Beberapa hari lalu dalam acara buka puasa bersama, seorang CEO papan atas Indonesia berbagi cerita. Setahun lalu, katanya, perusahaannya masih bisa melakukan rapat kerja di hotel bintang lima di Bali. Akan tetapi untuk tahun ini, meski lokasi rapat kerjanya masih sama-sama di Bali, tempatnya tidak lagi hotel bintang lima, melainkan turun ke hotel bintang empat.
Katanya, “Setahun lalu saya masih bisa menginap di kamar yang tarifnya di atas Rp 1 juta per malam. Kalau untuk tahun ini saya dan seluruh direksi lainnya pilih nginap di kamar yang tarifnya Rp550.000++ saja per malam. Ngirit!”
Mengapa? Rupanya kinerja kelompok usahanya sedang kurang menggembirakan. Semuanya turun.
Salah satu yang sangat menurun kinerjanya adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bisnis komoditi. Kita tahu sejak tahun lalu harga beberapa komoditi bergerak turun. Penurunannya bukan biasa-biasa saja, tetapi lumayan tajam.
Penurunan pertama dialami oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit, serta komoditi lainnya. Bak domino effect, penurunan ini kemudian bergulir ke bisnis-bisnis lainnya. Misalnya, penurunan berikutnya dirasakan oleh perusahaan alat-alat berat yang digunakan oleh industri pertambangan dan perkebunan.
Lalu, dari situ penurunan kemudian bergulir menimpa perusahaan-perusahaan pembiayaan alat-alat berat tadi. Baik volume maupun nilai transaksi perusahaan terpangkas hingga lebih dari 30%.
Fenomena semacam itu tak hanya dirasakan oleh kelompok usaha tersebut, melainkan juga banyak perusahaan lainnya. Begitulah, dalam beberapa waktu ke depan, kita mungkin masih akan menyaksikan imbas dari kondisi tersebut. Sektor swasta akan lesu.
Kalau sudah begini, mestinya pemerintah yang berperan. Itulah yang dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi-JK dengan menggenjot pembangunan infrastruktur di mana-mana. Ada uang mengalir ke masyarakat dan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi.
Sayangnya memang kali ini kondisi kurang berpihak. Anda ingat ketika pada akhir 1970-an, Pemerintahan Soeharto gencar membangun infrastruktur. Modalnya ketika itu luar biasa, yakni windfall profit dari kenaikan harga minyak di pasar dunia. Kalau memakai istilah penerbangan mungkin istilahnya pesawat yang menghadapi tail wind. Angin dari arah ekor yang membuat pesawat mampu melaju dengan cepat.
Kondisi kali ini berbeda. Sama sekali tidak ada windfall profit dari minyak mentah. Malah sebaliknya, harga minyak turun tajam. Jadi, kalau memakai istilah penerbangan, pesawat sedang menghadapi head wind. Angin dari arah depan yang membuat laju pesawat tertahan. Selain itu, masih ada kerumitan birokrasi dalam penyaluran dan penyerapan anggaran. Jadi uang berputar juga kurang cukup untuk menicu pertumbuhan.
Itulah kondisi makro ekonomi yang kita hadapi. Lesu. Di lapangan, kita akan dengan mudah menyaksikan buktinya. Berkunjunglah ke mal-mal. Meski sedang musim diskon, transaksi seret. Selama bertahun-tahun sektor konsumsi menjadi mesin penggerak perekonomian kita. Kali ini mesin itu mungkin akan menurun kinerjanya.
Ancaman Bangkrut
Bagaimana potretnya di industri migas? Serupa. Ini bukan hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga di luar sana.
Masyarakat Amerika Serikat (AS) sekarang ini boleh senang dengan booming shale oil dan shale gas, tapi perusahaan-perusahaan migasnya merana. Harga minyak dan gas saat ini sudah terlalu rendah ketimbang biaya untuk mengeksplorasi shale oil dan shale gas. Perusahaan-perusahaan itu merugi dan terancam bangkrut.
Menurut data Bloomberg, sampai dengan Mei 2015, sudah ada lusinan perusahaan shale oil dan shale gas di AS yang meminta perlindungan ke pengadilan agar tidak dipailitkan oleh para kreditornya. Mereka tengah mengalami masalah serius. Lusinan obligasi dari perusahaan-perusahaan ini sudah mengalami gagal bayar.
Di Eropa, laba bersih Shell pada tahun lalu anjlok 57% menjadi US$773 juta. Begitu pula dengan Gazprom dari Rusia yang laba bersihnya merosot 62% sepanjang kuartal II-2015. Gazprom memasok 30% kebutuhan migas Eropa. Lesunya sektor konsumsi di Eropa ini mungkin bakal kelihatan semasa Piala Eropa 2016 yang bakal digelar di Prancis.
Anomali
Melihat kondisi yang semacam itu, maka saya tertegun ketika Pertamina mengumumkan kinerjanya selama tahun 2015. Memang laba bersihnya turun, tetapi sangat tipis. Ini datanya.
Pada tahun 2014 laba bersih Pertamina mencapai US$1,45 miliar. Anda tahu berapa laba bersihnya untuk tahun 2015? US$1,42 miliar. Jadi hanya turun 2%.
Lalu, ketika sejumlah perusahaan migas multinasional yang beroperasi di Indonesia sudah menyiapkan rencana PHK dengan berbagai skema, para pekerja Pertamina tenang-tenang saja. Mereka aman bahkan dari bayang-bayang PHK sekalipun.
Bagaimana bisa terjadi “anomali” semacam ini? Saya kira kata kuncinya adalah kreativitas—dengan berbagai bentuknya. Dalam bisnis apa pun, sumber daya bisa sangat terbatas. Keuangan, misalnya, pasti terbatas. Mesin pun begitu. Kalau dipaksa beroperasi melebihi batas, pasti rusak.
Dalam bisnis migas bahkan lebih jelas. Cadangan sumber daya mineralnya sangat terbatas dan kalau dieksplorasi terus menerus suatu saat pasti akan habis.
Lalu, adakah sumber daya yang tidak mengenal batas? Ada, yakni sumber daya manusia (SDM) dengan segenap kreativitasnya. Bentuk dari kreativitas ini sangat beragam. Misalnya, saya tahu persis Pertamina habis-habisan membenahi sektor hulunya. Hasilnya, produksi bisa meningkat sampai 11%.
Di bisnis pengolahan, Pertamina membenahi tata kelolanya, sehingga produktivitas kilang pun. Produk-produk kilang yang bernilai jual meningkat dari semula hanya 73,14% menjadi 75,52%.
Langkah lain yang, menurut saya, sangat strategis adalah efisiensi di segala lini yang dikemas dalam Breakthrough Project New Initiatives Pertamina. Saya anggap ini penting, sebab dengan langkah tersebut Pertamina akan memiliki postur bak atlet. Sosoknya besar, tetapi ramping dan berotot. Ini akan membuat Pertamina mampu bergerak lincah.
Di luar ini, program-program efisiensi terobosan ini juga menghasilkan penghematan yang luar biasa. Selama 2015 nilainya mencapai US$ 608,41 juta atau nyaris separuh dari laba bersih tahun itu.
Itulah potret kekuatan SDM yang membuat Pertamina menjadi “anomali” dalam industri migas dunia.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan