Pertama kali dalam sejarah umat manusia, seluruh dunia berfokus pada satu masalah.
Semua ini dimulai tepat pada 1 Desember 2019, di Kota Wuhan, Provinsi Hubei. Sebuah kasus pneumonia mulai merebak tanpa diketahui asal usulnya. Li Wenliang, seorang dokter spesialis mata asal Wuhan yang saat itu khawatir akan dampaknya, mulai mengingatkan rekan sejawatnya tentang kemunculan wabah penyakit yang memiliki simtom mirip severe acute respiratory syndrome atau dikenal sebagai SARS.
Bencana ini merebak dengan sangat cepat ke seluruh dunia. Bahkan sampai bulan Maret, korban kematian akibat Covid-19 sudah melebihi pandemik SARS global di tahun 2002-2004.
Kita (akhirnya) merasakan kepahitan yang sama.
Kegiatan bekerja terhenti, berdampak pada perekonomian yang stagnan dan cenderung negatif, social distancing bahkan self isolation mulai diterapkan. Krisis yang awalnya terlihat sebagai “masalah Tiongkok” ataupun “masalah Italia” sekarang berubah menjadi masalah kita semua. Lalu apa yang perlu kita lakukan untuk menghadapinya?
Pertama, sejarawan Oxford, Yuval Noah Harari mengingatkan bahwa kunci keberhasilan umat manusia saat ini adalah membangun kerjasama global.
“Saat ini manusia menghadapi krisis akut tidak hanya karena coronavirus, tetapi juga karena kurangnya kepercayaan di antara manusia. Untuk mengalahkan epidemi, orang perlu mempercayai para ahli ilmiah, warga negara perlu mempercayai otoritas publik, dan negara-negara harus saling percaya. Selama beberapa tahun terakhir, para politisi yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja merusak kepercayaan pada sains, otoritas publik, dan dalam kerja sama internasional. Sebagai hasilnya, kita sekarang menghadapi krisis ini dengan kehilangan pemimpin global yang dapat menginspirasi, mengatur dan membiayai respon global yang terkoordinasi.\” (Harari, 2020)
Kedua, melanjutkan perubahan positif yang muncul dari krisis ini.
Ya. Dampak bencana tidak selalu negatif. Seperti tanah yang lebih subur setelah gunung berapi meletus, alam pun menemukan caranya ke titik seimbang. Hanya satu bulan semenjak pertama kali Italia menghadapi outbreak Covid-19, kanal Venice yang biasanya tercemari polusi dari perahu gondola, kini kembali jernih. Lumba-lumba yang sebelumnya tidak terlihat di perairan Italia, sekarang terlihat sedang asyik berenang-renang menikmati habitat aslinya.
Self Isolation ibarat umat manusia sedang menekan tombol reset bersama-sama. Terhentinya aktivitas penerbangan hingga jutaan orang bekerja dari rumah nyatanya mampu mendorong penurunan polusi di berbagai negara. Tiongkok sendiri mencatat penunurunan penggunaan energi dan emisi yang dihasilkan hingga 25% dalam waktu dua minggu. Ini mampu mengurangi total emisi per tahunnya hingga 1%. Kota New York yang terkenal dengan tingkat kemacetannya yang tinggi juga mengalami penurunan hingga 35% dibandingkan tahun lalu. Ini membawa penurunan emisi karbon monoksida (35%) dan karbon dioksida (5-10%).
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari sini?
Ya, kita perlu kembali belajar untuk hidup berdampingan dengan alam dan melanjutkan tren positif. Alih-alih kembali pada cara hidup yang merusak keseimbangan alam. Kita perlu memulai penggunaan energi yang terbarukan dan mengurangi penggunaan energi fosil yang berdampak buruk pada alam. Mulai dari penggunaan energi sehari-hari. Baik untuk transportasi pribadi, hingga gadget yang kita gunakan.
Lalu bagaimana dengan aspek ekonomi dan bisnis? Apa yang perlu kita lakukan untuk mengantisipasi situasi yang tidak menentu ini? Prof. Rhenald Kasali akan membahasnya dalam webinar The Outbreak: Challenges and Opportunities. Pastikan Anda mengikuti webinar Mahir Academy by Rumah Perubahan.
Artikel ini ditulis oleh M. Barka Anantadira, Strategic Partnership Rumah Perubahan
Bagaimana cara mendaftar untuk mengikuti webinar ini?