Saya tiba-tiba merasa berada di New York, Amerika Serikat. Padahal sejatinya tengah berada di sebuah stasiun kereta di Indonesia. Iya, di Indonesia. Begini ilustrasinya.
Di stasiun kereta, kita membeli tiket melalui vending machine.Caranya sangat mudah.Kita tinggal memilih tanggal perjalanan, stasiun asal, stasiun tujuan, memasukkan nama, nomor identitas, dan nomor telepon. Semua data itu di-input melalui layar sentuh (touch screen). Setelah meng-input data, kita tinggal membayar. Bisa tunai dengan uang pecahan Rp2.000 sampai Rp100.000. Bisa juga dengan kartu debit atau e-money yang diterbitkan perusahaan telekomunikasi.
Setelah proses pemesanan dan pembelian selesai, vending machine akan mengeluarkan struk bukti pembayaran. Di dalam struk itu tercantum kode pemesanan dan pembayaran. Dengan struk tersebut, calon penumpang dapat mencetak tiket di mesin cetak. Namanya cetak tiket mandiri (CTM). Ah saya terlupa. Bagaimana kalau kita membayar dan butuh uang kembalian? Ini ternyata juga ada di Indonesia. Begini treatment-nya.
Calon penumpang yang terdaftar secara otomatis akan memiliki akun di www.delimapoint.com, salah satu layanan one stop payment online milik PT Finnet Indonesia, perusahaan yang menjadi mitra PT Kereta Api Indonesia (KAI) dalam mengembangkan sistem pembelian tiket melalui vending machine. Kita dapat mengaksesnya dengan memasukan nomor telepon sebagai username.Dana tersebut bisa kita transfer ke rekening bank atau digunakan untuk membayar tagihan listrik dan telepon, membayar biaya langganan TV kabel, membeli pulsa ponsel atau memesan tiket kereta melalui situs www.delimapoint.com.
Baiklah saya tak mau berpanjang- panjang membahas soal itu karena jangan-jangan Anda juga pelanggan commuter line di Jabodetabek yang sudah sangat tahu tentang hal ini. Intinya saya ingin menyampaikan bahwa membeli tiket kereta sekarang ini semudah kita membeli barang di minimarket. Ini bukan sekadar ilustrasi, tetapi benar-benar terjadi. Kita bisa membeli tiket kereta di geraigerai minimarket. Inovasi seperti inilah yang membuat saya merasa KAI di bawah Direktur Utama Edi Sukmoro mampu melakukan lompatan lebih tinggi ketimbang moda angkutan publik lainnya.
Bahkan meninggalkan sistem pembelian tiket pesawat, apalagi angkutan laut dan angkutan darat lainnya. Lalu inovasi tersebut juga membuat pembelian tiket kereta menjadi lebih manusiawi. Anda ingat bukan pengalaman beberapa tahun silam. Menjelang mudik, banyak calon penumpang yang bahkan mesti menginap di stasiun kereta agar esoknya bisa dapat antrean paling depan. Mereka ini bahkan banyak yang menjadi korban calo tiket.
Inovasi Lainnya
Saya masih punya sederet inovasi dan langkah-langkah strategis lainnya yang dilakukan oleh KAI. Misalnya penggantian 882 unit kereta yang usianya sudah di atas 30 tahun, peremajaan kereta eksekutif dan ekonomi, pengembangan kereta dengan rangkaian yang lebih panjang agar mampu mengangkut lebih banyak penumpang, dan pengembangan kereta untuk melayani angkutan barang dari dan ke pelabuhan.
Ada lagi rail clinic yang berperan memberikan layanan kesehatan bagi warga di sepanjang jalur kereta. Lalu yang sangat mendasar adalah perbaikan toilet di stasiun-stasiun kereta. Kalau Anda sempat mampir ke stasiun kereta, tengoklah toiletnya. Jauh lebih bersih. Beda benar dengan masa lalu yang bukan hanya kotor, tetapi juga bau. Inovasi-inovasi semacam itu, saya yakin, tentu punya kontribusi yang signifikan terhadap kinerja bisnis KAI.
Kita bisa menilainya dari berbagai sisi. Salah satunya adalah dari pertumbuhan jumlah penumpang maupun barang. Saya kebetulan ada angkanya. Misalnya, selama tahun 2014 jumlah penumpang KAI mencapai 280 juta atau tumbuh 21% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Untuk tahun 2015, jumlah penumpang KAI diperkirakan tumbuh lebih dari 10%. Angkutan barang juga begitu. Selama tahun 2014, volume barang yang diangkut KAI mencapai 32 juta ton atau tumbuh 24% bila dibandingkan dengan tahun 2013. Lalu, untuk tahun 2015, volume angkutan barang malah tumbuh lebih besar. Naik 35%.
Tua, tapi Tetap Remaja
Ini yang saya pikir tak mudah. Harusnya tua ya tua saja: sakit-sakitan, lusuh, dan tak terurus. Tapi ini kan perusahaan, bisa diurus kaum muda yang fresh. Beberapa hari lalu KAI merayakan ulang tahunnya. Dari sini Anda bisa lihat, dari sisi usia, KAI bukan remaja lagi. Ia lahir pada 28 September 1945. Kurang dari sebulan setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Jadi, KAI baru saja merayakan hari ke-71 tahun.
Untuk ukuran manusia, usia segitu sudah bisa dibilang jompo–meski beberapa orang mencoba mempertahankannya dengan berbagai macam terapi. Hanya untuk ukuran perusahaan bisa lain. Banyak perusahaan yang usianya sudah menembus lebih dari 100 tahun, tetapi masih mampu bergerak lincah bak anak remaja. Tapi banyak juga perusahaan yang usianya belum lagi 50 tahun, perjalanan bisnisnya sudah tertatih-tatih. Pelan, persis orang jompo atau yang pernah terkena serangan stroke.
Perusahaan-perusahaan seperti itubiasanya bisnisnya tidak berkembang lagi. Omzet tidak bertambah, bahkan berkurang. Pendapatan perusahaan terus menyusut. Alhasil, rapat-rapat rutin perusahaan kebanyakan membahas peningkatan efisiensi, penghematan dan bahkan pemangkasan anggaran. Bukan membahas rencana-rencana ekspansi, perluasan pasar atau pengembangan produk baru.
Hal semacam itu tidak terjadi di KAI. Bahkan dalam beberapa waktu ke depan, KAI bakal mengoperasikan jalur-jalur baru. Di antaranya, light rail transit (LRT) Jabodetabek dan LRT Palembang. Lalu KAI juga bakal mengoperasikan kereta api khusus bandara, yakni KA Bandara Internasional Minangkabau di Sumatera Barat dan KA Bandara Kulonprogo di Yogyakarta. Selain itu masih ada lagi, yakni KAI bakal mengoperasikan KA Trans-Sulawesi dan KA Trans-Sumatera.
Bagaimana KAI, yang meski usianya sudah terbilang lanjut, mampu tetap tampil bak anak remaja? Saya kira faktor kuncinya ada dua. Pertama,soal kepemimpinan. Edi Sukmoro, sepengetahuan saya, adalah tipe pemimpin yang bukan one man show. Ia team player.Edi juga bukan tipe pemimpin yang banyak bicara. Ia lebih banyak mengatur strategi dan memilih untuk sibuk bekerja. Kedua, iklim perusahaan yang sehat sehingga membuat inovasi tumbuh subur.
Bagi saya, inovasi adalah kunci untuk membuat perusahaan yang tua tetap menjadi muda dan terlebih lagi selalu relevan dengan perkembangan lingkungan bisnis dan peradaban. Dan KAI adalah satu dari sedikit perusahaan yang mampu melakukannya. Bravo!
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan