Wajah-wajah letih masih tergambar di raut insan Pertamina, tak lama setelah berhasil memadamkan api di Tangki no. 31 T 7 Cilacap. Selasa pagi itu mereka sudah bergegas pulang. Press conference sudah diberikan. Namun itu tak berlangsung lama. Angin dan hujan membuyarkan tumpukan foam yang mengubur api. Seperti mendapatkan oksigen, perlahan api naik kembali, dan semua orang tampak panik.
Bukanlah Powerhouse kalau SDMnya mudah menyerah. Meski CEO-nya bukan ”orang dalam”, insan Pertamina dapat diibaratkan sebagai Mahasiswa UI, IPB ITB, atau UGM yang dipilih secara khusus. Motonya, seperti yang terbaca di kampus IPB: ”Mencari dan Memberikan yang Terbaik!”
Kalau tentara, mereka adalah pasukan komando. Otak saja tak cukup membuat mereka diterima di Pertamina.
Hal ini pernah saya ulas dalam buku saya yang berjudul Powerhouse. Powerhouse adalah lokomotif ekonomi suatu bangsa. DNA nya bertulang besar, menjadi icon dan ber-DNA Alpha. Dalam mitologi Yunani, alpha adalah ”The first of everything”. Ia menempati urutan pertama dalam abjad.
Tak heran kalau setiap bangsa berlomba-lomba membangun setidaknya satu Powerhouse. Korea Selatan di bawah Jendral Park Chung Hee pernah membidani 8 lokomotif yang disebut Chaebol (konglomerat). Berkat Chaebol itulah ekonomi Korea bergerak ke segala arah, mulai dari banking sampai otomotif. Namun begitu terkena virus, powerhouse menjadi beban negara.
Malaysia juga jatuh bangun dengan Khazanah, Axiata, dan Petronas. Jepang sudah lebih dulu membangun puncak-puncak gunung Fuji yang menyembul ke atas cakrawala. Toyota, Suzuki, Yamaha sampai Sumitomo dan Mitsui. Mereka semua belajar dari Amerika Serikat yang menguasai dunia melalui Exxon, McD, Boeing, Microsoft, GM, Apple, dan P&G.
Apa yang membuat powerhouse berjaya?
Jawabnya: Semua kekuatan harus berada dalam one team, one spirit. Lihat saja bagaimana negara-negara maju itu mati-matian membela powerhousenya kendati digerogoti dan dicaci maki oleh para politisi yang marah-marah karena proyek-proyek pribadinya gagal menembus dinding-dinding sistem yang dibangun profesional powerhouse.
Maka menarik disimak bagaimana sikap para politisi saat powerhouse bangsanya menghadapi musibah. Apakah mereka membantu mengirim foam penyejuk untuk mematikan api, atau justru mengirim badai agar api kembali bertiup dan terbakarlah seluruh kilang?
One Spirit
Prinsip one spirit ada di sejumlah anggota dewan yang prihatin. Tetapi yang lain bersikap sebaliknya. Sejak tag line Pertamina yang bunyinya: “Pertamina Untung – Bangsa Untung”, sikap negatif mereka sudah jelas. Tag line itu mereka hina. Lalu ketika pembersihan dilakukan Pertamina di depot logistiknya di Cakung, sampai terjadi kebakaran di sana dan ketika sistem pengendalian komputernya down, mereka juga mentertawakan Pertamina. Direksi yang lama mereka kritik, penggantinya pun ditertawakan. Setiap ada kejadian mereka ingin buru-buru mengatakan: Ganti saja lagi. Ganti lagi dan ganti lagi.
Beda benar sikap politisi kita dengan para politisi di negeri-negeri powerhouse yang berjaya. Di sana, mereka berkelahi di parlemen. Namun begitu powerhousenya terganggu dan dapat mengakibatkan daya saing bangsanya terkalahkan, mereka semua bersekutu. Right or wrong is my country. Bahkan saat perdana menteri Jepang bersusah payah memimpin operasi untuk mengendalikan pembangkit tenaga nuklirnya yang terhempas badai Tsunami, tak ada orang yang menuntutnya mundur. Bencana, kata orang-orang pinter adalah force mayer. Bukan kehendak manusia. Jadi, itu bukanlah saatnya untuk berkelahi, apalagi saling menuding dan melemahkan. Kata orang Jepang, itulah Gambaru atau Gambatee. Come on! You can! Ayo bekerja lebih keras lagi.
