Breakthrough – Koran SINDO

Kita mulai jarang mendengar istilah breakthrough atau terobosan. Itu mungkin karena dulu istilah tersebut kerap dipakai oleh Soeharto, Presiden ke-2 Republik Indonesia. Tapi juga mungkin karena kata ini sangat tak disukai para auditor, penegak hukum atau para manager compliance.

Mungkin bagi mereka, breakthrough diartikan sebagai jalan pintas dan melanggar aturan. Di masyarakat kita istilah jalan pintas kerap berkonotasi negatif. Anda yang berurusan dengan birokrasi pemerintahan dan ingin cepat selesai kerap menempuh jalan pintas dan itu pasti menyuap.

Anda yang kerap ke toko buku tentu menemukan banyak buku yang membahas soal jalan pintas. Salah satunya, cara cepat menjadi orang kaya. Atau, cara cepat menggapai sukses, instant learning, dan lain sebagainya. Bukannya mengajarkan tentang kerja keras.

Fenomena semacam inilah yang membuat istilah breakthrough menjadi kurang laku dan dijauhi. Padahal, menurut saya, breaktrough adalah konsep manajemen yang vital, dan negara kita masih memerlukan sangat banyak terobosan.

Kita misalnya, pernah terkagum-kagum dengan terobosan yang dilakukan oleh Dahlan Iskan, baik ketika menjadi wirausaha, Direktur Utama PT PLN, sampai Menteri BUMN. Ada saja idenya. Beberapa di antaranya kerap menabrak-nabrak. Tapi itu demi kelancaran yang sering disumbat.

Misalnya sewaktu menjadi Dirut PLN. Dahlan sebal betul dengan olok-olok tentang PLN yang dilabel sebagai Perusahaan Lilin Negara, atau kalau listrik mati “Pasti Lama Nyalanya”. Dahlan pun melakukan banyak terobosan. Di antaranya, program 3459. Artinya, listrik hanya boleh padam selama 3 jam dalam setahun, waktu respon 45 menit, dan 9 kali padam per pelanggan per tahun.

Semua target itu kemudian dijadikan indikator kinerja perusahaan. Lalu, diteruskan lagi menjadi indikator direksi, wakil direktur, general manager, manajer dan terus sampai kini terbawah di PLN menggunakan Key Performance Indicator (KPI)—sesuatu yang ketika itu kurang lazim diterapkan di BUMN.

Maklum, BUMN kita masih banyak yang menganut prinsip sama rata, sama rasa. Kerja keras, atau kerja kendor, gajinya sama.

Masih banyak terobosan lain yang dilakukan Dahlan ketika menjadi Menteri BUMN. Anda ingat dengan mobil listrik yang diujicobanya sendiri. Idenya mengalir deras, dan kebanyakan di luar pakem. Maka, tak heran kalau jajaran birokrasinya terkaget-kaget.

Empat Faktor

Di industri migas, Pertamina termasuk salah satu BUMN yang juga kerap melakukan terobosan. Namun, mereka melakukannya secara sistematis. Ada rencana, eksekusi, hingga evaluasi. Saya masih ingat saat membantu CEO Transformatif Ari Sumarno menimpin perubahan. Pertamina mengemasnya dalam Breakthrough Project (BTP)—program yang sudah mereka lakukan sejak tahun 2015. Hasilnya pun kelihatan.

Kini hasilnya kelihatan di era Dwi Soetjipto, saat Pertamina mengalihkan impor minyak dari Petral, anak usahanya yang berbasis di Singapura, ke Integrated Supply Chain (ISC). Melalui program ini ternyata sepanjang Januari-Juni 2016 Pertamina mampu menghemat biaya hingga US$91 juta.

Lalu, Pertamina juga mengubah pola pengadaan barang dan jasa dari desentralisasi ke sentralisasi. Perubahan ini juga mampu menghemat anggaran. Program BTP lainnya yang menekan biaya adalah pembenahan tata kelola dan arus minyak, di antaranya, untuk memperkecil volume losses minyak dan produk minyak. Dan, masih banyak lagi lainnya. Hasilnya selama semester I-2016, melalui program BTP, Pertamina mampu menghemat anggaran US$1,089 miliar, atau 144% dari target.

Angka penghematan ini jelas berpengaruh signifikan terhadap kinerja bisnis Pertamina. Sebagai gambaran, selama semester I-2016, laba bersih Pertamina adalah US$1,83 miliar

Pengalaman Pertamina dengan program BTP-nya membuktikan bahwa kita masih memerlukan banyak terobosan, termasuk di industri migas. Apalagi menurut kajian Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Indonesia, tingkat kesejahteraan yang kita peroleh dari industri migas selama tahun 2000 hingga 2011 terus menurun. Sebaliknya pada periode yang sama, tingkat kesejahteraan para kontraktor migas justru meningkat.

Apa penyebabnya? Menurut kajian itu ada empat faktor yang semuanya berkaitan erat dengan cost recovery. Pertama, lemahnya kemampuan pemerintah dalam mengendalikan cost recovery yang diajukan oleh para kontraktor. Banyak biaya yang kurang relevan dengan kegiatan eksplorasi, tetapi dimasukkan oleh para kontraktor sebagai biaya

Kedua, sangat tingginya barrier to entry untuk pengadaan berbagai barang dan jasa di sektor hulu migas. Alasan utama adalah karena industri migas adalah bisnis yang padat modal dan teknologi. Maka, pengadaan barang dan jasa harus selektif.

Namun, ini yang ketiga, ternyata banyak juga kontraktor skala kecil yang masuk di bisnis hulu migas. Ini menciptakan inefisiensi. Keempat, sesuai isi Production Sharing Contract, peran kontraktor sangat dominan dalam mengendalikan aspek keuangan.

Butuh Keberanian

Saya kira kondisi yang menimpa industri migas juga terjadi pada industri-industri lainnya, termasuk yang dikelola BUMN. Inefisiensi masih terjadi di mana-mana. Lalu, apa solusinya?

Pembentukan holding company bisa menjadi salah satunya. Melalui pembentukan holding company, misalnya, Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk tak perlu duplikasi membangun jaringan pipa di jalur sama. Cukup salah satu saja. Ini tentu akan menghemat biaya.

Sejatinya sebagai sebuah gagasan, pembentukan holding company adalah hal biasa, sebagaimana juga merger atau akuisisi. Atau, di sisi lainnya ada spin off, penjualan anak usaha, dan bahkan penutupan perusahaan. Banyak teknik untuk melakukannya.

Namun, yang ingin saya tekankan adalah meski pembentukan holding company adalah hal biasa, untuk mewujudkannya butuh banyak terobosan. Anda tahu, banyak BUMN kita yang perilakunya masih bak organisasi pemerintahan. Birokrasinya berbelit. SDM-nya belum bermental melayani dan belum memiliki mindset bahwa setiap masalah adalah peluang. Ini bukan hanya di level bawahan, tetapi juga manajerial. Mereka belum memiliki mindset seperti ucapan Michael Dell, “Every breakthrough business idea begins with solving a common problem. The bigger the problem, the bigger the opportunity.

Jadi, ke depan resistensi pembentukan holding company bakal sangat tinggi. Saat ini ibarat fenomena gunung es, yang kelihatan di permukaan tak sebesar masalah yang sesungguhnya.

Namun, kita beruntung. Duet Jokowi-JK, adalah sosok yang terbiasa melakukan terobosan dan bernyali. Ini penting sebab setiap BUMN punya backing, termasuk dari kalangan politisi.

Melakukan terobosan kadang tidak bisa sukarela. Bahkan bisa memaksa. Maka, dibutuhkan keberanian.

Saya bermimpi seandainya pembentukan holding company BUMN sesuai dengan bidang industrinya bisa kita realisasikan, kelak bukan hanya Pertamina yang masuk daftar Fortune Global 500. Mungkin akan ada lima atau enam BUMN lainnya yang menyusul. Dan itu artinya kita akan punya reputasi dan kemampuan me-leverage financial yang lebih produktif. Sebab dengan mengatasi masalah ekonomi hari ini, kita akan menghadapi masalah baru di masa depan, yaitu energi akan selalu dirasa kurang.

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *