“Slow down, ‘cause you’re moving too fast for the world. You’re gonna miss out.”
Potongan lirik di atas dilantunkan oleh Rich Brian, Indonesia’s Global Rapper, dalam lagunya yang berjudul Slow Down Turbo (2019). Seakan menjadi sebuah “sentilan” atau “cubitan” kecil untuk kita semua.
Gelombang disrupsi memang tidak bisa dibendung. Malah kali ini, disrupsi seakan menjadi integral dalam kehidupan manusia. Kalau tidak ikut menjadi bagian dari perubahan rasanya ada yang kurang. Malah, semua berlomba-lomba untuk tetap menjadi yang terdepan.
Termasuk perusahaan dan organisasi yang Anda pimpin kini.
Buku Disruption ditulis Prof. Rhenald Kasali pada tahun 2017 dan meledak hingga mendapatkan kategori “mega best-seller.” Tidak mungkin para pebisnis tidak mengetahui fenomena-fenomeda yang dijabarkan di dalam buku itu. Bagaimana Kodak dan Nokia harus mau menerima nasib karena tidak menanggapi sinyal-sinyal yang bermunculan adalah studi kasus yang paling sering dijadikan contoh. Disrupsi harus segera dijawab agar perusahaan dan organisasi Anda tidak tergerus oleh perkembangan zaman dan tetap relevan. Bukan begitu?
Maka, mulailah muncul inisiatif untuk menciptakan beragam solusi, inovasi, dan eksperimen untuk dapat menyesuaikan diri dengan era disrupsi itu tadi. Ada perusahaan yang membentuk tim khusus, ada pula yang secara perlahan menerapkan tahapan-tahapan berpikir ala start up. Pokoknya membuat kultur di dalam perusahaan menjadi lebih agile dan “kekinian.” Anak-anak muda didorong untuk ikut berkontribusi.
Memang, jika itu caranya ada kemungkinan perusahaan Anda bisa memunculkan hal-hal baru dalam waktu yang cepat. Atau malah menjadi pelopor dalam sebuah solusi dan inovasi. Perusahaan Anda makin maju dan memimpin barisan.
Tetapi, di balik tuntutan untuk memenuhi kemauan era disrupsi, apakah ada hal-hal lain yang belum (sempat) tersentuh?
You’re moving too fast
Tuntutan untuk terus produktif memang tidak lepas dari bayang-bayang para human capital. Ada beberapa pekerjaan yang tenggat waktunya hanya dalam hitungan hari. Tidak jarang kalau bisa, selesai lebih cepat dari itu akan menjadi sangat bagus. Mereka bisa saja bekerja melewati jam kerja yang semestinya. Beberapa mungkin membawa pekerjaannya ke rumah dan tidur larut malam (atau tidurnya hanya 2 jam saja sehari?).
Ketika hal tersebut benar dilakukan oleh human capital, sudahkah Anda mencoba berbicara dengan mereka? Bukan. Bukan untuk memeriksa sejauh mana pekerjaan yang diberikan telah diselesaikan. Melainkan untuk bertanya tentang bagaimana keadaan mereka. Baik mental maupun fisik. Baik jiwa maupun raga.
Di saat tuntutan semakin kencang dan tekanan semakin tidak terelakkan, kondisi fisik dan psikis manusia pasti akan terdampak. Pada skala-skala terentu, memang bagus untuk memantik kreativitas. Tapi apa bila dipaksa terlalu berlebihan, keseimbangan manusia akan terganggu.
Pentingnya memahami kondisi mental
Mental health issue belakangan semakin sering terdengar. Ada yang membagikannya melalui kelas-kelas kecil. Ada yang juga melakukan semacam “kuliah umum” melalui Twitter atau Instagram. Pokoknya, berbicara tentang isu kesehatan mental saat ini, sudah mulai banyak terlihat di internet. Tetapi sayangnya, stigma negatifnya masih melekat erat.
Kesehatan mental masih saja dikaitkan dengan kegilaan atau terminologi “sakit jiwa” yang memiliki konotasi negatif. Padahal menurut WHO, “a state of well-being in which every individual realizes his or her own potential, can cope with the normal stresses of life, can work productively and fruitfully, and is able to make a contribution to her or his community.” Ketika seseorang tidak merasa “baik-baik” saja dengan keadaannya, maka ia mengalami mental illness. Satu contohnya ialah stres.
Namun, isu ini belum banyak disadari oleh industri. Padahal dengan “tuntutan menjawab era disrupsi” bukannya tidak mungkin ada human capital yang tidak memiliki isu kesehatan mental. Mereka memang tidak terlihat. Tidak seperti luka bakar atau lebam yang bisa kasat mata. Kesehatan mental tidak begitu. Tapi bukan berarti tidak penting. Mental yang terganggu sama seperti organ yang kurang optimal berfungsi. Ia bisa mengganggu produktivitas human capital.
Reach them out
Perhatikan human capital Anda. Adakah yang berubah dari kebiasaannya selama ini? Apakah mimik mukanya berubah ketika ada penugasan tertentu? Dan hal-hal lain yang bisa saja luput untuk Anda lihat karena terlalu “cepat bergerak” demi menjawab tantangan disrupsi.
Meski akan terasa canggung di awal, tetapi menanyakan kabar mereka bukan untuk informalitas, akan cukup membantu. Menanyakan bagaimana harinya, sehari tidur berapa jam, dan apa yang dilakukan di akhir pekan setidaknya membantu Anda untuk memahami bahwa ada human capital yang kesehatan mentalnya sedang tidak stabil.
Seperti yang ditulis oleh Johann Hari dalam Lost Connections, salah satu pemantik terguncangnya kesehatan mental ialah terputusnya koneksi manusia atas manusia lain, alam (nature), hingga values yang ia pahami. Penyebab terputusnya bisa beragam. Bisa saja bermula dari pekerjaan yang ada di kantor.
Mohon diiingat, ketika Anda sudah melihat (atau mendengar langsung) bahwa keadaan mentalnya sedang tidak stabil, jangan asal mendiagnosa. Berikan rujukan untuk mengunjungi psikolog. Diagnosa tanpa dasar keilmuan dan medis akan malah memperparah keadaan mental human capital tersebut.
Mari, mulai memperhatikan kondisi jiwa dan raga human capital Anda.