Bertahun silam keluarga Chesky berlibur. Mereka ingin menginap di sebuah hotel berbintang lima, tetapi ditolak mentah-mentah.
Alasannya hotel ini hanya diperuntukan bagi tamu-tamu VVIP. Keluarga Chesky sakit hati. Pada 2007, Brian Chesky dan koleganya, Joe Gabbia, pergi ke San Francisco, Amerika Serikat. Oleh karena uangnya terbatas, mereka dengan perasaan sakit hati harus mengakui bahwa mereka tak mampu menyewa kamar hotel. Akhirnya keduanya terpaksa menginap di mobil. Di malam gelap nan dingin, menjelang tidur, keduanya berkhayal.
Seandainya saja ada kamar yang bisa disewa dengan tarif murah, mereka mungkin tak perlu tidur di tempat yang sesak dan kedinginan. Ketidakmampuan membayar kamar hotel, lamunan itu, dan rasa sakit hati itu, tanpa disadari, akhirnya melahirkan Airbnb. Anda tahu, Airbnb—perusahaan yang business modelnya dicetuskan Brian Chesky danJoeGabbia—terbukti mampu memorakporandakan tatanan bisnis perhotelan dunia. Tentu ada versi lain yang juga banyak diceritakan, yaitu beranjak dari masa kuliah mereka berdua yang dituangkan dalam buku kosong Moleskine.
Tapi begitulah kisah bertahun-tahun sebelum gagasan itu tiba. Iya, Chesky mampu membalik rasa sakit hatinya menjadi energi yang positif. Energi yang ia dan Gabbia gunakan untuk membangun model bisnis degan konsep sharing dan empowering dari aset-aset idle milik masyarakat. Konsepnya bukan lagi winwin, tetapi sudah win-win-win. Maksudnya, sebagai pebisnis, Chesky-Gabbia harus win. Namun para pemilik aset juga win, begitu pula dengan konsumennya. Jadi betul-betul siapa pun menjadi pemenangnya— kecuali mungkin para pemilik hotel.
Konversi
Negeri kita juga kaya dengan kisah tentang orang-orang yang sakit hati. Ada yang sakit hati karena terlalu lama hidup dalam kemiskinan, sakit hati karena dihina. Sakit hati karena jabatannya tidak naik-naik, tetapi malah didemosi atau diturunkan dari jabatannya. Sakit hati karena tidak dipercaya atasan atau karena kalah bersaing. Sakit hati karena di-PHK atau dipecat dan masih banyak lagi penyebab lain. Tapi kini tambah lagi: sakit hati karena baca berita, lihat video yang sudah dipenggal-penggal seseorang, dan seterusnya.
Sayangnya, tidak seperti Chesky dan Gabbia, sebagian dari rasa sakit hati itu tidak dikonversi menjadi energi untuk move on. Sebaliknya malah memanjakan diri dengan sakit hatinya, menjadikannya alasan untuk tidak membukukan kinerja terbaiknya. Semua itu pada akhirnya membuat mereka semakin tenggelam. Gagal mengungkit rasa sakit hatinya. Atau, yang lebih buruk lagi, mereka menggunakan energi dari sakit hatinya untuk menyakiti orang lain.
Semangatnya untuk balas dendam, bahkan kepada orang lain lagi. Membabi buta. Kini kita merasakan dampaknya. Semua orang mulai merasa dirinya telah di-bully, disakiti. Semua merasa dirinyalah korban. Hoax, disinformasi, kabar palsu dan menyesatkan, informasi bodong, ujaran kebencian, sumpah serapah beredar dengan leluasa. Padahal yang menyebarkan, motifnya cuma satu: duit! Di mana-mana, di media-media konvensional, dan terutama di media sosial. Masyarakat yang dibuat sakit hati dapat menelan informasi utuh-utuh.
Mereka jadikan itu sebagai bahan gunjingan—padahal tidak jelas siapa penebar informasinya dan benar atau tidaknya. Sayang! Padahal, seandainya masyarakat kita bisa mengonversi rasa sakit hati itu, ia akan menjadi sumber energi yang dahsyat. Energi yang mampu membalik kemiskinan menjadi kesejahteraan, hinaan menjadi pujian, demosi menjadi promosi, nama buruk menjadi nama baik, yang kalah menjadi pemenang, serta rasa dendam dan sakit hati menjadi kasih sayang. Bicara soal mengonversi rasa sakit hati, saya jadi teringat dengan orang-orang yang bekerja di kantor pemerintah.
Anda tahu, banyak karyawan BUMN yang juga sakit hati karena dianggap kompetensinya rendah— meski sebagian dari mereka menyandang gelar S-2 dan S-3. Tak dapat dimungkiri, ada masanya sebagian orang bisa menjadi karyawan negara lantaran KKN. Dulu orang tuanya atau pamannya bekerja di situ. Hak itu kemudian turun ke anakanaknya atau ke keponakannya.
Lalu bekerja di lembaga atau perusahaan negara juga dianggap tidak jelas ukuran keberhasilannya. Pendeknya jauh dari gambaran kinerja perusahaan-perusahaan yang profesional. Tentu stigma ini tak sepenuhnya benar karena banyak yang sudah berubah. Apalagi di BUMN.
Imajinasi tanpa Batas
Bicara soal ini, saya jadi teringat dengan catatan sobat saya, Dahlan Iskan, sewaktu masih menjadi menteri BUMN. Dahlan menulis tentang PT Boma Bisma Indra (BBI). Anda tahu, BBI adalah BUMN yang ahli dalam memproduksi boiler, kondensor, dan produk-produk engineering lainnya. Sayangnya akibat mismanagement, selama puluhan tahun BUMN ini mangkrak.
Utangnya ke Bank Mandiri macet. BBI juga punya utang ke PT Krakatau Steel Tbk (KS). Akibatnya sebagai jaminan pelunasan utangnya, banyak aset BBI yang disita KS. Alhasil, BBI tak bisa beroperasi. Di BBI sebetulnya banyak teknisi yang pintar, tetapi mereka kurang pandai menyelesaikan restrukturisasi utang. Maka begitu utangnya berhasil direstrukturisasi, sakit hati orang-orang pintar di BBI— akibat terlalu lama diremehkan tadi—pun akhirnya menemukan salurannya.
Ditambah sinergi dengan BUMN-BUMN lain, seperti inilah yang terjadi. Anda tahu, untuk mengatasi kekurangan tenaga listrik, PLN menggagas pembangunan 30 unit PLTU di seluruh Indonesia. Untuk PLTU tersebut, turbinnya dibuat oleh PT NusantaraTurbinPropulsi, anak usaha Dirgantara Indonesia. Kondensornya dibuat oleh BBI. Boilernya buatan PT Barata Indonesia. Sementara PT Wijaya Karya Tbk menangani pekerjaan sipilnya.
Lalu pembuatan generatornya dilakukan PT Pindad. Jadi, semuanya dikerjakan oleh BUMN, bangsa sendiri. Bagi saya, inilah potret dari keberhasilan orang-orang BUMN dalam mengonversi sakit hati (akibat terlalu lama diremehkan) menjadi energi untuk move on. Persis seperti kisah Brian Chesky dan keluarganya, bukan? Lalu tambahkanlah ke dalamnya imajinasi—bukan sekadar kemampuan melakukan rekayasa. Jadi bukan hanya engineering, tetapi juga imagineering.
Maka hasilnya betul-betul inovasi yang mampu membongkar tatanan bisnis-bisnis lama, sebagaimana Airbnb menghancurkan Hilton atau Marriot atau Uber Taxi dan Grab Car mengguncang sendi-sendi bisnis Blue Bird dan Express. Kata Albert Einstein, “Imagination is more valuable than knowledge. Knowledge is limited to all we now know and we understand. While imagination embraces the entire universe and all there ever will be to know and understand.” Iya, imajinasi lebih berharga ketimbang pengetahuan. Pengetahuan serbaterbatas, sementara imajinasi tanpa batas. Itulah yang dilakukan Chesky.
Dia berimajinasi, bagaimana mampu menyediakan kamar untuk menginap bagi para wisatawan yang berkantong tipis. Oleh karena minim bisnis perhotelan, imajinasi Chesky menjadi tanpa batas. Begitu liar. Hal semacam itulah yang seringkali tidak bisa dilakukan organisasi-organisasi bisnis yang telanjur mapan. Mereka sudah terlalu lama masuk ke dalam perangkap zona nyaman sehingga tidak punya nyali untuk merusak tatasan bisnis sendiri. Maka jadilah orang lain yang merusak tatanan bisnis mereka.
Pertanyaannya, kata pakar disruption Christensen: apa yang harus dilakukan kalau Anda menjadi kompetitor bagi diri Anda sendiri? Itulah bahasan buku baru saya yang akan terbit bulan depan: Disruption. Semoga Anda bersabar.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan