Kemarin BUMN Sibuk Urus Pandemi, kini Dihadapkan pada Agoraphobia

Setelah 3 bulan ikut sibuk menyelamatkan bangsa dari ancaman pandemi Covid 19, berita mengenai BUMN hangat kembali.

Anda mungkin masih ingat karya-karya BUMN yang dipimpin Erick Thohir di tengah-tengah pandemi. Mulai dari aplikasi PeduliLindungi, mendatangkan alat test, APD untuk rumah sakit sampai pembangunan sejumlah rumah sakit khusus untuk penanganan Covid-19.

Kini perbincangan beralih.

Maklum, minggu-minggu ini hampir semua BUMN besar melakukan RUPS dengan agenda yang beragam, mulai dari penentuan deviden, penetapan kantor akuntan publik sampai pergantian pengurus.

Dari semua itu yang paling ramai dibincangkan adalah pergantian pengurus, baik komisaris maupun dewan direksi.

Padahal peremajaan selalu terjadi dan tak masalah tua ataupun muda sepanjang bisa bekerjasama.

Ada yang sudah selesai tugasnya, ada yang harus dipindahkan dan ada yang kurang tepat karena tantangan yang dihadapi berubah. Dan tentu saja hal lain-lain.

Benar bahwa saat ini ada begitu banyak mata meneropong BUMN. Saya berprasangka positif saja. Tentu ini karena kecintaan mereka pada BUMN dan tahu bahwa kontribusi BUMN terhadap APBN dan pembangunan sangat besar.

Kalau kita renungkan, memang jangkauan usaha BUMN luas sekali dan menyangkut hajat hidup orang banyak.

Wajar bila selalu menarik perhatian. Mulai dari sambungan listrik, tabungan dan pinjaman, penyaluran subsidi, pulsa telefon dan internet, BBM, transportasi (darat, laut dan udara), bandara dan pelabuhan, logistik, pupuk, sampai pembuatan mesiu dan pembangunan gedung.

Tentu bukan hal yang aneh kalau ada yang khawatir dengan besaran hutangnya. Juga ada yang cemas melihat kemungkinan kesulitan akibat pandemi Covid-19 ini.

Kita tentu tak bisa melihat angka hutang begitu saja. Angka itu perlu dilihat penuh kehati-hatian dalam konteksnya masing-masing.

Dalam perhitungan investasi dan kemampuan pengembalian, sehingga dibutuhkan dashboard keuangan yang lebih komprehensif supaya tidak menjadi debat kusir.

Tapi ada yang lebih berbahaya yang juga harus kita waspadai, yaitu ancaman ketidakmampuan beradaptasi dan kehilangan relevansi. Ya, bukankah pada setiap zaman selalu ada industri dan usaha yang kehilangan relevansi? Juga ada yang salah urus?

Seperti apa perubahan yang mesti dihadapi BUMN?

Saya mencatat setidaknya ada 7 tantangan baru yang mau tidak mau menuntut cara pandang baru. Maka kompetensi para eksekutifnya, kecepatan tindak/respon, kesatuan tim, di samping integritas menjadi sangat penting untuk memajukan BUMN.

Maaf kali ini saya tak bermaksud menyajikan angka-angka, agar pembicaraan lebih strategis. Lagi pula sudah banyak sekali yang berbicara tentang angka. Jadi lain kali saja.

Setelah membaca tulisan ini mungkin Anda akan berpikir, betapa tidak mudahnya duduk di jajaran pengurus BUMN. Tantangannya berat. Namun di balik itu, tentu saja ada “pintu keluar” yang harus dicari, untuk mengantarkan BUMN pada kehidupan yang lebih baik.

Tantangan Global

Saya membagi 7 tantangan itu ke dalam tiga kelompok besar: Tantangan Global, Tantangan Strategis dan Ancaman Relevansi tadi.

Pada tatanan global ada ancaman resesi dunia, isolasionisme dan the rise of soft power. Namun karena ancaman resesi global sudah sering dibahas, saya merasa tidak perlu diulas lagi di sini.

Pandemi C-19 juga melahirkan pembatasan kegiatan antarbangsa dan pergerakan barang dan manusia. Masing-masing bangsa mengambil langkah mengisolasi dirinya dari penduduk negara lainnya. Ada yang mengatakan sampai akhir tahun ini, tapi setelahnya, konon ada begitu banyak restriksi yang berlaku.

Ketidakpastian global menjadi new normal. Kehidupan baru terjadi, dan banyak perubahan. Di sisi lain, BUMN telah menjalin kolaborasi dengan banyak aktor global, baik dari Amerika, Inggris, Jerman, maupun Tiongkok. Kerja sama dilakukan dalam kerangka investasi, joint venture, joint project, bantuan teknis, dukungan teknologi, sampai urusan rantai pasok (supply chain).

Isolasionisme tentu menghambat pertumbuhan, membatasi kemajuan dan mengubah rencana-rencana yang sudah disusun.

Namun yang sering tidak disadari adalah hadirnya kekuatan baru, yang disebut The Soft Power. Ini adalah puncak perubahan yang menghadirkan peran aktor-aktor (ekonomi, politik) baru di samping peran negara dan militer.

