Nasehat Anak Untuk Orang Tua – Jawapos 6 Juni 2011

Minggu-minggu ini, orangtua, sibuk memikirkan anak-anak. Liburan,  kenaikan kelas, kuliah dan jurusan,  pekerjaan yang cocok dan seterusnya.  Orangtua merasa berhak mengatur, menentukan masa depan anak-anaknya.

Pada waktu yang bersamaan saya menerima kembali mahasiswa saya dari berbagai lokasi. Mahasiswa S1 yang belum pernah menumpang pesawat, saya wajibkan pergi berdua atau bertiga keluar negeri. Jangan anda tanya dari mana uangnya, pokoknya ada keajaiban. Anak- anak petani dan PNS yang hidupnya serba pas-pasan di UI itu sekarang sudah melihat macam-macam negara:  Saudi, India, Jepang, Macau, Hongkong, China, Laos, Kamboja, Thailand, dan Vietnam. Pokoknya pergi ke negara yang penduduknya tak bisa diajak bahasa ibu mereka, dan tidak diantar oleh dosennya.

Sedangkan mahasiswa MM yang rata-rata berasal dari kelas menengah atas, yang datang ke kampus dengan mobil pribadi, saya kirim ke sebuah pesantren di Lamongan yang mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan dan kasih sayang lintas agama. Di sana mereka diajak mengasihi sesama, merawat kaum lansia yang dibuang anak-anaknya di hutan, merawat anak-anak balita yang dibuang orangtuanya sejak bayi, melakukan susur sungai, diskusi di pasar,  berdialog bersama para santri dan petani.

Yang disharingkan dalam kolom ini adalah apa yang saya dapatkan dari dialog dengan anak-anak didik. Ada kerinduan anak-anak  untuk menyampaikannya  langsung kepada orangtua, namun entah mengapa leher mereka tercekat dan suaranya tak sampai ke sanubari kita. Tentu ada banyak cerita bagus dari mahasiswa berjiwa sehat yang tak bermasalah, namun saya batasi saja pada kasus-kasus penting yang perlu kita perhatikan yang tidak hanya saya temui di UI, melainkan merata di antara Generation C di berbagai kampus di nusantara.

Jangan Paksa Aku

\”Selama bertahun-tahun hidupku hanya belajar dan menuruti kehendak orangtuaku. Mereka berpikir lebih mengetahui dan keputusannya selalu baik,\”  begitu kata para mahasiswa. Mulanya saya terkejut juga, bukankah kuliah di universitas terkemuka suatu kebanggaan?  \”Itu kebanggan orang tua, bukan saya,\” ujar beberapa mahasiswa yang mengakui bahwa dirinya cukup pandai.

Suatu hari saya meluangkan waktu mendengarkan seluruh unek-unek mereka. Hari Minggu lalu, selama dua belas jam mereka maju ke depan berbicara tentang masa lalu dan masa depan. Tentu saja, banyak mahasiswa yang jiwanya sehat yang tak saya bahas di sini, namun semakin aneh perilaku mahasiswa, semakin tertantang saya mendengarkannya.  Anda tentu ingin mengetahui apa yang saya maksud berperilaku aneh?

Begini, berpakaian tidak matching, aksesoris yang janggal. Menyebut diri handsome atau pintar dari kata-kata orangtua sendiri. Bercelana bahan kain seperti orang kantoran namun bersepatu kets. Jarang mandi, berpenampilan kumuh, aroma tak sedap. Berpenampilan religius, namun sorot matanya penuh amarah dan kata-katanya pedas.

Duduk menyendiri di sudut belakang tak berani memandang, setiap diajak bicara menunduk takut.  Diminta maju ke depan tak bisa berbicara apa-apa. Bahkan anak-anak pandai pun, ada yang saat diminta maju ke depan, terlalu banyak bergerak. Dan seterusnya.

Orangtua mungkin berpikir tugasnya sudah selesai saat anaknya diterima di universitas terkenal, seakan terjamin masa depannya. Namun sewaktu saya \”bongkar\” melalui metode \”naik panggung\” terungkaplah segala unek-unek.  Saya menemukan hidup sejumlah mahasiswa penuh larangan. Bahkan ada orangtua yang bila tahu anaknya pergi tanpa dosen akan panik dan melarang ikut.

Sebagian lagi sulit mengontrol amarah. Membanting tiga hingga enam buah ponsel atau seringkali ketinggalan dan hilang berturut-turut.  Rupanya, ibunda  sangat panik saat tak bisa menghubungi anak gadisnya. Karena itu, setiap kali hilang atau rusak, orangtua selalu menggantinya dengan ponsel baru.

Saya juga menemui satu dua rekaman-rekaman kurang sehat yang mengajarkan hanya cara mereka yang benar. Orang atau kelompok lain selalu salah dan pantas disingkirkan. Tak dapat saya bayangkan bagaimana masa depan anak-anak yang terpenjarabelief-nya, miskin perspektif, tak punya empati. Selain itu, banyak orang pintar  yang menganggap orang lain yang berhasil sebagai ancaman.

Life skill

Lantas apa hubungan antara perilaku-perilaku yang kurang baik itu dengan perjalanan ke luar negeri dan ke pesantren yang saya set di atas? Di atas pengetahuan yang dapat dibelikan orangtua untuk anak-anaknya, sesungguhnya mereka  membutuhkan life skills.  Life skills ini tidak  didapatkan anak-anak dari guru kurikulum atau orangtua  yang hanya mengejar nilai akademis, intelektual atau raport belaka.  Mereka membutuhkan guru kehidupan, dan orang tua adalah guru hidup yang paling berarti bagi masa depan anak-anak.

Apa sajakah life skill itu?  WHO pernah menyebutkan life skill adalah modal untuk hidup sehat, dan UNESCO mengatakan bangsa yang maju dan perekonomiannya memiliki daya saing adalah bangsa yang menaman life skill sedari dini.

Ellen Galinsky menyebutkan tujuh essential life skills, sedangkan yang lain menyebutkan sepuluh.  Kemampuan mengelola rasa frustasi, cognitive flexibility, focus dan self control, kemampuan mengambil keputusan dengan jernih, menimbang resiko, berpikir logis, kritis dan kreatif, berkomunikasi artikulatif, berempati pada kesulitan orang lain, kemampuan melihat dari perspektif yang berbeda, dan terakhir adalah apa yang ditemukan psikolog Carol Dweck, growth mindset yang saya bahas dua minggu lalu.

Orangtua yang memaksa anak-anaknya perlu meluangkan waktu untuk mendengarkan dan introspeksi. Anak-anak yang berhasil adalah anak-anak yang memiliki life skills, dan bangsa yang menang adalah bangsa yang punya keterampilan untuk hidup dan yang cara berpikirnya sehat. Negeri ini membutuhkan orangtua yang cerdas dan guru yang pendidik, bukan pengajar yang sekedar memindahkan isi buku.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *