Ini cerita dari negeri seberang yang saya baca di berbagai situs. Begini kisah ringkasnya. Sekitar awal tahun 1990-an di sebuah kota di Negeri Donald Duck, St Louis, ada seorang penjual es krim. Sebutlah namanya Lucas.
Ia menjual es krim dengan mangkuk. Suatu ketika panas menyengat melanda St Louis. Untuk menyegarkan tubuh, banyak warga kota—termasuk para pendatang, menyerbu kedai es krim milik Lucas. Laris manis. Namun, banyaknya pelanggan membuat Lucas repot setengah mati sebab jumlah mangkuk yang ia sediakan terbatas. Akibatnya setiap kali sejumlah pelanggan selesai makan es krim, Lucas harus berhenti sejenak melayani calon pembeli untuk mencuci mangkuk.
Sementara itu, antrean kian memanjang. Calon pembeli yang kurang sabar akhirnya memilih untuk meninggalkan kedai Lucas. Di sisi lain, di sebelah kedai es krim Lucas, ada Tim yang pedagang cone dan roti. Di kedai Tim, penjualan rotinya lumayan, tetapi cone-nya kurang begitu laris. Suatu hari, ketika kedainya sedang sepi, Lucas dan Tim berbincang.
Tim mengusulkan cone dari kedainya dijadikan wadah es krim, untuk pengganti mangkuk. Setelah diskusi sekian lama, dan melakukan uji coba, Lucas setuju. Begitulah, ketika panas kembali melanda St Louis, calon pembeli menyerbu kedai Lucas. Kini, Lucas tak repot lagi mencuci mangkuk. Malah konsumen senang dengan cone sebagai pengganti mangkuk.
Ada kenikmatan tersendiri ketika cone tersebut digigit. Renyah. Berkat adanya cone, penjualan es krimdi kedai Lucas meningkat. Bukan hanya dua kali lipat, tetapi berlipat-lipat. Bukan cuma keuntungan bagi Lucas, juga bagi pelanggannya yang dapat kenikmatan lebih, tapi harga jualnya tak naik. Begitu pula penjualan cone di kedai Tim melonjak mengikuti penjualan es krim. Keduanya tentu sama-sama senang. Dan, begitulah hasil dari sinergi yang benar.
Bukan 1 + 1 = 2
Kisah tadi bicara soal sinergi. Kata Stephen Covey, “Synergy is what happens when one plus one equals ten or a hundred or even a thousand! “ Itu benar. Jadi, kalau ada sinergi, 1 + 1 bukan 2, tetapi bisa puluhan dan bahkan ratusan. Itulah kekuatan sinergi. Bicara soal ini, saya tiba-tiba teringat dengan salah satu topik yang sedang ramai jadi pembicaraan di negeri ini.
Ini bukan soal pilkada (di Provinsi DKI Jakarta yang paling ramai) atau fatwa MUI tentang penggunaan atribut berbau Natal, tetapi tentang pembentukan holding company sebagai salah satu cara untuk menciptakan sinergi di kalangan BUMN. Salah satunya holding company untuk industri minyak dan gas (migas). Yang namanya perubahan, sudah pastilah heboh. Demikian juga pembentukan holding company.
Cuma aneh memang yang paling ramai diributkan cuma pembentukan holding company migas, padahal ia hanya melibatkan dua perusahaan. Sementara pembentukan holding company lainnya, yang lebih rumit dan melibatkan lebih dari sepuluh perusahaan, tenang-tenang saja. Padahal, business model masing-masing perusahaan tetap sama, cuma di-holding-company-kan saja. Namun, holding company untuk industri migas, menurut saya, agak sulit untuk ditawartawar lagi.
Kita memerlukan BUMN migas yang berukuran besar yang lincah. Mengapa? Pertama, produksi minyak mentah kita terus berkurang, sementara kebutuhannya terus meningkat. Misalnya, tahun 2009 konsumsi minyak mentah kita masih 1,33 juta barel per hari (bph). Lihatlah lima tahun kemudian, angka sudah menjadi 1,64 juta bph. Itu artinya tumbuh di atas 20%. Angka konsumsi ini, saya yakin, akan terus meningkat.
Padahal produksi minyak mentah kita bergerak ke arah yang sebaliknya. Jika tahun 2009 masih 994.000 bph, pada 2014 terpangkas menjadi tinggal 882.000 bph. Artinya menyusut lebih dari 10%. Dan, saya juga yakin, volume produksi ini sulit untuk naik lagi. Kedua, jelas sekali cadangan minyak mentah kita sudah sangat terkuras. Contohnya, tahun 1994 cadangan terbukti dari minyak mentah kita masih mencapai 5 miliar barel.
Lalu, 20 tahun kemudian volume cadangannya sudah jauh berkurang menjadi tinggal 3,7 miliar barel. Itu artinya menyusut sebanyak 26%. Itu artinya untuk menjamin ketahanan energi, yang posisinya sudah sangat merisaukan, kita tak bisa lagi mengandalkan dari cadangan minyak di dalam negeri. Kita harus mencari cadangan-cadangan minyak di luar negeri. Bagaimana caranya? Kita mesti mengakuisisi cadangan-cadangan minyak yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan asing.
Dan, sekarang ini adalah momen terbaik untuk melakukan itu. Sebab seiring dengan masih rendahnya harga minyak, berkisar USD50 per barel, banyak perusahaan minyak di luar negeri yang terlilit kesulitan. Anda tahu, banyak perusahaan minyak asing yang biaya produksinya bahkan di atas USD60 per barel. Jadi, kalau harga minyak mentah di pasaran internasional kurang dari USD50 per barel, mereka sungguh sengsara.
Rugi. Contohnya, hanya selama kuartal IV-2015, Chevron di Amerika Serikat (AS) sudah merugi hingga USD588 juta. Apache, juga perusahaan migas di AS, selama periode itu bahkan membukukan kerugian hingga USD7,2 miliar. Menurut laporan Energy Information Administration (EIA) di AS, 40 produsen minyak di AS merugi hingga USD67 miliar. Itu sebabnya banyak perusahaan di luar sana, bukan hanya di AS, melainkan juga di belahan dunia lainnya, yang angkat tangan. Mereka tak sanggup lagi melanjutkan operasinya.
Merebut Peluang
Peluang inilah yang, saya kira, perlu diambil oleh Pertamina. Apalagi kinerja keuangan BUMN migas terbilang sehat. Sepanjang Januari-September 2016 misalnya, laba bersih Pertamina mencapai USD2,83 miliar, atau tumbuh 209% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Saya kira ini bisa menjadi modal yang bagus bagi Pertamina untuk melakukan ekspansi.
Dengan modal tersebut, saya kira, kita perlu mendorong perusahaan migas kita untuk lebih agresif lagi mengambil alih ladang-ladang minyak di luar negeri. Hanya untuk bisa melakukan itu kita harus membuat Pertamina menjadi jauh besar dan kuat dibandingkan ukurannya yang sekarang. Sebab dengan ukurannya yang sekarang, Pertamina terlihat jauh lebih kecil dibandingkan raksasa-raksasa migas asal China, Eropa dan AS.
Selain itu, sekarang ini Pertamina hanya menguasai 21% dari total produksi migas nasional, dan hanya memiliki 26% dari total cadangan migas nasional. Ini jelas terlalu sedikit. Maka sudah saatnya kita menjadikan Pertamina, BUMN, dan sekaligus representasi negara, sebagai operator dan tuan rumah untuk dengan upaya maksimal membangun ketahanan dan kemandirian energi nasional. Masalah lainnya, mata rantai nilainya (value chain) terputus.
Antara hulu-hilir tidak sinergis. Makanya sulit untuk menjadi besar. Jangankan sinergi keuangan untuk me-leverage kemampuan finansial saat menguasai tambang-tambang besar di luar negeri, sinergi pemasaran saja sulit. Itu sebabnya kalau disatukan, bisa jadi mereka tak perlu meminjam uang dari luar. Surplus di kantong kanan bisa dialihkan ke kantong kiri.
Semudah itu. Belum lagi sinergi manajemen. Padahal mereka bukan kompetitor, melainkan komplementer. Maka dibutuhkan orkestrator dalam sektornya. Apalagi kalau di-merger juga tak mau? Jadi, alternatifnya sudah pasti pembentukan holding company . Persis seperti PT Astra International Tbk yang juga holding company . Kalau change management-nya jalan, perusahaan seperti Astra International bisa sehat juga.
Untuk itu, menurut saya, setidak-tidaknya ada dua cara yang bisa dilakukan agar powerhouse energi kita cepat besar, tetap lincah dan kuat. Ibarat pemain basket NBA yang jauh lebih tinggi dan lebih besar dari pemain-pemain basket kita. Jari-jarinya saja sebesar pisang Ambon, tapi bisa tetap lincah. Bahkan lebih gesit dari pemain-pemain kita. Ini karena lemaknya tidak banyak.
DNAnyalah yang memang dirancang menjadi DNA Powerhouse yang besar. Jadi, pertama, pilihannya, segera jadikan Pertamina sebagai holding company untuk BUMN-BUMN kita di industri minyak dan gas (dan, kelak di bisnis EBT atau Energi Baru Terbarukan). Kedua, kalau dulu Petronas belajar dari Pertamina, kini kita perlu belajar kembali dari Petronas.
Ini tentu soal politik atau strategi industri. Soal pilihan, bukan soal selera. Di sana, pemerintah Malaysia menyerahkan hak untuk mengelola ladang-ladang migas di dalam negeri ke Petronas. Kita dulu pernah melakukannya, tapi kemudian berbelok. Sekarang, menurut saya, saatnya untuk kita kembali memutar arah sebelum tersesat terlalu jauh.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan