Menjelang petang pada awal Oktober 2016. Di sebuah kafe, saya berbincang panjang dengan seorang eksekutif yang bekerja di sebuah perusahaan multinasional. Perusahaan ini beroperasi di Indonesia dan memiliki puluhan bidang usaha. Sebagian berada di Jawa, sebagian di Sumatera dan Kalimantan. Sang eksekutif tadi kebetulan dipercaya untuk mengurusi bisnis perkebunan kelapa sawit.
Sambil menyesap kopinya yang masih panas dan mengepulkan asap, eksekutif tadi bercerita. Katanya, sebelum bekerja di perkebunan, ia sempat menjadi eksekutif di sebuah perusahaan pertambangan. Sepanjang perbincangan, ia banyak membandingkan kondisi di perusahaan lama dan perusahaan barunya. Salah satunya yang menyangkut interaksi perusahaan dengan masyarakat lokal. Ini termasuk masalah rekrutmen.
Perbandingannya kurang lebih begini. Pertama, bisnis perkebunan sebetulnya memiliki beberapa kesamaan dengan bisnis pertambangan. Keduanya sama-sama berlokasi dan beroperasi di daerah pinggiran. Bahkan beberapa di antaranya berada di daerah-daerah terpencil.
Kedua, baik bisnis perkebunan maupun pertambangan sering kali menghadapi masalah ketika berinteraksi dengan penduduk lokal. Kebanyakan bukan interaksi yang positif—kalau tak mau dikatakan cenderung negatif.
Ketiga, soal kebutuhan tenaga kerja, keduanya juga mempunyai harapan yang sama, yakni kalau bisa mereka ingin merekrut sebanyak-banyaknya penduduk lokal daerah. Alasannya simpel. Misalnya, biaya untuk merekrut putra-putra daerah pasti lebih murah ketimbang anak-anak kota. Juga, biaya retensinya pasti akan jauh lebih murah.
Ia kemudian mengeluh soal betapa sulitnya merekrut anak-anak yang tinggal di kawasan perkotaan untuk ditempatkan di daerah-daerah terpencil. Selain menuntut gaji yang lebih tinggi, mereka juga ingin agar secara periodik diperbolehkan meninggalkan daerah terpencil untuk pergi ke kota. Semuanya dengan tanggungan biaya dari perusahaan.
Kemudian, untuk membuat “anak-anak kota” itu betah, perusahaan juga mesti menyiapkan banyak fasilitas. Kolam renang, lapangan tenis, gedung bioskop, pusat kebugaran, fasilitas kesehatan, hunian dan segala fasilitas pendukung lainnya. Semua mesti tersedia. Itu semua pada ujung-ujungnya adalah biaya.
Bandingkan kalau perusahaan bisa merekrut putra daerah. Mungkin fasilitasnya tak perlu sebanyak itu. Lebih hemat.
Padat Karya vs Padat Modal
Itulah beberapa kesamaan antara bisnis perkebunan dengan pertambangan. Lalu, di mana perbedaaannya?
Ini masih terkait dengan penduduk lokal. Merekrut putra daerah untuk bekerja di bisnis perkebunan jauh lebih mudah ketimbang bekerja di bisnis pertambangan. Sebab bisnis perkebunan adalah bisnis padat karya. Untuk bisa bekerja di perkebunan tidak membutuhkan keterampilan khusus. Mungkin untuk beberapa jenis pekerjaan memang membutuhkan keahlian tertentu, tetapi itu tidak sulit dipelajari. Jadi, asal badan sehat, sudah cukup. Itu di bisnis perkebunan.
Bisnis pertambangan sebaliknya. Ini bisnis padat modal dan padat teknologi. Banyak teknologi di pertambangan yang sudah computerized atau berbasis komputer. Jadi untuk bisa mengoperasikan mesin-mesin atau peralatan pertambangan tersebut jelas membutuhkan keterampilan khusus. Para pekerjanya perlu dididik secara khusus, mengikuti berbagai pelatihan, dan bahkan harus memiliki sertifikasi. Kemudian secara periodik para pekerjanya harus kembali mengikuti ujian kompetensi. Mengapa?
Itu karena banyak pekerjaan di bisnis pertambangan yang tidak memberikan toleransi sama sekali terhadap kesalahan alias zero defect. Sebab sekali salah, fatal akibatnya. Contohnya banyak sekali.
Misalnya, kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, yang sampai sekarang masih terus menyemburkan lumpur panas. Atau, kalau di luar negeri, salah satu kasus yang sangat fatal adalah kasus Deepwater Horizon, yakni meledaknya anjungan minyak lepas pantai milik British Petroleum di Teluk Meksiko, Amerika Serikat, pada April 2010. Ledakan itu mengakibatkan tumpahan minyak yang luar biasa dan dinilai sebagai bencana terbesar yang pernah terjadi di Negeri Paman Sam.
Human Resource vs Human Capital
Kita mungkin sudah banyak mendengar bisik-bisik bahwa kalau ada putra daerah yang diterima bekerja, sebagian di antara mereka adalah karena katabelece. Mereka diterima karena “surat sakti” entah dari pejabat daerah atau memang anggota keluarganya. Maka, mereka biasanya dialokasikan untuk mengurusi pekerjaan-pekerjaan yang aman. Misalnya, urusan administrasi atau menangani pekerjaan yang ada hubungannya dengan masyarakat setempat. Biasanya bukan pekerjaan yang membutuhkan kompetensi tinggi.
Jadi, kalau ada perusahaan yang mau merekrut putra daerah dan mempercayai mereka untuk menangani urusan-urusan teknis, bukan hanya pekerjaan klerikal, saya sangat kagum. Bagi saya, perusahaan semacam ini tentu sudah mengalami pencerahan. Mereka tak lagi menganggap karyawan asal daerah sebagai cost, tetapi sudah investasi.
Mereka tak hanya memperlakukan karyawannya sebagai sumber daya, tetapi sudah menjadi modal. Bukan lagi sebagai human resources (HR) tetapi sudah human capital (HC). Anda tahu bukan bedanya HR dengan HC? Bagi perusahaan yang masih mengusung konsep HR, karyawan dianggap sebagai sumber daya dan bagian dari organisasi, sehingga harus dikelola dengan sebaik-baiknya. Sesuai konsep ini, kinerja karyawan biasanya diukur dari apa yang dihasilkannya.
Sementara, dalam konsep HC berbeda. Perusahaan sudah menganggap seluruh karyawannya, termasuk putra-putra daerah, sebagai aset dan portofolio yang harus terus dikembangkan. Di perusahaan yang seperti ini, kinerja karyawan yang bersangkutan biasanya diukur dengan seberapa besar nilainya bagi perusahaan.
Saya menganggap perusahaan yang mau merekrut putra daerah dan menempatkan mereka di posisi-posisi strategis adalah perusahaan yang sudah melakukan bertransformasi. Mereka tak lagi menganggap karyawan sebagai faktor produksi semata, dalam sudah menjadi penentu bagi nasib dan masa depan perusahaan. Jadi, perusahaan seperti ini, tentu, perusahaan yang luar biasa.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan