Meluruskan Dwelling Time, Lagi – Koran Sindo

Ramai-ramai soal dwelling time belakangan ini memikat perhatian saya. Ini bukan karena persoalannya yang berkembang menjadi kian pelik.

Sama sekali bukan. Urusan dwelling time dari dulu sampai sekarang masih saja tetap sama, tetapi karena ditarik sana-sini, akhirnya masalahnya menjadi kabur. Baiklah supaya lebih jelas, langsung saja saya ajak Anda untuk mengikuti rangkuman dari beberapa berita berikut ini. Senin (3/10), Ketua Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia cabang Sumatera Utara Herbin Marpaung tertangkap tangan menerima uang Rp75 juta dari pengguna jasa Pelabuhan Belawan, Medan.

Uang itu diduga untuk memperlancar proses bongkar-muat barang di pelabuhan. Menurut keterangan pihak Polda Sumatera Utara, penangkapan tersebut merupakan tindak lanjut dari perintah Presiden Jokowi yang meminta waktu bongkar muat (dwelling time) di Pelabuhan Belawan dipangkas. Kalau waktu dwelling time pendek, biaya logistik bakal lebih murah. Ini pada akhirnya akan membuat harga barang-barang juga menjadi semakin murah. Itu sebabnya Presiden Jokowi ingin Logistic Performance Index(LPI) Indonesia, yang untuk tahun 2016 berada di peringkat ke-63 dari 160 negara, diperbaiki.

Apalagi pada tahun sebelumnya logistik kita mempunyai kinerja yang lebih baik. Misalnya, untuk survei pada tahun 2014, LPI Indonesia berada di peringkat ke- 53. Maka tak heran kalau Presiden Jokowi ingin kinerja logistik kita menjadi lebih baik. Ini berita pertama. Sekarang mari kita lihat rangkuman berita kedua. Salah satu pelabuhan yang kini banyak disorot terkait lamanya dwelling time adalah Pelabuhan Belawan di Medan.

Di sana, katanya, antrean kontainer sudah begitu panjang. Itu terjadi karena tak semua crane yang ada di pelabuhan berfungsi dengan baik. Namun, berita itu dibantah oleh Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia dan Wakil Ketua Umum Kadin Sumatera Utara bidang Logistik dan Multimoda. Menurut keduanya, dwelling time di Pelabuhan Belawan tak sampai lebih dari 10 hari. Hanya 3-5 hari.

Lalu, info yang saya dengar, crane-crane yang ada di Pelabuhan Belawan jumlahnya sudah mencukupi dan semuanya juga berfungsi dengan baik. Maka adanya keinginan untuk melibatkan swasta dalam penyediaan crane di Pelabuhan Belawan terasa aneh. Agak dipaksakan. Kita bisa kembali ke masa lalu, saat crane di pelabuhan-pelabuhan kita dulu disewakan para penguasa, eh maaf, pengusaha (yang punya jalinan bisnis dengan oknum di panggung politik). Kondisi ingar-bingar semacam inilah yang membuat isu dwelling time akhirnya kabur. Lari ke sana, lari ke sini.

Meluruskan Definisi 

Pertama, saya ingin meluruskan kembali pengertian tentang dwelling time. Menurut World Bank, dwelling time adalah waktu yang dihitung mulai saat barang/container dibongkar, diturunkan dari kapal dan ditaruh di tempat penimbunan sementara (TPS, atau Container Yard) sampai barang/container tersebut akhirnya meninggalkan pelabuhan melalui pintu gerbang utama pelabuhan.

Jadi, merujuk definisi itu, proses dwelling time akan meliputi pre-clearance, customs clearance, dan post-clearance. Pre-clearance adalah proses peletakan barang/ container di TPS dan penyiapan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Sedang kegiatan customs clearance meliputi pemeriksaan fisik barang (khusus jalur merah), verifikasi dokumen oleh BeaCukai, dan pengeluaran Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Lalu, kegiatan post clearance adalah saat barang atau container diangkut keluar kawasan pelabuhan.

Jadi, angka dwelling time secara keseluruhan merupakan hasil penjumlahan dari lamanya waktu untuk proses pre-clearance, customs clearance,dan post-clearance. Untuk Anda ketahui, semua proses tersebut merupakan kewenangan Bea Cukai dan Karantina, bukan tanggung jawab pengelola pelabuhan. Urusan pelabuhan adalah dalam proses bongkar muat barang atau kontainer. Maka kalau masalah lamanya dwelling time –yang mencakup pre-clearance, customs clearance, dan post-clearance– ditimpakan ke pengelola pelabuhan, rasanya jadi aneh.

Apa urusan pengelola pelabuhan? Kalau dokumen impor barangnya lengkap, pemeriksaan bea cukainya lancar dan tidak dicari- cari, tak ada masalah dengan Karantina, mestinya dalam sehari barang/container bisa keluar dari pelabuhan. Lalu, mengapa hal itu tidak terjadi di pelabuhan-pelabuhan kita lainnya?

Ketidakpastian, Koordinasi 

Sebagai gambaran, saat ini dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta masih berkisar 3 hari, dan mereka tengah berupaya habis-habisan untuk menekannya agar menjadi tinggal 2,5 hari. Sementara dwelling time di pelabuhan-pelabuhan utama lainnya, seperti Pelabuhan Belawan di Medan, Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, Pelabuhan Makassar di Sulawesi Selatan, masih 3-5 hari.

Angka tersebut masih relatif tinggi, terutama jika kita bandingkan dengan beberapa pelabuhan negara tetangga. Di Singapura, misalnya, angka dwelling time -nya hanya 1 hari. Lalu, di Malaysia sudah berhasil memangkas waktunya menjadi tinggal 2 hari. Sementara di Thailand berkisar 2-3 hari. Kedua, persoalan lainnya bukan hanya menyangkut lamanya. Angka dwelling time yang sangat tinggi fluktuasinya– di beberapa pelabuhan, ada container yang mengendap selama 10 hari, atau bahkan sampai lebih dari 30 hari–juga menggambarkan rendahnya kepastian bisnis di Indonesia.

Ini tentu merugikan reputasi kita di mata masyarakat bisnis. Lalu, mengapa dwelling time di negara kita bisa lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga? Saya lama merenungkan soal ini dan terpaksa melihat sendiri ke pelabuhan-pelabuhan utama kita. Akhirnya ketemu jawabannya. Rupanya itu terjadi karena kita sebetulnya tengah berurusan dengan ”barang termahal” yang pernah ada di negara ini. Anda tahu bukan? Iya, barang itu namanya: koordinasi! Lihat ini.

Menyangkut perizinan untuk impor dan pengeluaran barang dari kawasan pelabuhan, menurut hitungan saya, setidak-tidaknya melibatkan 18 instansi pemerintah dan semuanya masih senang melayani sendiri-sendiri di kantor masing-masing jauh di luar pelabuhan. Contohnya kalau yang diimpor barang-barang pertanian, izinnya harus dari Kementerian Pertanian. Kalau berupa makanan, izinnya harus dari Badan POM. Kalau produk kesehatan, izinnya dari Kementerian Kesehatan dan Badan POM.

Kalau produk teknologi informasi, izinnya dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dan seterusnya, bergantung pada jenis barangnya. Celakanya, layanan perizinan tersebut tidak semuanya berada disatu atap. Atapnya memang sudah menyatu, tapi petugasnya baru datang kalau ada sidak. Juga, belum ada kesepakatan mengenai service level agreement. Misalnya semua perizinan harus selesai dalam satu hari, kemudian semua proses yang terkait dengan perizinan tersebut tidak berada di bawah koordinasi BUMN pelabuhan kita.

Jadi, masing-masing berdiri sendiri. Anda tahu bukan, para petugas yang bekerja mengurusi perizinan adalah para pegawai negeri sipil (PNS). Mereka adalah birokrat. Padahal UU-nya sudah berubah menjadi aparatur sipil negara, yang artinya adalah pelayanan publik. Kalau segala hal telah berubah, sementara pengawas perizinan masih mau kerja dengan cara lama, ini jelas bertentangan dengan kehendak publik. Karena itu OTT sudah pasti diperlukan.

Buat Anda yang sering berurusan dengan mereka tentu tahu mindset lamanya yang masih kental: ”Kalau bisa diperlambat, mengapa harus dipercepat.” Lebih ngeri lagi saya kalau mereka merasa perizinan harus diada-adakan, dan diperumit. Menjadi mahal dan tak pasti. Akhirnya masuklah kita dalam rimba belantara perizinan yang semuanya menabrak tiga aturan tentang governance. Kalau Anda masih ingat, ketiganya adalah jelas persyaratannya, jelas biayanya, dan jelas kapan selesainya. Ini yang tidak ada.

Dan, kebetulan semuanya terjadi di pelabuhan, maka yang paling mudah adalah salahkan saja pihak pelabuhan. Maka tertawalah bandar pelabuhan di negeri seberang yang sedang panik melihat negeri besar ini tengah menyaingi bandara dan bandar lautnya.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

 

Sebarkan!!

2 thoughts on “Meluruskan Dwelling Time, Lagi – Koran Sindo”

  1. Deskripsi ini adalah kenyataan, setuju untuk perubahan. Aksi pemerintah saat ini menurutku masih terkesan “lain gatal lain digaruk”
    Korbanlah dikau ‘RJ Lino’.

  2. Dahulu Pak RJ Lino sudah pernah menjelaskan bahwa dwelling time bukan urusan dari pengelola pelabuhan, melainkan terkait dengan masalah perizinan. Waktu itu saya belum begitu jelas, tetapi setelah Prof. Rhenald menulis ini, saya menjadi mengerti. Dan sekali lagi saya masih sangat menyesalkan kenapa orang sekelas Pak Lino harus dikorbankan sebagai tumbal politik, padahal beliau adalah teknokrat dan profesional yang paham dan pakar tentang manajemen pelabuhan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *