LEBARAN 2017 masih lama, masih lebih dari sembilan minggu, tetapi aromanya sudah menguar sejak pekan terakhir Maret lalu. Pemicunya yakni habisnya tiket mudik kelas ekonomi H-3 untuk jurusan Jawa Tengah dan Jawa Timur hanya dalam tempo 15 menit sejak pemesanan dibuka.
Semua tiket itu dijual secara online dan bisa dibeli baik melalui komputer, laptop, smartphone atau gerai-gerai minimarket. Betul-betul praktis. Tak perlu repot-repot antre seperti pernah terjadi di masa lalu.
Lalu, yang juga tak kalah luar biasa, masyarakat juga cepat beradaptasi dengan cara penjualan seperti ini. Calo? Rasanya sudah sulit mendapat tempat lagi.
Lalu, bagaimana dengan nasib calon pemudik yang tidak dapat tiket? Jangan cemas. Masih ada tiket untuk hari keberangkatan yang lain, seperti H-5 dan seterusnya. Juga yang habis kebanyakan untuk pemberangkatan dari Jakarta. Kalau untuk pemberangkatan dari Bandung, misalnya, saya dengar tiketnya masih ada.
Memang akhir minggu dalam Maret sampai awal April ini adalah masa pemudik berburu tiket kereta. Tapi seperti biasa, tetap saja ada peluang kalau belum mujur. Misalnya, ada saja pembeli yang telat bayar dan tiketnya beralih ke orang lain.
Namun, bukan itu yang ingin saya garis bawahi dalam artikel ini. Anda tahu, dengan penjualan tiket secara online, praktis tak ada lagi ruang bagi percaloan.
Sudah menjadi rahasia umum, setiap kali ada calo pasti ada orang dalam yang bermain. Makin banyak calonya, pasti makin banyak orang dalam yang ikut bermain—bahkan mungkin sampai melibatkan para petinggi perusahaan.
Maka itu, keberhasilan KAI memberantas calo dengan sistem online adalah potret dari keberanian perusahaan itu dalam mendisrupsi dirinya sendiri. BUMN ini berani membongkar cara-cara bisnis lama yang keuntungannya selama ini mungkin hanya dinikmati segelintir orang.
Jumlahnya tidak banyak, namun jejaringnya sangat solid. Mereka juga sangat powerful, karena punya sumber daya yang sudah terakumulasi dari tahun ke tahun. Kondisi semacam inilah yang kadang memaksa mayoritas karyawan hanya bisa membisu, meski mereka mengetahuinya.
Soal Mindset
Baiklah kita kembali ke topik utama. Lewat mudik Lebaran kali ini rasanya kita bisa memotret sejumlah kasus agak mendekati disrupsi. Saya punya beberapa catatan untuk hal ini.
Pertama, buat ukuran lembaga pemerintah—yang kebanyakan bekerja dengan pola business as usual—Lebaran 2017 sebetulnya masih lama. Masih sekitar dua setengah bulan lagi. Namun, pemerintah kita kali ini rupanya tak ingin pengalaman buruk Lebaran 2016 berulang. Jadi, meski waktunya masih relatif lama, sejumlah persiapan sudah dilakukan.
Ini tentu menggembirakan. Kita sama-sama mulai bisa merasakan hadirnya aroma pelayanan di jajaran pemerintahan. Maaf, jangan sepelekan kata pelayanan. Sebab untuk mengubah bahwa tugas pemerintah bukan semata-mata “memerintah”, melainkan juga “melayani”, butuh perubahan mindset yang luar biasa.
Kita tentu belum bisa melihat potret yang menyeluruh dari upaya pemerintah untuk membangun kultur melayani. Anda pasti tahu dan pasti merasakan betul soal ini walaupun presiden sudah memberi contoh dengan mengubah kebiasaan pasukan pengawalnya yang nguing-nguing menjadi lebih santun dan memberikan acungan jempol begitu diberi jalan. Tetapi selebihnya, masih banyak birokrat yang sibuk melayani dirinya sendiri atau atasannya, bukan melayani kita—rakyatnya yang menggaji mereka dengan uang pajak.
Memang ada beberapa kabupaten dan kota yang bisa kita beri acungan jempol. Tapi kita masih perlu lebih banyak lagi.
Baiklah kita terima kenyataan itu. Perubahan, apalagi perubahan mindset yang mendisrupsi cara-cara kerja lama, memang tidak mudah.
Ganjil-Genap
Catatan kedua, soal rencana Kementerian Perhubungan menerapkan sistem ganjil-genap untuk mengantisipasi lonjakan pemudik. Gagasan ini baik, tetapi memang belum teruji keampuhannya.
Mungkin sebagai gambaran, kita bisa melihat potret penerapan sistem ganjil-genap di Jakarta. Ada yang menilai sistem ganjil-genap memang sedikit mengurangi kemacetan. Mudah-mudahan untuk Lebaran 2017 kemacetan tak hanya berkurang sedikit, tetapi banyak.
Meski begitu, saya memang agak ketar-ketir. Maklum, jumlah pemudik untuk Lebaran 2017 juga bakal naik. Jika tahun 2016 ada sekitar 6 juta penduduk yang meninggalkan Jakarta dan sekitarnya, untuk tahun 2017 diperkirakan mencapai 6,5 juta, atau naik lebih dari 8%.
Konsekuensinya jumlah kendaraan pribadi, baik mobil atau sepeda motor, yang bakal melintas juga ikut naik. Mobil pribadi, misalnya, diperkirakan bertambah dari 2,5 juta menjadi 3 juta unit, atau naik 20%. Lalu, jumlah pemudik sepeda motor bakal naik hampir 14%.
Bayangkan, bakal ada 2–3 juta mobil melintas di jalan tol Jakarta–Cikampek dan Cikopo–Palimanan saat yang bersamaan. Pasti macet!
Dengan sistem ganjil-genap, jumlah kendaraan yang melintas pada saat bersamaan mungkin hanya tinggal separuhnya, 1–1,5 juta. Namun, itu pun rasanya jumlahnya masih banyak.
Kalau melihat gelagat tersebut, mungkin Kementerian Perhubungan perlu melakukan sesuatu yang lebih disruptive. Misalnya, dengan membagi pemberangkatan pemudik sepeda motor atau yang memakai mobil sesuai zona wilayah dan waktu keberangkatan.
Jadi, volume kendaraan yang melintasi entah jalur pantura, tol Jakarta–Cikampek dan Cikopo–Palimanan, atau lewat jalur selatan, bisa terbagi dalam kelompok yang lebih sedikit. Mungkin sekali jalan bisa ratusan ribu. Atau bisa juga pakai kapal ro-ro untuk jarak Jakarta–Semarang dan Jakarta–Surabaya, misalnya.
Sulitkah mengatur para pemudik? Pengalaman buruk pada Lebaran 2016 menurut saya akan membuat calon pemudik menjadi lebih mudah diatur. Mereka tentu tak ingin pengalaman di jalur tol keluar Brebes (Brexit) terulang. Momentum ini, saya rasa, bisa kita manfaatkan.
Catatan ketiga, pemerintah habis-habisan menambah ruas jalan yang bisa dilalui pemudik. Ini terjadi di Jawa dan luar Jawa. Anda tahu konsekuensinya, bukan. BUMN konstruksi kita dipaksa kerja habis-habisan agar ruas-ruas jalan tadi bisa dilalui para pemudik.
Ini bukan pekerjaan yang mudah, karena musim kemarau kali ini adalah kemarau basah. Meski musim kemarau, hujan masih saja mengguyur. Bahkan sangat lebat.
Catatan saya, pemerintah daerah rasanya perlu lebih terlibat. Masih banyak pasar tumpah di sejumlah titik di ruas-ruas jalan yang bakal dilalui pemudik. Ini tentu menjadi urusan pemerintah daerah. Ayo, terlibatlah dalam proyek mudik nasional ini!
Kita jadikan Lebaran 2017 menjadi perjalanan yang aman, nyaman, dan sekaligus menyenangkan bagi para pemudik. Jadi, Saudaraku, siap-siaplah untuk mudik meski lebaran masih jauh.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Benar prof. Saya bekerja di instansi yang mengawal demokrasi. Ada unsur komisioner yang ternyata belum bisa mendisrupsi diri