Ketika mobilisasi dan orkestrasi (atau MO) sudah semakin marak, perubahan besar kian terjadi. Dari dalam maupun dari luar perusahaan. Memaksa setiap individu yang ada di sebuah organisasi ikut berubah dan menyamakan diri. Mengikuti arus yang kini mendominasi.
Arus ini tidak hanya berisi para new entrants, mereka juga terdiri dari para incumbents yang tidak mau ketinggalan dan tergerus perkembangan zaman. Berbagai macam cara dilakukan agar tetap relevan. Tetapi setelah itu muncul pertanyaan: how could they maintain profitability in their legacy business activities while reaping the full potential of this new digital ecosystem business? Dengan kata lain, bagaimana mereka dapat terus menjaga roda profitabilitas melalui bisnis lama yang mereka jalani sedangkan dalam waktu yang bersamaan, mereka tengah bertransformasi (digital transformation) di dalam ekosistem digital?
Karolin Frankenberg, et. al. menulis bahwa setidaknya ada 5 cara untuk menanggulangi The Transformer\’s Dilemma:
Pemimpin sebaiknya memahami bahwa sedang ada perubahan dan itu memengaruhi kinerja bisnis mereka.
Perlu diingat, untuk para incumbent, menjalankan bisnis seperti biasanya merupakan salah satu cara agar roda perekonomian internal tetap berjalan. Di samping itu, mereka tengah berupaya agar perubahan secara digital (digital transformation) tetap bisa memberikan dukungan. Pemimpin pun tidak sekadar memaksa timnya untuk terus produktif. Ia juga akan mendorong timnya untuk tetap mengembangkan diri melalui pelatihan atau pembelajaran secara online, misalnya.
Perusahaan hendaknya menjadikan bisnis yang lama dan yang baru sebagai entitas yang saling melengkapi
Bukan untuk saling dipisahkan, melainkan mereka berperan sebagai satu hal yang melengkapi hal lainnya. Kehadiran teknologi dan aplikasi digital jangan dipandang sebagai dua hal yang berbeda. Kehadirannya malah akan memperkuat bisnis yang sudah ada. Dan bisa saja, mengakselerasi profitabilitas perusahaan.
Perusahaan memiliki human capital dan mindset yang tepat
Benar adanya, sebuah transformasi digital akan berjalan secara efektif apabila perusahaan punya talenta yang tepat. Begitu pula dengan pola pikir tim yang terlibat di dalamnya. Apakah itu berarti mereka harus melakukan perekrutan? Tidak juga. Perusahaan bisa saja melakukan asesmen untuk melihat mana saja human capital yang bisa dikembangkan untuk mempercepat adanya transformasi digital.
Perusahaan memiliki infrastruktur yang tepat
Tidak hanya para human capital, perusahaan juga perlu memerhatikan struktur, proses, hingga teknologi pendukung agar transformasi digital benar tercipta. Perlu diingat bahwa membangun infrastruktur juga memerlukan \”digital maturity\” dan pastikan bahwa human capital yang ada di dalamnya, memahami bagaimana cara kerja infrastruktur tersebut. Catatan untuk para pemimpin, struktur dan birokrasi yang masih berbelit malah akan menjadi penghambat.
Perusahaan harus mengukur setiap progres
Boleh saja melakukan transformasi digital dan tetap menjalankan business as usual secara bersama-sama. Namun, keduanya harus dapat diukur progresnya. Misalnya dengan sistem KPI (key performace index). Hal ini bertujuan agar semua waktu, uang, dan energi yang sudah dioptimalisasikan untuk mendapatkan profit dan menjaga agar perusahaan menjadi relevan, tidaklah terbuang sia-sia.
The Transformer\’s Dilemma bukanlah sesuatu yang dapat dihindari. Ia pasti akan datang. Kita hanya perlu tahu bagaimana cara menanggulanginya agar perusahaan bisa kembali bersaing.
Disarikan dari The Transformer\’s Dilemma – HBR 2019