Entah kapan mulainya, tahu-tahu sudah banyak rumah tangga Indonesia yang mengganti TV-nya dari merek-merek Jepang ke merek Korea Selatan. Begitu juga dengan AC, kulkas, mobil, laptop, dan tentu saja yang sangat akrab dengan kita: smartphone.
Bila dulu kita sangat akrab dengan Oshin, serial TV asal Jepang, kini tiba-tiba saja layar kaca kita didominasi The Heirs, You Who Came from The Stars, Bride of The Century, Kimchi Family, Pinocchio, Full House atau Winter Sonata.
Kalau sebagian dari Anda belum familier dengan judul-judul tersebut, itu semua adalah drama Korea yang tayang di salah satu stasiun TV kita. Itu baru di satu stasiun TV. Masih ada puluhan drama TV lain yang tayang di berbagai stasiun TV swasta kita.
Di banyak sekolah dan kampus, banyak guru atau dosen yang tertegun-tegun menyaksikan siswa-siswanya begitu fasih menyanyikan lagu-lagu Korea. Bahkan sapaan-sapaan berbahasa Korea bertebaran (mohon maaf, kalau saya hanya tahu: “annyeonghaseyo”), padahal di sekolah atau kampusnya sama sekali tak ada pelajaran bahasa Korea.
Baiklah saya tambah sedikit lagi. After School, 4Minute, 2AM, 2PM, A Pink, BEAST, BIG BANG, Block B, dan (kalau yang ini mungkin Anda sudah familier) Super Junior. Masih ada puluhan lain. Itu semua adalah nama-nama boyband dan girlband asal Negeri Ginseng yang lagu-lagunya dengan fasih disenandungkan oleh anak-anak kita.
Drama Korea serta boyband dan girlband adalah produk industri kreatif Korea yang mendisrupsi produk-produk sejenis asal Jepang. Soal drama TV Jepang, Anda mungkin tahunya hanya Oshin.
Padahal ada beberapa lainnya yang juga pernah tayang di Indonesia. Misalnya Long Vacation, Anything for You, Tokyo Love Story, Asunaro Hakusho atau Ordinary People, Beautiful Life, dan masih banyak lagi lainnya.
Ada juga band atau penyanyi pop asal Jepang yang sempat manggung di Indonesia. Mereka antara lain L’Arc-en- Ciel, ONE OK ROCK, SCANDAL, AAA, Utada Hikaru, YUI. Kini mereka semua tergusur dari pentas dunia hiburan di Indonesia, digantikan K-Pop.
Inovasi mendisrupsi bisnis J-Pop di Indonesia. Begitu pula untuk produk-produk elektronik. Di sana teknologi mendisrupsi produk-produk Jepang di pasar kita. Bagaimana Korea bisa melakukannya?
Kaizen vs Quantum Leap
Pertengahan bulan Maret ini Presiden Joko Widodo mengundang para pengusaha asal Negeri Taeguk tersebut untuk berkunjung ke Indonesia. Acaranya dikemas dalam program Indonesia-Korea Business Summit 2017. Mereka bukan hanya diundang untuk datang berwisata, tetapi juga diajak berinvestasi di Indonesia.
Ada banyak peluang bisnis yang ditawarkan. Di antaranya di bisnis pariwisata dan industri kreatif. Saya berharap investasi yang dilakukan para pengusaha Korea mampu membuat kita melakukan lompatan yang jauh ke depan, terutama di dalam dua bidang usaha tadi. Ini sesuai dengan filosofi mereka dalam berbisnis.
Dalam dunia bisnis, kita mengenal istilah kaizen sebagai filosofi yang dianut Toyota. Kaizen artinya perbaikan sedikit demi sedikit, tetapi dilakukan terus-menerus (continuous improvement). Dengan filosofi tersebut, Toyota Motor Corporation mampu menyusul General Motors (GM) sebagai produsen automotif terbesar di dunia.
Ketika Korea ingin produk-produknya mengalahkan Jepang di pasar dunia, mereka tentu tak bisa kalau hanya mengandalkan strategi yang sama, continuous improvement. Kata Albert Einstein, Anda gila kalau menginginkan hasil yang berbeda, tetapi terus-menerus melakukan hal yang sama. Maka Korea pun menggagas lompatan kuantum (quantum leap).
Ide quantum leap Korea sebetulnya sederhana. Mereka menetapkan target di depan, lalu berhitung mundur dengan menetapkan tahap-tahap apa saja yang harus dilakukan untuk mencapai target tersebut. Faktor kunci keberhasilan strategi quantum leap adalah memaksa diri, inovasi, sinergi, dan konsistensi.
Memaksa diri artinya kalau lamanya suatu proses pada setiap tahap biasanya dilakukan dalam waktu seminggu, entah bagaimana caranya waktu tersebut mesti bisa dipangkas menjadi tinggal tiga hari. Paksa diri, cari, dan temukan bagaimana caranya. Pasti ada.
Upaya memangkas waktu tersebut hanya bisa dilakukan kalau ada inovasi dan sinergi. Jadi setiap bagian ikut menggali ide-ide baru serta memberikan dukungan dan kontribusinya untuk membenahi proses-proses yang ada pada setiap tahap. Bukan masing-masing justru saling jegal.
Lalu harus ada pihak yang perannya mengingatkan secara terus menerus. “Besok kita harus menjadi nomor satu… Besok kita harus menjadi nomor satu!” Begitu terus menerus, berulang-ulang, persis seperti radio rusak.
Di banyak perusahaan, kita kerap menyaksikan para pimpinannya berulang kali bicara soal visi-misi dan tata nilai di hadapan karyawannya. Konsistensi seperti itu, meski kadang menjemukan, harus dilakukan. Mereka memilih bertarung di luar negeri, bukan seperti kita yang senang bertengkar sesama kita: internal battle!
Kini kita bisa menyaksikan hasil dari lompatan kuantum yang dilakukan Korea. Produk elektronik mereka, Samsung, mulai meninggalkan Sony dari Jepang. Mobil-mobil buatan Korea kian ramai di jalan-jalan raya.
Lalu, itu tadi, drama TV Korea kian meramaikan layar kaca kita serta anak-anak kita dengan fasih menyanyikan lagu-lagu K-Pop. Juga kalau Anda mau makan makanan Korea, sekarang ada di mana-mana.
Mengejar Ketinggalan
Kita sudah tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia atau Singapura. PETRONAS dulu belajar dari Pertamina. Kini, sebagai murid, PETRONAS sudah jauh meninggalkan gurunya.
Dalam daftar Fortune Global tahun 2016, PETRONAS menempati peringkat ke-125 dengan pendapatan USD63,47 miliar, sementara Pertamina masih ada di posisi ke-230 dengan pendapatan USD41,76 miliar.
Kita mulai membangun jalan tol sejak tahun 1973. Jalan tol pertama sepanjang 46 km, Jakarta–Bogor–Ciawi atau Jagorawi, diresmikan pada tahun 1978. Sementara Malaysia baru mulai membangun jalan tol pada 1984.
Namun kita yang mulai membangun jalan tol enam tahun lebih dulu ternyata hingga hari ini baru mengoperasikan jalan tol kurang dari 1.000 km. Anda tahu berapa panjang jalan tol yang sudah dibangun Malaysia? Lebih dari 3.500 km! Dan jangan bicara soal sepak bola! Saya sampai lupa kapan terakhir kali kita menang melawan Malaysia.
Kini kita memiliki modal penting untuk mengejar dan mengatasi semua ketertinggalan tersebut. Kita punya bonus demografi yang akan tiba mulai tahun 2020 dan berakhir pada 2035. Jadi kita hanya akan menikmati bonus demografi selama 15 tahun.
Lalu akan kita apakan bonus tersebut? Kita sudah terlalu banyak tertinggal. Maka, kita harus meniru cara-cara Korea Selatan dalam mengembangkan bisnisnya, yakni dengan melakukan lompatan kuantum. Dan kita punya modalnya, yakni SDM.
Entah kenapa saya yang masih murid SMA ini sangat sangat terinspirasi oleh Bapak.Artikel modern,mudah dimengerti serta bisa Mengatasi.Semoga ilmu yang diajarkan disini bisa saya terapkan untuk Indonesia nanti
Tengkyu prof
Artikel yg sangat menggugah kesadaran untuk selalu #berbenahdiri, menjadi solusi atas keruwetan sekitar, demi mengejar ketertinggalan kolektif.
Barokalloh atas ilmunya prof
Terima kasih Prof sgt mencerahkan.
Sangat terinspirasi Prof Renald, saya juga pengemar produk Korea dari otomotifnya lebih ergonomis. Terima kasih.