Proyek Mangkrak – Koran SINDO

Awal Februari lalu kita bisa menyaksikan betapa masamnya wajah Presiden Joko Widodo ketika berkunjung ke Desa Waai, Maluku Tengah. Apalagi malam sebelumnya Presiden Jokowi juga merasakan langsung padamnya listrik di daerah itu.

Di Desa Waai seharusnya sudah ada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Namun, ketika berkunjung ke sana, yang disaksikan Presiden Jokowi adalah onggokan besi-besi berkarat di area bersemak belukar.

Jokowi adalah presiden yang berkomunikasi dengan bahasa simbolik. Lewat kedatangannya ke proyek-proyek yang mangkrak, tentu dia tak sekadar meninjau, tetapi juga mengirimkan pesan.

Anda tahu, salah satu tugas pemimpin adalah mengirimkan pesan. Beberapa waktu lalu, semasa kampanye, salah satu kandidat Gubernur DKI Jakarta, mengatakan  pemimpin  perlu banyak bekerja dan banyak bicara. Jadi, cara menyampaikan pesan harus dengan kata-kata.

Tapi Anda tahu kan, di sini cara seperti itu sering kurang bisa diterima.  Dianggap mengancam, menyudutkan atau bahkan kasar. Bahkan ada yang mengatakan tidak elok.  Maka, secara kultural, bangsa ini bisa menyampaikan pesan dengan cara lain.  Kita bisa menyampaikannya  dengan bahasa mata, atau bahasa tubuh lainnya.

Dengan mengalihkan kegiatan juga bisa. Main panahan, melajukan inspeksi ke bandara, mengundang pelawak, bahkan mengacuhkan desakan juga bisa.

Kalau merujuk ceritanya, panahan adalah olahraga para ksatria. Dengan bermain panahan, Jokowi mungkin ingin mengirimkan pesan agar dalam setiap kontestasi, termasuk dalam Pilkada, berkompetisilah dengan cara-cara yang ksatria. Adu otak, bukan adu domba.

Jadi seorang pemimpin memang harus banyak bekerja, tetapi boleh sedikit bicara. Jangan dibalik, sedikit bekerja, tetapi banyak bicara. Kalau ada pemimpin yang banyak bekerja, tetapi juga banyak bicara, itu masih boleh. Tapi, yang sama sekali tidak boleh: sudah sedikit bekerja, sedikit bicara pula. Itu namanya gaji buta.

Proyek Jumbo, Ruginya Jumbo

Baiklah kita kembali ke proyek mangkrak tadi. Saya terkejut, jumlahnya begitu banyak dan nilainya begitu besar. PLTU di Desa Waai tadi adalah salah satu dari 34 proyek listrik 7.000 megawatt (MW). Menurut laporan BPKP, uang yang sudah dikucurkan untuk proyek itu mencapai Rp4,94 triliun—dan sebagian berpotensi menguap begitu saja.

Mengapa? Sebab dari seluruh proyek itu, ada 12 yang dipastikan tidak bisa dilanjutkan. Nilai kerugian negara Rp3,76 triliun.

Lalu, sebanyak 22 proyek listrik tersebut masih bisa dilanjutkan. Hanya untuk itu membutuhkan tambahan modal yang tidak sedikit, yakni Rp4,68 triliun sampai Rp7,25 triliun.

Anda tahu bukan proyek-proyek listrik tersebut mulai dibangun di era pemerintahan siapa? Jadi, tak usahlah saya sebutkan. Mungkin itu terjadi dalam era kepemimpinan yang banyak bicara, namun sedikit bekerja. Mungkin saja. Kepemimpinan yang demikian biasanya sibuk dengan urusan pencitraan. Pokoknya, terkesan gagah, santun, dan “terkesan” banyak bekerja—meski sebenarnya urusannya cuma merumuskan peraturan, gunting pita atau peletakan batu pertama. Setelah itu dibiarkan begitu saja. Maka, tak heran kalau sekarang kita panen proyek mangkrak akibat di masa lalu. Proyek mangkrak ini bahasa Italianya “nonfinito”. Persis patung-patung Michaelangelo yang gagal diteruskan dalam era Renaisance.

Jadi, ke depan penting buat kita untuk memilih pemimpin yang bisa bekerja. Bukan yang sekedar pandai bicara.

Di luar listrik, banyak proyek yang berpotensi mangkrak. Ada pembangunan sarana olahraga dan fasilitas, jalan raya dan jalan tol, pembangunan bandara. Nyaris semuanya proyek infrastruktur. Anda tahu, proyek-proyek infrastruktur sangat strategis dan membutuhkan dana jumbo. Pemerintah sampai mengalokasikan 30% dari total anggarannya untuk membangun infrastruktur. Jadi kalau sampai mangkrak, kerugiannya pasti besar sekali.

Di Indonesia, proyek infrastruktur itu penting untuk mengatasi “bottle neck”. Suatu daerah tak bakal maju kalau fasilitas infrastrukturnya tidak memadai. Siapa investor yang mau datang kalau akses jalan ke daerah tidak tersedia? Siapa pemodal yang tertarik menanamkan uangnya kalau bandara, dan sarana transportasinya tidak tersedia.

Maka, saya sungguh tak habis pikir ketika tengah pemerintah habis-habisan menggenjot pembangunan infrastruktur, ada kritik, “Pemerintah jangan hanya memperhatikan pembangunan infrastruktur.”

Mungkin karena mulai menua, sang pengkritik tadi lupa bahwa proyek-proyek infrastruktur banyak menyerap tenaga kerja. Ia ibarat gula yang mengundang datangnya semut.

Lalu, selama proses pembangunannya akan ada bisnis-bisnis baru yang bermunculan. Setelah proyeknya jadi, ia membuka akses ke daerah. Investor berdatangan, dan roda bisnis pun akan berputar. Semakin lengkap infrastrukturnya, semakin kencang roda bisnis berputar. Daerah maju, dan masyarakatnya semakin sejahtera.

Tikus Proyek

Saya tadi menyebut bahwa setiap proyek infrastruktur pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Maka, tak heran kalau banyak tikus yang berdatangan. Tikus-tikus ini banyak ragamnya. Bisa pejabat (di pusat sampai daerah), hingga para mafia. Mereka menggerogoti anggaran proyek.

Jadi, kalau ada proyek yang mangkrak, hampir pasti di situ banyak tikusnya. Contohnya proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang, Sentul, Bogor. Proyek ini dimulai tahun 2012 dan sekarang mangkrak.

Nilai proyek Hambalang mencapai Rp1,17 triliun, tetapi masih akan membengkak lagi hingga Rp2,5 triliun. Saat mangkrak, proyek itu sudah menghabiskan dana Rp471,1 miliar.

Belajar dari kasus Hambalang, hampir pasti pada setiap proyek yang mangkrak, di situ pasti banyak tikusnya. Semakin besar nilai proyeknya, semakin besar pula tikusnya. Kalau tikus-tikus kecil, digebrak saja mereka sudah berlarian. Tapi, kalau tikusnya besar-besar, digebrak malah melawan. Kesalahan ana diperbesar. Salah-salah Anda digulung isu SARA.

Jadi kalau ada ramai-ramai belakangan ini, termasuk dalam Pilkada 2017, mungkin itu bentuk perlawanan dari para tikus. Perlawanan dari para koruptor yang tidak mau daerahnya dipimpin oleh pemimpin yang bersih, yang berani menggebrak mereka.

Maka, usut tuntas semua proyek yang mangkrak. Cari tikus-tikusnya. Pasti ada di sana, dan banyak jumlahnya.

Untung tak semua proyek yang berpotensi mangkrak betul-betul mangkrak. Sebagian bisa digulirkan kembali. Proyek jalan tol Pemalang-Semarang, Bogor-Sukabumi, dan Cimanggis-Cibitung sudah bergulir kembali. Proyek Light Rail Transit (LRT) dan Mass Rapid Transport (MRT) yang selama bertahun-tahun oleh pemerintahan sebelumnya hanya dibahas dari rapat ke rapat, kini sedang dikerjakan.

Proyek-proyek bendungan, sebagian sedang dibangun dan sebagian sudah beroperasi. Bandara Kertajati di Jawa Barat terus dibangun—meski masih terhadang masalah pembebasan lahan. Proyek Jembatan Merah Putih di Ambon kini sudah selesai.

Itulah hasil dari pemimpin yang banyak bekerja, sedikit bicara. Kita butuh lebih banyak orang seperti ini. Ayo bangkit Indonesia.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

1 thought on “Proyek Mangkrak – Koran SINDO”

  1. Di Indonesia, mostly tujuan awal projects dibuat sebagai sarana korupsi,jadi begitu korupsinya sudah terjadi proyeknya tidak perlu dirampungkan. Makanya kourupsinya massive sekali di legislative dan eksekutif. Untuk menjadi bangsa yang kompetitive kita harus berani memilih pemimpin yang bersih, jujur, berani dan innovative tanpa melihat suku dan agamanya… i strongly believe kita akan menjadi negara yang kuat, sejahtera dan aman.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *