Di tengah pilkada ( bahkan ada yang rasa pilpres), izinkan saya untuk mengingatkan para calon kepala daerah tentang tugas berat yang bakal diembannya selaku pemimpin.
Di negara-negara maju, setiap pemimpin—entah dia presiden, gubernur, atau wali kota—selalu dinilai dari dua hal. Pertama, seberapa tinggi pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Kedua, keberhasilannya mengurangi tingkat pengangguran. Dua ukuran ini biasanya jalan beriringan. Artinya kalau tingkat pertumbuhan ekonomi daerah tinggi, biasanya angka penganggurannya menurun. Sebaliknya kalau pertumbuhan ekonominya rendah, angka pengangguran pasti tinggi.
Namun, bisa juga yang terjadi tidak seperti itu. Maksud saya, bisa saja tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi, tetapi angka penganggurannya juga tidak berkurang alias masih tetap tinggi. Mengapa? Saya akan membahas soal ini kemudian. Hanya yang jelas, ini membuat beban untuk menjadi seorang pimpinan, baik pimpinan negara atau daerah, menjadi semakin tidak ringan. Itu sebabnya saya sungguh tak habis mengerti kalau sekarang masih banyak orang yang seolah-olah berlomba ingin menjadi pemimpin.
Genjot Investasi
Pengangguran memang menjadi masalah di banyak negara, termasuk negara kita. Menurut data Badan Pusat Statistik, tahun 2015 jumlah pengangguran kita mencapai 7,6 juta, atau meningkat 5,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Celakanya, persentase terbesar pengangguran ini ada di usia produktif, yakni 15-24 ta-hun. Kalau mau dipersentasekan, jumlahnya mencapai 6,2% terhadap total tenaga kerja. Saya tak ingin mengulas dampak sosial dari tingginya angka pengangguran. Anda pasti tahu, jelas serius dampaknya.
Maka saking seriusnya, mestinya pengangguran tak hanya menjadi urusan pemerintah pusat. Masalah ini juga harus menjadi urusan pemerintah daerah (baca, kepala daerah). Baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Kalau bicara teori, mengatasi pengangguran itu simpel saja, yakni dengan menggenjot investasi. Saya kira semua calon kepala daerah dan wakilnya yang sedang kampanye tahu persis soal ini. Kalau sampai tidak tahu, saya rekomendasikan, jangan pilih pasangan tersebut! Saya yakin, mengatasi pengangguran dan menggenjot investasi juga akan menjadi salah satu janji penting saat kampanye dari pasangan calon kepala daerah.
Hanya sayangnya setelah terpilih, banyak kepala daerah yang lupa akan janji-janjinya. Padahal, banyak yang sampai mau menandatangani kontrak politik segala, tapi tetap saja mereka lupa. Buktinya sederhana. Lihat perda-perda barunya. Kita sering mendengar curhat dari para pebisnis tentang betapa sulitnya menanamkan modal di daerah. Izinnya banyak, prosedurnya berbelit-belit, tidak jelas dan tak pernah bisa tahu kapan selesainya. Lalu, kalau perusahaannya sudah beroperasi, banyak pihak menjadikannya sebagai sapi perah. Pungli. Mulai kewajiban memberi donasi sampai uang saku ini dan itu.
Di bidang yang saya geluti, pendidikan, pun begitu. Beberapa hari lalu saya hadir di sebuah diskusi. Di sana ada seorang rektor yang mengeluh soal betapa sulitnya ketika perguruan tinggi memperluas jaringan di luar kota. Kalau saya bilang luar Jakarta, itu tidak berarti nun jauh di sana. Lokasinya masih seputar Jabodetabek. Anda tahu bukan hadirnya perguruan tinggi akan menciptakan banyak sekali bisnis baru. Misalnya bisnis kos-kosan, warung makan, laundry hingga fotokopi. Lalu akan ada toko buku. Kalau jumlah mahasiswa terus bertambah, minimarket bakal bermunculan.
Mahasiswa atau dosen sesekali pasti sakit juga. Maka di situ pasti bakal ada klinik kesehatan dan rumah sakit. Belum lagi jasa pengiriman uang, katering, dan sebagainya. Oleh karena lokasi calon kampus tersebut hanya sedikit di luar Jakarta, saya yakin akan banyak pengembang yang tertarik untuk membangun apartemen bagi para mahasiswa. Buktinya sudah ada. Coba saja Anda klik Google, cari apartemen kos, pasti ada sejumlah penawaran investasi di sana. Dengan adanya apartemen ini, kalau orang tua mahasiswa dari daerah datang mengunjungi anaknya, mereka tak perlu repot-repot cari hotel atau tempat penginapan.
Begitu juga kalau mereka datang untuk kelak menghadiri wisuda anaknya. Intinya adalah hadirnya perguruan tinggi yang bermutu tersebut akan membuka banyak peluang bisnis dan sekaligus menciptakan lapangan kerja baru di daerah tersebut. Saya yakin setiap kepala daerah pasti tahu soal ini. Tapi, ini pahitnya, mengapa sang rektor tadi sampai mengeluh soal betapa berbelit- belitnya mengurus perizinan bagi pembukaan kampus barunya? Alasannya bermacam- macam. Ada dokumen yang kurang, mesti berkoordinasi dengan instansi lain, atau sedang diproses—tetapi tak jelas kapan selesainya.
Belum lagi gangguannya, banyak sekali yang cari-cari alasan, mulai yang benar dan penting sampai yang dicari-cari. Kalau mau ketemu sang kepala daerah, juga tak kalah sulit. Ada saja alasannya. Sedang rapat dinas, sedang bepergian ke luar kota, dan sejuta alasan lainnya. Buat Anda yang pernah berbisnis di daerah, kalau alasannya sudah macam-macam seperti itu, tentu mudah membacanya, ujung-ujungnya duit, bukan? Tapi, bukankah pemerintah sedang gencar-gencarnya memberantas pungli dan korupsi? Jadi, mana janjinya soal investor friendly dan penciptaan lapangan kerja tadi? Mungkin sudah menguap ke langit.
Toxic Leader
Itu satu soal. Tapi kini alhamdulilah, puji Tuhan, mulai muncul kepala-kepala daerah yang serius ingin bekerja. Buat mereka yang serius, satu hal yang ingin saya titip, buatlah kebijakan yang berdampak pada penciptaan lapangan kerja. Ini tidak mudah. Pasti alot tawar menawarnya.
Banyak yang bakal melawan Anda, baik itu preman berjubah orang baik, politisi sampai pegawai sendiri. Kalau Anda telat minum obat, dijamin bakal sulit mengontrol emosi. Jadi Anda harus siap cukup satu periode, tapi amat berarti. Investasi yang paling banyak menyerap tenaga kerja secara nasional sesungguhnya ada di bidang pertanian. Tapi sekarang ini, banyak pebisnis yang tidak suka berinvestasi di sektor pertanian. Alasannya simpel, harga komoditi sedang anjlok.
Investasi di sektor pertanian menjadi tidak menarik lagi. Sekarang ini yang sedang tren adalah investasi di sektor jasa dan perdagangan. Anda lihat, di mana-mana anak-anak muda mengembangkan bisnis e-commerce. Ini memang bisnis yang sedang naik daun, tetapi penyerapan tenaga kerjanya tidak banyak. Salah satu sektor yang serapan tenaga kerjanya tinggi adalah industri manufaktur. Hanya, jenis manufaktur yang seperti apa? Kalau padat karya, ok.
Kalau padat modal, ini yang mesti dipertimbangkan karena sejumlah sebab. Pasalnya, Anda tahu banyak SDM di daerah yang kualitasnya pas-pasan. Mereka kalau tidak lulusan SMP, ya paling lulusan SMA. Jelas, mereka tidak siap langsung kerja. Mesti dididik dan dilatih dulu. Jadi, perusahaan mesti keluar biaya tambahan. Itu sebabnya sekarang banyak perusahaan manufaktur lebih suka investasi dengan mendatangkan teknologi. Investasinya tinggi, tetapi mesin tidak pernah mengenal lelah dan tidak pernah melakukan aksi unjuk rasa untuk menuntut kenaikan upah.
Hasilnya, mungkin investasi meningkat, pertumbuhan ekonomi naik terus, tetapi pengangguran di daerah bakal tetap tinggi. Di sinilah Anda, sebagai kepala daerah, mesti lihai melakukan tawar-menawar dan berpikir komprehensif. Namun satu hal: tak ada jalan pintas. Artinya, Anda juga harus mau melakukan investasi jangka panjang yang berakibat positif bagi pengganti Anda. Ya pendidikan, kesehatan, pengaturan, dan sebagainya.
Jangan malah ”selingkuh” dengan industri dan lupa dengan janji menciptakan lapangan kerja baru. Kalau seperti itu, Anda bakal disebut sebagai toxic leader. Mau menjadi pemimpin beracun?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan