Saya terkesima ketika membaca artikel tentang perawatan fasilitas produksi migas milik sebuah International Oil Company (IOC) yang berlokasi di Indonesia. Dari situ mata saya terbuka. Rupanya merawat fasilitas produksi migas, terlebih di sektor hulu, tak sesederhana yang saya bayangkan.
Untuk Anda ketahui, fasilitas produksi di sektor hulu umumnya terdiri dari dua bagian. Pertama, sumur-sumur migasnya itu sendiri. Sumur-sumur ini perlu dirawat agar volume produksinya tetap terjaga. Itu tidak mudah, sebab sumur-sumur migas di Indonesia—terlebih yang dikelola oleh Pertamina—umumnya sudah tua. Rata-rata sudah di atas 50 tahun, dan bahkan ada yang lebih dari 100 tahun.
Sumur migas bukan buah kelapa. Kalau buah kelapa, makin tua makin banyak santannya. Sumur migas sebaliknya. Kian tua cadangannya kian menipis.
Kedua, peralatan untuk produksi dan distribusi. Alat-alat ini digunakan untuk memompa migas agar ke luar dari perut bumi. Setelah ke luar dari perut bumi, migas ini mesti disimpan, sebelum akhirnya didistribusikan ke kilang-kilang untuk diolah menjadi BBM atau gas siap pakai.
Merawat fasilitas produksi membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sebagai gambaran, IOC tadi mesti menghentikan kegiatan operasionalnya dalam dua tahap. Pertama, kegiatan operasional mesti berhenti selama empat hari atau 96 jam. Lalu, tahap kedua mesti berhenti selama tiga hari atau 72 jam. Jadi total tujuh hari atau 168 jam.
Menghentikan kegiatan operasional tentu berimbas pada penurunan volume produksi. Maka, Rencana ini juga mesti dikomunikasikan ke para pelanggan dan mitra-mitra bisnis, termasuk Pemerintah Indonesia dan stakeholders lainnya. Sebab ini akan berpengaruh kepada aktivitas bisnis mereka, dan terhadap penerimaan negara.
Kurang Pandai Merawat
Kita dikenal sebagai bangsa yang pandai membangun, tapi kurang pandai merawat. Kita bangsa yang kreatif, tapi kurang kuratif. Kita juga senang terhadap sesuatu yang baru, tapi sayangnya kurang senang merawat dan memperbaharui.
Potret ini tercermin di mana-mana. Contohnya, waktu Jakarta dilanda banjir besar, kita ribut soal mendesaknya realisasi pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) dan Banjir Kanal Barat (BKB). Cobalah sekarang lihat keduanya. Pendangkalan terjadi di mana-mana. Bahkan di tanah-tanah hasil endapan, di situ tumbuh sejumlah pepohonan.
Cobalah lihat jembatan-jembatan penyeberangan. Atapnya copot, batang-batang besinya berkarat, sebagian lantainya malah bolong-bolong dan membahayakan para pejalan kaki.
Lihatlah halte-halte bus kota kita. Centang perenang. Banyak corat-coret, atapnya jebol, tempat duduknya kotor, dan penuh sampah—terutama puntung rokok. Kalau tidak terpaksa, kita tentu enggan menunggu bus di sana.
Pasca terjadinya kecelakaan yang parah, kita sibuk berdebat soal pentingnya angkutan umum yang nyaman dan aman. Maka, banyak angkutan umum tidak layak operasi yang kena jaring razia Dinas Perhubungan. Fungsi kir juga diperketat. Sekarang cobalah lihat ke jalan-jalan. Banyak angkutan umum yang bobrok, tapi dibiarkan tetap beroperasi.
Mentalitas bangsa dan kepemimpinan yang semacam inilah yang membuat kita cemas. Bagaimana mereka bisa dipercaya mengelola fasilitas produksi di sektor hulu migas yang sedemikian strategis?
Anda tahu bukan soal ini? Simpelnya begini. Energi menentukan kemajuan peradaban umat manusia. Lihatlah negara-negara yang mampu menjamin kecukupan energinya, mereka lebih maju ketimbang yang tidak mampu. Amerika Serikat, Australia, Jepang, Korea Selatan, atau China kini jauh lebih sejahtera ketimbang negara-negara di sub sahara Afrika yang tak mampu mencukupi kebutuhan energi.
Dan, salah satu sumber energi utama itu ada di sektor hulu migas!
Maka, apa jadinya jika fasilitas itu dikelola oleh orang-orang yang tidak kompeten dan tak punya sense of belonging. Hanya bekerja seadanya, tanpa passion dan rasa tanggung jawab. Bahkan sebagian dari mereka hanya bekerja kalau diawasi.
Maka, langkah pertama merawat fasilitas produksi bukanlah membuat SOP atau menyediakan peralatan. Bukan itu. Langkah pertama justru mengubah mindset. Ini bukan hanya untuk para karyawan, tetapi juga pimpinannya.
Apa mindset yang perlu berubah? Cara pandang mereka dari yang semula hanya karyawan berubah menjadi entrepreneur. Jadi, ini semacam semangat entrepreneurship yang muncul dari dalam perusahaan, atau intrapreneurship. Mengapa ini penting?
Intrapreneurship
Bicara soal intrapreneurship, saya punya sedikit cerita.
Selama 40 tahun PT Badak NGL beroperasi sebagai operating company. Akibatnya kultur sebagai operator melekat begitu kuat. Namun, ketika pasokan gas mulai berkurang, mereka dipaksa untuk berubah. Perusahaan dituntut mencari sumber-sumber pendapatan lainnya. Maka, Badak LNG pun memutuskan melakukan perubahan. Mereka mengubah mindset-nya dari operating company menjadi profit company.
Imbasnya dahyat. Inovasi tiba-tiba mengalir deras di dalam darah perusahaan ini. Ide-ide baru bermunculan. Contohnya memangkas proses untuk pendinginan atau pre-cooldown. Selama ini proses itu menghasilkan gas yang harus dibuang (flare gas). Nilainya kalau dihitung bisa mencapai Rp3 miliar. Proses ini mereka benahi, sehingga waktu pre-cooldown jadi lebih singkat dan gas yang terbuang lebih sedikit.
Inovasi lainnya berangkat dari hobi mengotak-atik. Selama ini ada unit mesin yang untuk merawatnya, mesin itu mesti dibongkar dan dibawa ke Singapura. Biaya jelas mahal. Selain itu, selama mesin dalam perawatan, kinerja operasional perusahaan terganggu.
Sekelompok karyawan Badak LNG penasaran. Atas izin atasan, mereka coba mengotak-atik sendiri. Bisa. Maka, kini perawatan mesin itu tak lagi dilakukan di Singapura. Cukup di Bontang. Biaya lebih hemat, dan waktunya pun menjadi lebih singkat.
Dan, masih banyak lagi inovasi lainnya yang dilakukan perusahaan itu. Beranjak dari kisah tadi, saya melihat, perubahaan mindset ternyata berbuah begitu banyak lompatan. Jadi, itulah yang mesti kita lakukan untuk mereka yang bekerja di fasilitas produksi. Bukan hanya level bawah, tapi juga jajaran atasnya. Sebab kalau yang di bawah jarak lompatannya mungkin hanya satu langkah, kalau di atas bisa puluhan langkah. Dampaknya akan jauh lebih dahsyat!
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan