Kata-kata di atas seakan-akan menjadi mantra yang dianut oleh pengikut paham pemasaran bombastis dan kontroversial. Bagi mereka, hasil yang didapat harus bisa sekejap diraih. Bila perlu Abrakadabra! Pejamkan mata sebentar, lalu jadi.
Ajaib memang, sebagian orang mengklaim berhasil, namun harap maklum, sebagian besar lainnya gigit jari. Yang gigit jari tidak tinggal diam, mereka terus membeli–untuk–menjual lagi apa-apa yang sudah mereka beli. Jadilah mereka motivator instant-instantan yang menjanjikan keberhasilan instant.
Persis seperti orang yang dulu beternak cacing atau berbisnis tanaman Gelombang Cinta. Semua yang ditawarkan hanyalah mimpi. Pembelinya hanya berharap keberuntungan bahwa kelak ada yang membeli dengan harga lebih besar lagi. Sampai akhir musim, Gelombang Cinta dan cacing ternyata hanya impian belaka. Saat terbangun, modal besar yang ditanam sudah menjadi peti mati. Berserakan.
Saya perlu mengingatkan kaum muda bahwa segala yang fantastis, fenomenal, dan bombastis bukanlah strategi pemasaran yang tepat. Sebab tak ada sukses yang bisa dicapai dalam sekejap. Lagi pula dunia ini mengenal banyak jenis sukses. Ada temporary success dan ada long-lasting success. Jadi kejutan saja belum tentu membuat Anda sukses. Jangan-jangan itu cuma temporary success belaka. Sekali berarti, lalu mati!
Meski demikian saya merasa perlu membahas dua hal berikut ini, Controversial Marketing dan Buzz Marketing. Keduanya berbeda, namun sering disalah tafsirkan. Apalagi kemarin baru Anda saksikan heboh Peti Mati yang semula diduga cara-cara teror, ternyata hanya cara menjual buku saja.
Controversial Marketing
Kasus peluncuran buku dengan undangan berupa peti mati yang beberapa hari lalu terkirimkan oleh penulisnya kepada sejumlah media adalah contohnya. Di dunia international, salah satu pihak yang getol berurusan dengan masalah hukum dengan pendekatan ini adalah Ryan Air.
Bayangkan saja, tak lama setelah heboh bom yang diledakkan teroris di kota London (2005), Ryan Air memasang iklan dengan wajah Winston Churchill yang berkata : “Kami akan menerbangkan mereka ke pantai-pantai, ke gunung, dan membawa mereka ke kota London.”
Bagi kita, orang Indonesia yang tidak tinggal di London mungkin biasa saja membaca iklan tersebut. Saya semula mengira, pastilah negeri demokrasi seperti Inggris tak mudah marah terhadap iklan konyol-konyolan seperti itu. Tetapi yang menarik perhatian saya, pada saat iklan itu beredar, The Advertising Standards Authority menerima sebanyak 192 komplain terhadap iklan tersebut.
Komplain itu datang dari masyarakat yang tersinggung dan merasa Ryan Air telah bertingkah gegabah. “Bayangkan jika Anda baru saja kehilangan orang-orang yang Anda cintai. Dan kemudian Anda membaca iklan yang menggunakan tema terorisme (penyerangan) sebagai alat untuk berjualan, apakah Ada akan impress? Ingatlah orang-orang yang menjadi korban, yang kehilangan masa depan akibat bom itu. Terlalu dini mengaitkan iklan dengan penyerangan itu,” demikian komentar seseorang pada pesan lewat internet yang dibaca luas.
Tentu bukan hanya itu yang membuat Ryan Air sering bersinggungan dengan hukum. Iklan-iklannya memang bukan iklan image yang biasa dilakukan industri, melainkan iklan-iklan kecil dengan gambar seadanya. Terkesan murahan, namun ternyata banyak juga yang tergoda. Target Ryan Air memang bukanlah image, melainkan sales dari tiket yang berharga super murah.
Maka tak heran bila Ryan Air selalu tersandung kasus hukum. Sabena Air dan British Airways adalah dua perusahaan yang pernah menuntut Ryan Air. Terhadap Sabena (Belgia), Ryan Air menurunkan iklan yang bergambar Manneken Piss. Kalau Anda pernah ke Belgia, pasti Anda pernah menyaksikan patung anak kecil bernuansa hitam yang sedang kencing. Patung ini selalu ramai dikunjungi turis, persis seperti lukisan Monalisa di museum Louvre kota Paris. Konon saat kota Brussels terbakar, ditemukan seorang anak yang terus bekerja seperti sedang pipis, memadamkan api.
Apa yang membuat Sabena tidak terima? Masalahnya, iklan itu dilengkapi tagline: “Pissed off with Sabena’s high fares? Low fares have arrived in Belgium.”
Dengan British Airways, tuntutan hukum terjadi saat Ryan membuat naskah iklan dengan kalimat yang kasar. “Expensive Bastard!”Lalu Ryan Air mengklaim dirinya jauh lebih murah.
Bahkan katanya, “Tarif Ryan Air begitu murah sehingga tentara Inggris memilih pulang ke rumah”. Iklan itu ditayangkan dengan kreatif seorang komandan tentara IRA (Martin Mc Guinness) yang berdiri di samping Gerry Adams.
Komplain lain terjadi ketika Ryan mengklaim tarif British Air lima kali lebih mahal dari Ryan, yang ternyata hanya tiga kali saja.
Banyak lagi cara-cara lain yang juga mengundang tuntutan-tuntutan hukum. Toh semua sudah dikalkulasi. Mereka kena denda, besarnya bisa diterka, lalu dibayar. Urusan selesai. Ryan Air mendapatkan free publication. Penjualannya naik terus. Namun tentu bukan iklan yang membuat mereka sukses, melainkan tarifnya yang memang super murah. Bahkan tanpa controversial Ad pun, Tonny Fernandez (Air Asia) meraih sukses di Asia.
Buzz Marketing
Saya ingin membahas tentang topik ini lebih dalam lain waktu, namun sementara ini harus saya tutup dengan mengajak kaum muda waspada terhadap guru-guru instant yang sekarang banyak mengajarkan metode-metode bombastis. Ingatlah, tak ada sukses yang diraih tanpa kerja keras, tanpa menghargai proses.
Lagi pula tidak ada marketing jurus instant yang menyajikan ada kaya dalam semalam. Jurus-jurus yang menyajikan hal-hal itu hanyalah jurus spekulatif yang bias menjerumuskan Anda pada ujung yang tak Anda harapkan. Waspadalah!
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/404648/34/