Dunia mengalami great shifting dari kekuatan pers sejak Johannes Gutenberg memperkenalkan mesin cetak ke kekuatan #MO (Mobilisasi dan Orkestrasi) dalam bentuk baru.

Puncaknya adalah peristiwa disrupsi yang melahirkan teknologi digital, dan menggeser cara menggunakan power dari stick & carrot (ancaman dan insentif) menjadi kekuatan daya tarik dan pengaruh yang kadang disebut new power atau the soft power.

The soft power tidak saja melahirkan tokoh-tokoh baru dengan tingkat engagement yang lolos dari radar media mainstream, melainkan juga mengukuhkan kegiatan-kegiatan ekonomi mikro yang terorganisir melalui super apps serta aktivitas DIY (Do It Yourself).

Suka atau tidak suka, The Soft Power akan mengubah business landscape yang ditekuni perusahaan-perusahaan besar, termasuk BUMN. Juga mengubah peta persepsi publik tentang ekonomi dan kekuatan yang dikandungnya.

Tantangan Strategi

Pandemi COVID 19 juga melahirkan3 tekanan strategis yang mempengaruhi masa depan suatu usaha baik dalam jangka pendek maupun panjang. Ketiganya adalah hadirnya agoraphobia, paradox of new talent, dan gelombang mega-merger.

Sekilas, agoraphobia, atau phobia pada kerumunan adalah hal yang biasa terjadi setelah makhluk sosial dibatasi aktivitasnya sekian lama di rumah.

Melihat kerumunan orang belanja di pasar, lautan ojek yang mengantar pegawai pulang bekerja, puluhan orang bergerombol memasuki lift, atau penumpang kereta api di stasiun, orang bisa menjadi phobia dan cemas.

Phobia seperti ini di satu sisi bisa membatasi manusia dari kerumunan dan mencegah penularan dari wabah Covid-19, tetapi juga menimbulkan tekanan-tekanan baru terhadap perhitungan skala ekonomi infrastruktur kerja, dan membatasi konsumsi. Ia juga mengubah perhitungan kita tentang pengembalian investasi dan rencana ekspansi.

Pandemi ini sejatinya juga mengubah pola konsumsi dan percepatan pemakaian teknologi mulai dari cobot (colaboration robot) sampai kecerdasan buatan. Semua itu tentu membutuhkan pemahaman-pemahaman baru dalam berkegiatan ekonomi. Bahkan datang tekanan untuk meremajakan regulasi menjadi lebih acceptable terhadap penggunaan teknologi digital, mulai dari diagnosa pasien sampai cyber security.

Lalu juga terjadi paradoks dalam pengembangan SDM. Di satu sisi talenta-talenta dengan future skills sangat dibutuhkan, namun mereka lebih suka menjadi entrepreneur mendirikan startup yang mendisrupsi perusahaan-perusahaan besar.

Di sisi lain, inovasi berakibat efisiensi, membuat perusahaan-perusahaan lama harus berpikir ulang untuk mengalihkan pekerjaan dan menjaga produktivitas sumber dayanya. Di sisi lain, bangsa-bangsa tengah berjuang mengatasi pengangguran.

Dan akibat dari resesi ekonomi, isolasionisme, the rise of power, agoraphobia dan paradox of talent tersebut, dunia akan menyaksikan babak baru mega-merger disertai akuisisi-akuisisi baru yang benar-benar mengubah peta usaha dunia.

Keep it Relevance

Akhirnya, yang ke 7, adalah tantangan untuk membuat siapapun dan apapun agar tetap relevan.

Kita tahu bahwa setiap zaman ada orangnya, dan setiap orang ada waktunya.

Tentu kita tak bisa melawan hukum alam, juga tak bisa mempercepat kematangan manusia seperti meng-karbit pisang yang tampak kuning di luar namun masih keras di dalam.

Kematangan luar-dalam dibutuhkan. Gabungan dari pemahaman, kematangan emosional, kecerdasan membaca konteks dan menemukan masa depan baru, kecepatan merespon, dan kemampuan strategis menjadi penentu bagi kemajuan perusahaan termasuk BUMN.

Tentu, bridging generations menjadi mutlak ditenggarai. Sehingga tua ataupun muda tak ada masalah sepanjang bisa bekerjasama.

Sama menjembatani antara pertumbuhan organic dan inorganic, menyatukan antara DNA korporasi dengan DNA platform digital, antara teknikal dengan financial. Bagi pemimpin, semua ini tak boleh menjadi hambatan.

Tentu muaranya akan tampak dalam laporan keuangan, apakah dalam cash flow perusahaan atau besarnya hutang bila dibandingkan dengan EBITDA misalnya.

Namun, itu semua belum cukup. Rasa cinta tanah air, keterpanggilan untuk mengabdi (profesionalisme), serta integritas, menjadi penentu yang tak kalah pentingnya dari kemampuan mencetak laba atau memimpin transformasi.

Tentu para pemimpin lebih tahu siapa saja yang pantas memimpin dan mengawasi BUMN. Hanya saja kita perlu sama-sama memikirkan bahwa pandemi ini menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan.

Seperti kata banyak orang, hari esok itu, “Will not be the same again!”

\"\"
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul \”Kemarin BUMN Sibuk Urus Pandemi, kini Dihadapkan pada Agoraphobia\”

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *