Garuda Indonesia dan Anak-Anak Muda Melawan Logika Bisnis Lama – Kompas.com

Heboh tentang Garuda yang sedang menghadapi gempuran opini agar kerja samanya dengan startup Mahata dibatalkan, membuat saya senyum-senyum sendiri.

GO-JEK dan hampir semua super-apps lainnya termasuk Google, Grab, Traveloka, Tokopedia sedang cash rich. Punya banyak uang. Di sana berkumpul orang-orang progresif, yang tahu bagaimana memanjakan penumpang dan tahu uangnya ada di mana. Mereka tidak se-rigid orang-orang lama yang sok tahu.

GO-JEK membutuhkan 4 tahun untuk mendapatkan lebih dari 100 juta partisipan yang mengunduh apps-nya dan menjadikannya super-apps.

Susahnya Meyakinkan Orang-orang Lama

Namun yang menjadi catatan saya, memang paling sulit meyakinkan bisnis cara baru pada orang-orang tua yang pernah sukses dengan cara lama. Padahal cara lama itu sudah obsolote digerus teknologi dan data. Tetapi mereka selalu merasa paling benar.

Contohnya terkait Garuda Indonesia dan laporan keuangannya terkait kerja sama dengan sebuah start up penyedia layanan internet, Mahata. Belakangan, kerja sama itu dipermasalahkan sebagai buntut dari ribut-ribut laporan keuangan maskapai ini.

Dan celakanya, orang-orang yang selama ini mempermasalahkan Mahata dan laporan keuangan Garuda, jika diberi tahu, mereka cepat sekali naik pitam dan ingin cepat-cepat bilang fraud-lah, salah lah, tidak boleh, batalkan, tidak ada duit lah, modalnya terlalu kecil, dan seterusnya.

Namun coba, jika start up itu ditawarkan ke super-apps seperti Google, GO-JEK, atau Traveloka, saya kok yakin mereka akan dengan cepat menerimanya. Anak-anak muda itulah yang tahu bagaimana cara menciptakan value pada airlines plat merah milik BUMN itu. Caranya riil, bukan \”digoreng-goreng\” sahamnya seperti yang dilakukan orang-orang yang berbisnis dengan logika lama.

Ini adalah era MO, pakai tagar menjadi #MO. Artinya, orang pakai tagar dengan tujuan mobilisasi dan orkestrasi. Sebab di era baru, #MO membuat bisnis harus hidup dari cara mobilisasi dan orkestrasi ekosistem pakai data.

Era #MO itu peradaban entrepreneurship anak-anak muda yang berbasis teknologi. Untuk membuat dampak besar dan ekonomi heboh tak perlu modal besar karena peradaban ini didukung oleh 6 pilar. Artificial intelligence, big data, super-apps, broadband network, Internet of Things dan cloud computing

Mereka dapat duit dengan mengorkestrasikan ekosistem, bukan menguasai aset yang besar seorang diri.

Kata kuncinya kolaborasi, sehingga asetnya light. Ini berbeda dengan bisnis orang-orang tua yang heavy asset dan tampak gede di model akunting konvensional.

Tidak Cengeng dan Tidak Mudah Menyalahkan

Ini pula yang menjadi biang keributan akuntansi. Makanya di New York Stock Exchange, orang-orang sedang ramai membicangkan buku dari guru besar akuntansi senior dari Stern, Baruch Lev: The End of Accounting.

Masalahnya, standar akuntansi yang kita kenal belum mampu meng-capture \”nilai\” yang diciptakan oleh start-up yang disebut sebagai network effect value. Ini persis sama dengan ramainya perdebatan tentang intangible yang didebatkan boleh atau tidak dihitung dalam perolehan aset 30 tahun lalu.

Perusahaan-perusahaan lama itu tak ada network effect value-nya karena produknya stand-alone. Ini persis seperti kita membandingkan Nokia dengan iPhone atau Adidas dengan Nike, atau ITB dengan Harvard/TEDx.

Dari produk-produk yang saya sebut di atas itu, yang satu cuma jual produk atau jasa. Nokia dapat duit dari gadget belaka. Dia stand-alone. Sementara iPhone dapat duit dari gadget plus dari Apple Store yang punya jejaring dan data capture-nya. Begitulah cara kerja start-up.

Demikian juga antara Adidas dan Nike. Adidas cuma jual sepatu. Nike jual sepatu plus fitness wearable yang memberikan data dan business opportunity baru dari data. Menjadikan sepatu bagian dari business wellness dan sekaligus membongkar model bisnis industri farmasi.

Pun denga ITB dan UI yang hanya kasih kuliah untuk mahasiswa yang terdaftar dan diterima. Harvard dan TEDx kasih bahan-bahan gratis yang mendatangkan data dan bisnis-bisnis baru.

Tentu masih banyak contoh lainnya. Saya bisa sebutkan mulai dari NASA, GE, Kalbe, Halodoc, Prudential, sampai bisnis-bisnis anak muda seperti Wahyoo, Reblood, dan Cari Ustadz. Semua hidup dan menghidupkan ekosistem. Bedanya, mereka tidak cengeng atau saling menyalahkan.

Makanya di era #MO ini, perlu cara-cara baru untuk memanjakan pelanggan. Dalam bisnis airlines juga demikian. Sudah bukan jamnya lagi membebani pelanggan agar mereka bisa mengakses layanan lebih seperti halnya internet. Dengan menggandeng start-up, maka layanan bisa menjadi lebih murah dan penumpang happy. Maskapai pun juga meraih pendapatan tambahan.

\"RK

Sebarkan!!

1 thought on “Garuda Indonesia dan Anak-Anak Muda Melawan Logika Bisnis Lama – Kompas.com”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *