Suatu hari seorang wartawan senior menawarkan saya untuk berkunjung ke rumah seorang mantan pejabat tinggi.Katanya, mantan pejabat ini senang memelihara tanaman langka,menyatu dengan alam, dan dikelilingi suasana desa.
Di kawasannya yang luas dan asri, ada rumah bacanya. Namun sewaktu saya tanya, siapa yang menjadi tujuan diadakannya rumah baca yang indah itu, teman saya mengatakan dengan datar,”Ya untuk si bapak itu sendiri.” Banyak pertanyaan muncul dalam pikiran saya mengapa rumah baca yang mengoleksi karya-karya bermutu hanya dinikmati seorang diri? Bukankah di masa kecil kita semua pernah merasakan betapa indahnya dunia ini dari buku-buku cerita yang kita lihat di perpustakaan yang dinikmati banyak orang, bukan seorang diri.
Tetapi,saya lebih terhenyak lagi saat diceritakan,bapak ini juga kolektor lebih dari 100 mobil bagus dan semua ini hanya untuk dinikmati seorang diri. Saya jadi teringat cerita seorang teman yang bekerja sebagai direktur pada salah satu agen tunggal pemegang merek (ATPM) yang menyediakan dirinya mengantar ”upeti” berupa mobil pemberian seorang pengusaha ke rumah pejabat itu. Oleh ibu pejabat, saat mobil diserahkan, dia diberi amplop sebesar Rp10.000.
Sampai sekarang dia masih menyimpan tip dari ibu pejabat sebagai kenang-kenangan yang dia bingkai di ruang kerjanya karena seumur-umur, baru kali itu dia disangka sopir. Apa yang dialami bapak tua mantan pejabat yang mulai kesepian tadi sebenarnya tidak berbeda dengan orang-orang yang namanya banyak disebut media massa belakangan ini. Beberapa mantan petugas pajak yang sedang beristirahat di rumah tahanan, seorang bidadari cantik yang tengah diperiksa polisi karena menggelapkan dana nasabah, para pengurus partai politik yang sedang diperiksa KPK, pengurus organisasi sepak bola yang baru diturunkan oleh rakyat, dan seterusnya.
Nama-nama mereka sengaja tidak saya sebutkan supaya tidak memberi ruang pekerjaan pada para pengacara yang senang mengancam dan gemar mengirimkan saya somasi. Maaf, kali ini pekerjaan Anda sedang tidak dibutuhkan. Bersama-sama dengan pengacara-pengacara hedonis yang senang pamer kekayaan dan kekuasaan, mereka semua sedang melewati fase yang disebut Brickman & Campbell dan psikolog Inggris, Michael Eysenck, sebagai ban berjalan hedonisme.
Perbudakan terhadap materi membuat mereka yang terperangkap di sana mengalami kesulitan menggenggam kebahagiaan. Apa yang mereka dapatkan membuat sulit berhenti berlari di atas mesin treadmill yang bergerak semakin cepat. Kadang saya tak habis berpikir, bagaimana mungkin mobil semewah dan secepat lari Ferrari bisa mempunyai pasar di sebuah kota yang lalu lintasnya padat merayap seperti Jakarta? Tetapi, seorang bidadari yang bekerja sebagai client service pada sebuah bank asing berupaya keras membelinya.
Tidak hanya satu, tapi dua. Teori ban berjalan hedonisme (hedonic treadmill) atau biasa dikenal sebagai hedonic adaptation theorymenemukan, manusia-manusia yang terperangkap di sana hanya akan terpuaskan sementara. Dan dengan cepat mereka akan segera jenuh. Apa yang sudah dicapai itu hanya akan membahagiakan maksimal selama tiga bulan. Setelah itu mereka akan mencari lagi materi atau kekuasaan yang lebih besar. Namun, itu pun tak berlangsung lama.
Ban berjalan bergerak terus, melaju, dan melaju. Seperti ekstasi, menuntut Anda memuaskannya. Dari mencuri hanya beberapa juta rupiah, sampai Rp1 miliar, lalu puluhan, hingga ratusan miliar, dan triliunan rupiah. Kebahagiaan materi dikejar, tak ada hentinya, barang-barang yang semula Anda upayakan dengan bersusah payah, kini tak lagi mampu membuat Anda bahagia. Anda pun memerlukan materi-materi yang lebih besar dan lebih bertenaga lagi untuk menumbuhkan semangat kebahagiaan. Tetapi, setelah didapat, Anda begitu cepat terpuaskan. Anda beradaptasi begitu cepat.
Berbagi, Sumber Kebahagiaan
Akhir tahun lalu sejumlah peneliti menemukan hasil penelitian lain yang dianggap melengkapi teori ini. Berdasarkan studi longitudinal terhadap 60.000 responden di Jerman, para peneliti menemukan tingkat kebahagiaan dan kepuasan manusia dewasa memang dapat berubah-ubah sepanjang tahun. Namun, apa yang membuat kebahagiaan mereka naik atau turun ternyata cukup menarik untuk direnungi oleh Anda yang sibuk mengejar materi. Responden orang-orang dewasa berusia antara 25-64 tahun yang diikuti selama 20 tahun itu mengalami pasang surut kebahagiaan.
Dan kebahagiaan itu ternyata bukan ditentukan oleh punya atau tidak punya materi, melainkan ditentukan oleh karakter dari partner Anda, tujuan kehidupan yang Anda pilih, prioritas hidup, gap antara bekerja dan menikmati, dan adopsi terhadap gaya hidup sosial. Ini berarti kebahagiaan Anda sangat ditentukan oleh seperti apa orang yang menjadi pendamping Anda, bukan oleh luas tanah, jenis, dan jumlah mobil yang bisa dimiliki, atau kekayaan lain.
Semakin bermasalah pasangan Anda, semakin terganggu kebahagiaan Anda. Namun, yang lebih penting lagi sebenarnya adalah prioritas personal yang Anda ambil dari keberadaan materi yang Anda kumpulkan. Apakah materi-materi dicari semata-mata untuk dinikmati sendiri atau untuk dinikmati banyak orang? Menjadikan benda-benda duniawi sebagai koleksi pribadi dan cerminan prestasi diri dapat cepat membuat Anda merasa bosan dan kembali tidak puas.
Orang-orang yang bisa berbagi dan berorientasi hidup pada kebahagiaan orang lain akan lebih berbahagia. Sama halnya dengan gap antara bekerja dan menikmati. Sepanjang jarak antara waktu yang dimiliki begitu kecil, semua yang didapat akan menjadi sia-sia. Orang-orang yang berbahagia adalah orang yang mempunyai waktu untuk bekerja dan menikmatinya. Bila gap-nya kurang dari tiga jam, Anda bisa-bisa terperangkap pada hedonic treadmill.
Jadi, buat apa bersusah payah memiliki vila di daerah sejuk, perpustakaan pribadi yang lengkap, rumah dengan kolam renang yang luas, atau dua Ferrari jika tidak pernah memberi kebahagiaan tiada henti? Bukankah memperbaiki sepuluh rumah orang miskin atau memberi beasiswa pada kaum duafa lebih membahagiakan ketimbang hanya melihat benda mati teronggok diam di garasi? Juga lebih membahagiakan membuat perpustakaan yang dibaca banyak kanak-kanak daripada hanya membuat kita kesepian dan ketakutan buku dicuri orang?
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/392962/34/