Dengan prinsip “One spirit – One team” kita saksikan powerhouse–powerhouse baru bermunculan di berbagai penjuru dunia. Australia kini dikendalikan oleh 8 powerhouse nya mulai dari BHP Biliton (Melbourne), West Farmers (Perth), Woolworth (Bellavista), sampai ANZ (Dockland). India juga dipimpin 8 Powerhouse: Indian Oil (New Delhi), Reliance, Tata Steel (Mumbai) sampai Oil & gas Natural (Dehradun). Singapura memiliki dua: Flextronics International dan Wilmar International.
Hal serupa dilakukan dua negara ex komunis yang bergabung ke market-economy, Rusia dan China. Rusia mendongkrak kemajuan perekonomiannya dengan Gazprom, Lukoil, Rosneft Oil, Sberbank, TNK – BP dan Sistema. Semuanya berpusat di Moskow. Di China lokomoti-lokomotif ekonomi besar disebar di sejumlah propinsi. Mulainya hanya delapan, lalu menjadi dua belas, dua puluh, dan sekarang China telah memiliki lebih dari 50 powerhouse: Sinopec, State Grid, China Life Insurance (Beijing), Dongfeng Motor (Wuhan), Baosteel Group (Shanghai), Huawei (Shen Zhen), Jiangsu (Zhanjiagang), dan Wuhan Iron (Wuhan).
Sulit sekali suatu bangsa keluar dari belenggu hierarchy dan otoritarianisme memasuki prinsip One team- one spirit ini. Masa lalu yang kental dengan kekuasaan membuat ragu-ragu memasuki medan pasar yang terbuka, kompetitif, dan serba transparan. Saling mengejek dan takut tertinggal membuat kehilangan percaya diri dan berebut peran.
Prinsip one spirit prasyarat mutlak untuk memiliki powerhouse. Tentu kita tidak bisa membangun kekuatan hanya melalui 52,7 juta usaha mikro saja. Kita perlu lokomotif dengan prinsip huruf “X”: Di bagian atas, kekuatan berhenti di satu titik (komisaris utama) yang berpengetahuan dan profesional. Sementara, kekuatan managerialnya bertumpu pada CEO.
Kita memerlukan perusahaan-perusahaan yang fleksibel dan lincah bergerak. Tetapi kita juga butuh perusahaan-perusahaan besar untuk menghasilkan produk-produk berkualitas global dengan jelajah eksplorasi yang luas. Untuk semua itu diperlukan SDM dan politisi-politisi berkelas dunia.
Coba tengok betapa mengagumkannya Wall Mart yang menampung lebih 3 juta pekerja, sebagian besar lansia. China Petroleum mempekerjakan hampir 2 juta pegawai. Kalau kita bersungguh-sungguh, Pertamina, Telkom, Astra, RGE, Adaro, Sinar Mas berpotensi menjadi lokomotif.
Politisi Kelas Dunia
Sekali lagi, prinsip One spirit harus ada di semua lini. Percuma memiliki SDM kelas dunia kalau politisi-politisinya hanya kelas kampung yang bekerja dengan amarah.
Politisi kelas dunia adalah politisi berwawasan global, bepergian ke luar negeri bukan melulu atas biaya dinas, berbahasa asing dengan baik sehingga tidak memalukan saat ke luar negeri. Namun lebih dari itu, berpengetahuan yang memadai dan bekerja dengan etika. Bukan asal bicara, apalagi bicara bila kepentingannya terganggu. Politisi berkelas dunia bekerja bukan demi kantongnya sendiri, melainkan demi keunggulan daya saing bangsanya.
Mengapa kita memerlukan piolitisi kelas dunia?
Sebab merekalah yang mengatur anggaran dan membuat peraturan. Mereka juga yang berbicara dan menjadi pengawas pembangunan. Sekarang lihatlah sinyal-sinyal yang menunjukkan perlawanan rakyat terhadap politisi. Minggu lalu, orang-orang yang kursinya “disambar” seorang politisi di atas pesawat Lion, ramai-ramai mengeluarkannya dari pesawat. Mereka bukan cuma mengusir dan melawan secara tegas, melainkan juga meng-entertain-nya lewat perbincangan pendek di jejaring media sosial
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/391586/34/