Rantai Nilai TKI – Sindo 30 Juni 2011

Setiap kali bertemu dengan tenaga kerja wanita yang akan berangkat atau baru tiba dari luar negeri di bandara, hati saya selalu miris.  Muka-muka bingung, kadang salah jalan dan dibentak petugas dengan bawaan besar  tanpa roda yang diangkat sambil tergopoh-gopoh.  Di luar negeri mereka duduk selonjor di lantai bandara beramai-ramai.  Dan begitu memasuki bandara tujuan, mereka pun berpencar, ditelan nasib masing-masing. Tetap bingung, takut, gundah, dan kurang percaya diri tampak dominan.

Padahal, pada tanggal 15 Maret lalu Bank Mandiri melaporkan total dana remmittence yang berhasil dijaring bank ini dari para TKI mencapai Rp 805 trilyun rupiah.  Perekonomian  berbagai pemerintah daerah pun menjadi lebih bergairah berkat adil kerja para TKI.  Dengan 58.547 TKI pada tahun 2006, pemprov Jatim menikmati remmittance sebanyak Rp 2,56 triliun.  Menurut Bank Infonesia, TKI menyumbang 4,4 persen cadangan devisa nasional pada semester pertama tahun lalu ( USD 3,3 miliar).

Suasana berbeda kita temui saat TKW asal Philipina pergi meninggalkan negaranya.  Wajah maaf, pembantu, sudah tidak tampak lagi diantara mereka.  Bahasa Inggris mereka terbilang baik, dandanan bak turis, rasa percaya diri sepuluh. Di setiap negara mereka bekerja selalu ada perlindungan hukum dan aturan tentang hari libur.  Kalau Anda mau lihat TKW Philipina di Singapura, setiap hari Sabtu atau Minggu pagi mereka tampak arisan di sekitar Orchard Road, di Pelataran Lucky Plaza yang banyak \”warung\” pengiriman remmitance ke negeri asal mereka.

Upah mereka relatif tinggi, jenis pekerjaan lebih terhormat, wajah bersih, dapat jaminan hari libur dan cuti dari pemberi kerja. Dukungan teman kuat.

Bahkan di Philipina, saat bahasa Jejemon (seperti bahasa Alay yang biasa dipakai anak-anak Anda dalam berkomunikasi via BBM di sini) mewabah, Menteri pendidikannya bersuara keras menentang gereja yang menggangap bahasa adalah kebebasan berekspresi.  Bagi negara, bahasa Inggris merupakan keunggulan daya saing bangsa  dalam memasarkan TKW-nya.

Bukan hanya itu, saat meninggalkan negeri tempat bekerja, para TKW berkebangsaan Philipina membawa barang pindahan dalam jumlah yang besar.  Beda benar dengan TKW kita yang hanya membawa sebuah tas jinjing plus koper besar.  Mereka membawa segala macam box yang kadang merepotkan petugas airlines.  Kalau kebagian antre di belakang rombongan TKW Philipina di Bandara Los Angeles, maka Anda pun harus siap-siap tidak kebagian memasukkan barang ke atas cabin.  Namun begitu mereka sampai di Bandara Philipina, tak satupun petugas bea cukai yang berani memeras mereka.  Jangankan dikenakan pajak bea masuk, diperiksa pun mungkin tidak.  Sewaktu saya tanyakan pada petugas setempat, mereka hanya bilang, rombongan  ini bagi mereka adalah pahlawan.

Menjadi pertanyaan bagi kita, inginkan bangsa ini mengangkat harkat dan derajat TKI nya ke tingkat yang lebih tinggi, yang lebih dihormati dan lebih percaya diri?

Peran Negara dan Pengusaha

Sudah banyak ocehan dan amarah yang kita ucapkan pada negara pemberi kerja atas perilaku mereka yang semena-mena terhadap TKI. Saat TKI dirazia, dipulangkan pemerintah, dan diperlakukan pengusaha Malaysia, atau dihukum berat kita marah pada Malaysia.  Saat TKW kita dihukum berat karena membunuh anak majikannya di Singapura, kita pun berang pada kedutaan besar Republik Singapura di Jakarta.  Dan saat TKW yang membunuh majikannya yang kita pikir semena-mena (apalagi eksekusi dilakukan tanpa pemberitahuan), kita pun mengatakan pemerintah Kerajaan Saudi biadab.

Tak pernah kita berpikir bahwa semua masalah itu adalah masalah dalam negeri kita (supply side). Dan mencaci maki, berdemo besar-besaran dan melempar telur busuk ke halaman kedutaan besar asing, atau memarahi negara-negara itu, bahkan mengirimkan nota protes diplomatik atau  mengusir duta besar  sama sekali bukanlah solusi.  Hal-hal serupa masih akan terjadi di masa depan, bahkan mungkin semakin banyak, selama cara mengelola dan mengirim TKI kita tidak berubah.

Menurut BPS, saat ini ada 6,8 persen tingkat pengangguran terbuka.  Dari mereka yang bekerja saja, sebanyak 55,1 juta orang dari total 119, 4 juta angkatan kerja masih berpendidikan Sekolah Dasar ke bawah.  Jumlah ini sangat besar.  Sudah begitu, pendidikan dasar kita, belum mampu memasukkan life skills  dalam kurikulumnya.  Life skills  adalah modal dasar bagi seseorang untuk hidup dimana pun ia berada.  Seseorang boleh saja tidak memiliki pendidikan akademik yang tinggi, tetapi tanpa life skills mereka akan tergilas oleh dinamika kehidupan.

Life skills  adalah keterampilan untuk hidup yang dibutuhkan manusia untuk mengelola emosi, rasa frustasi, melakukan inisiatif, menumbuhkan rasa percaya diri, berpikir logis dan kreatif, menyesuaikan diri dalam suasana yang berbeda, mengelola stress, mengambil keputusan, berkomunikasi dan seterusnya.  Meski dapat dipelajari orang-orang dewasa, life skills  biasanya ditanam sejak usia emas. Tak mengherankan bila life skills  menjadi perhatian WHO dan masuk dalam kurikulum child development.

Maka perhatikanlah, mengapa tenaga kerja berkebangsaan Philipina atau Pakistan yang keadaan ekonominya jauh lebih buruk dari Indonesia, dengan tingkat pendidikan yang sama kok memiliki rasa percaya diri yang lebih baik dari TKI?

Lantas siapa yang berkewajiban menanam life skills  ini? Dalam konteks struktural, jelas negara punya peran dan tanggung jawab yang besar.  Negara harus segera mereformasi sistem pendidikan dasar untuk menghasilkan manusia bermartabat, yang tak hanya memiliki kecerdasan intelektual, melainkan juga keterampilan hidup yang kuat.  Life skills tentu bukan hanya dibutuhkan untuk mengirim TKI yang bermartabat, melainkan juga merupakan modal dasar seorang entrepreneur dan akademisi yang hebat.

Tetapi kita juga tahu pengusaha tak mau bersabar menunggu hasil reformasi pendidikan yang membutuhkan dua puluh tahun ke depan.  Karena itu pengusaha punya peran besar meningkatkan standar kualitas TKI.  Saya kebetulan pernah ke tempat penampungan TKW tak jauh dari rumah tempat tinggal saya.  Setiap kali menengok ke dalam, saya menyaksikan tidak satupun PJPTKI yang saya lihat menyediakan sarana untuk melatih TKI agar siap bekerja.  Jangankan life skills, melatih mereka menyalakan mesin cuci saja tidak ada.  Mereka semua dianggap sudah bisa, namun ternyata tidak demikian.

Belajar dari Philipina

Berbeda dengan sikap kita yang cenderung reaktif dan parsial, pemerintah Philipina justru mengambil langkah strategik.  Sejak tahun 1982, telah dibentuk Philipine Overseas Employment Administration (POEA) yang sama sekali terpisah dari Depnakernya.  Sejak didirikan badan ini telah bekerja secara profesional, dan jauh dari kesan birokrat.  Cara kerja profesional seperti ini sangat dibutuhkan dan harus dipertahankan secara berkelanjutan.  Berbeda benar dengan kebiasaan kita yang selalu gonta ganti kebijakan. Saya beri contoh saja cara penanganan promosi ekspor kita yang dulu juga dibuat bergaya profesional di era Rudi Lengkong (BPEN), belakangan BPEN malah dijadikan sama dengan jajaran birokrat lainnya, bahkan kini dijadikan direktorat jenderal yang seakan-akan sama peranannya sebagai policy maker ( ketimbang badan promosi yang dinamis).

Kembali ke POEA, pemerintah Philipina membuatnya sebagai lembaga yang benar-benar menjalankan misi mempromosikan tenaga kerja ke luar negeri, memproteksi para buruh migrannya agar mendapatkan hak yang adil, meningkatkan kualitas dan melatih tenaga kerja, melakukan monitoring terhadap kepatuhan dan pelanggaran, serta pemeliharaan fasilitas.  Mereka menindak keras penyalur-penyalur tenaga gelap, apalagi yang memalsukan identitas dan usia. Beda benar dengan para penyalur TKI di sini.

POEA bukan lembaga pembuat kebijakan, juga bukan penjual perijinan.  Mereka aktif memasarkan dan menyediakan tenaga kerja yang andal untuk memasuki pasar dunia.  Hasilnya anda bisa lihat.  Philipina menjadi pemasok perawat, tenaga pendukung kesehatan, pariwisata, retail dan banyak lagi di sektor formal mulai dari Canada, Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Timur Tengah, dan negara- negara asia tenggara.  Jika pada tahun 2005, nilai remittance yang dinikmati pemerintah Philipina baru mencapaiUSD 10,7 miliar, maka kini jumlahnya telah mencapai di atas USD 20 miliar.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/409527/34/

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *