat.

Banyak energi habis untuk urusan yang tidak penting tapi cukup menghibur. Kita memerlukan pemimpin yang kuat yang bisa memberikan meaning baru dalam mengantar kita ke masa depan. Pemimpin yang saya maksud harus ada di segala lini. Dia memberikan hope, menyalakan lilin dalam terowongan nan gelap ini, bahwa bumi ini masih bulat, bumi ini masih berbentuk telur dan telurnya belum berubah menjadi omelette.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *