Penjarahan Aset BUMN – Tabloid ASSET

Kalau Anda berkunjung ke wilayah kerja pertambangan (WKP) milik Pertamina di Tarakan, Kalimantan Utara, tentu gemas menyaksikan banyaknya “bangunan tak terurus” di sana. Bukan karena tak diurus BUMN, tetapi pihak yang menerima penyerahan tak menjalankan tugasnya. Bayangkan bangunan itu bukan hanya berupa rumah, tetapi juga sekolah dan perguruan tinggi, sarana ibadah dan kantor pemerintahan.

Betul, memang masih ada isu legalitas yang terkait dengan masalah tanah dari bangunan-bangunan tersebut. Namun, yang ingin saya garis bawahi adalah keberadaan bangunan tersebut potensial membahayakan penghuninya. Sebab sesuai dengan regulasi, jarak terdekat bangunan yang diijinkan adalah 100 meter dari sumur minyak yang masih aktif. Sementara, untuk sumur minyak yang statusnya ditutup sementara (suspend), jarak bangunan terdekat minimal 50 meter.

Jarak aman diperlukan, sebab sewaktu-waktu bisa saja sumur meledak. Apalagi di sana ada 646 sumur yang dikelola PT Pertamina EP. Itu tidak terjadi di Tarakan. Di sana bahkan ada rumah warga yang jaraknya hanya 20 meter dari sumur. Sangat membahayakan.

Saya dengar laporan, pada akhir Agustus 2015 sempat terjadi insiden. Sekitar 10 meter dari lokasi sumur yang ada di sana terjadi kebakaran. Asap pekat membubung tinggi menutupi pandangan. Beruntung kebakaran itu cepat diatasi dan tidak memicu  ledakan hebat.

Ada Beking

Bicara soal penjarahan aset milik BUMN, itu terjadi di mana-mana dan dalam berbagai bentuk. Kalau soal lahan, selain Pertamina tadi, yang sering menjadi korban penjarahan adalah BUMN kita yang bergerak di bidang perkebunan. Contohnya lahan milik PT Perkebunan Nusantara II (PTPN) di Sumatera Utara. Di sana ribuan meter lahan milik PTPN II dikapling warga. Bahkan dipasangi pagar beton.

Penjarahan lahan juga diderita oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI). Ada sekitar 4 hektar lahan milik KAI berada di Jl. Jawa dan Jl. Madura di Medan, Sumatera Utara, telah berubah menjadi mall, hotel, rumah sakit dan berbagai fasilitas komersial lainnya. Padahal, KAI sama sekali belum mengalihkan lahan-lahan tersebut ke pihak ketiga.

Anda tahu kalau sudah seperti ini bentuk-bentuk bangunannya, pasti ada banyak pihak yang bermain di belakangnya. Mereka jelas bukan preman biasa, tetapi bisa melibatkan orang dalam KAI dan para pejabat. Entah pejabat sipil atau pejabat militer.

Bicara soal penjarahan lahan, saya jadi teringat dengan langkah yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kita bisa membaca di berbagai media kalau saat ini Ahok tengah bertarung habis-habisan untuk mengusir penjarah lahan milik Pemprov DKI Jakarta. Ia menggusur mereka yang tinggal secara ilegal di Kampung Luar Batang dan Kalijodo. Ia juga menggusur mereka yang tinggal di bantaran sungai.

Aksi Ahok diliput media massa. Kecaman datang dari kiri-kanan, termasuk dari tokoh-tokoh yang mengaku pejuang hak azasi manusia dan peduli masyarakat miskin. Padahal, yang dilakukan adalah menegakkan aturan—yang selama ini tidak dikerjakan oleh pimpinan DKI Jakarta sebelumnya. Mereka tidak punya cukup nyali untuk melakukan langkah yang tidak populis. Ahok sebaliknya. Ia berani untuk tidak populis.

Keberanian Ahok ini bahkan ditarik-tarik ke kancah politik. Anda tahu, pada tahun 2017 bakal ada Pilkada DKI Jakarta. Ahok, sebagaimana hasil survei yang dirilis oleh berbagai lembaga survei, adalah kandidat terkuat untuk Pilkada tersebut.

Begitulah, kalau bicara soal penjarahan lahan, spektrumnya bisa meluas ke mana-mana. Bukan hanya persoalan hukum, tapi bisa masuk ke ranah bisnis dan politik. Itulah risiko kalau hukum di negara ini belum sepenuhnya bisa ditegakkan.

Modus Lain

Baiklah kita kembali ke penyerobotan dan penjarahan aset-aset Pertamina EP. Kalau kita ikuti, bentuknya tak hanya berupa penjarahan lahan, tetapi juga minyak. Salah satu kasus yang mengemuka terjadi di Sumatera Selatan dan Jambi.

Misalnya, aksi penjarahan minyak mentah terjadi di jalur pipa Tempino – Plaju di Jambi dan Sumatera Selatan. Volumenya tidak sedikit. Misalnya, pada Mei 2012 volume minyak mentah yang dijarah mencapai 39.000 barel. Lalu bulan berikutnya naik menjadi 59.000 barel.

Maka, saya tak heran kalau angka lifting minyak mentah kita tak pernah bisa mencapai target. Selain karena berbagai masalah yang terkait produksi, volume minyak mentah yang dijarah juga begitu besar.

Minyak mentah itu ada yang diselundupkan keluar negeri dan ada pula yang dibawa ke kilang-kilang untuk diolah menjadi BBM. Hasilnya kemudian dijual ke pasar gelap, termasuk ke luar negeri. Aksi semacam ini sudah terjadi selama puluhan tahun.

Lagi, kalau melihat lamanya aksi itu, volumenya dan adanya fasilitas kilang untuk mengolah minyak mentah hasil penjarahan, pasti ada oknum atau beking yang menjadi pelindung dari bisnis tersebut. Ini investasi besar. Itu sebabnya meski Menko bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) meminta kepolisian untuk menertibkan aksi penjarahan tersebut, di lapangan aksi penjarahan masih terus terjadi.

Pihak Pertamina pernah menghitung. Selama periode 1 Januarisampai 23 Juli 2013 saja nilai kerugiannya mencapai Rp280 miliar. Bukan jumlah yang sedikit! Maka, tak heran kalau banyak beking yang melindungi aksi tersebut.

Tapi, sesungguhnya aksi-aksi tersebut, penjarahan lahan dan minyak mentah, masih tergolong “primitif”. Banyak penjarahan aset-aset BUMN yang dilakukan dengan cara-cara yang lebih canggih dan modern. Pelakunya bukan hanya tokoh elit dalam negeri, tetapi juga pihak asing.

Misalnya, penjarahan terjadi melalui praktek privatisasi saham pemerintah di BUMN. Setiap praktek privatisasi selalu melibatkan banyak konsultan. Mulai dari konsultan hukum, investment bankers, akuntan, perusahaan penilai, penjamin emisi dan jasa-jasa lainnya. Semua jasa tersebut melibatkan fee yang tidak sedikit. Penjarahan bisa terjadi dalam proses yang melibat pihak-pihak tersebut.

Modus lainnya adalah penjarahan melalui proses pengadaan barang dan jasa. Ini kerap terjadi lewat tender yang sudah diatur sedemikian rupa, sehingga perusahaan tertentu menjadi pemenangnya. Ada juga penjarahan lewat modus bagi-bagi proyek.

Begitulah banyak modus untuk menjarah BUMN. Cara-cara yang lebih modern biasanya lebih sulit diatasi ketimbang cara-cara tradisional.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *