Nyaris tanpa kehebohan yang berarti, pekan lalu di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) berlangsung event berskala dunia, Global Innovation Forum (GIF).
Karena berlangsung di Tangsel, acara ini kemudian disingkat menjadi TGIF. Jangan salah, bukan Thanks God It’s Friday, melainkan Tangsel Global Innovation Forum. Acara ini dibuka oleh tuan rumah Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany bersama Menristek dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
GIF digagas World Economic Forum (WEF) yang cemas dengan melebarnya kesenjangan inovasi antara negara- negara maju dengan negara-negara sedang berkembang. Lalu bagaimana mengatasinya? Harus ada transfer teknologi, pertukaran informasi, dan peningkatan kapasitas inovasi. Ada beberapa catatan yang terkait dengan inovasi ini.
Pertama, inovasi mesti memberikan nilai tambah terhadap potensi sumber daya yang ada di suatu negara dan diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup, pemenuhan kebutuhan pangan, energi, dan kesehatan.
Kedua, inovasi juga perlu diarahkan untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan sumber daya dan mengurangi dampak negatif dari pembangunan.
Ketiga, inovasi harus berbasis budaya dan kebijakan lokal (local wisdom). Gagasan inilah yang kemudian melahirkan event global GIF dan disponsori UNESCO dan dilaksanakan World Technopolis Association (WTA).
Untuk event di TGIF, misalnya, UNESCO memberikan sponsor hingga USD30.000. Saya bangga Pemkot Tangsel menaruh perhatian pada inovasi. Bukankah Tangsel sudah punya modal awal yang bagus. Selain Puspitek, Tangsel adalah rumah bagi banyak perguruan tinggi dan pemukim elite baru.
Diselenggarakan selama tiga hari (21-23 September 2016), event ini melibatkan lebih dari 500 peserta dari 90 negara asing. Melihat banyaknya peserta asing dan eksposurnya yang sampai tataran internasional, buat kota seukuran Tangsel, event ini tentu sangat penting.
Pengalaman China
Bicara event berskala internasional, China sangat ahli dalam memanfaatkan momentum ini. Anda masih ingat bukan dengan Olimpiade Beijing Tahun 2008. China betul-betul memanfaatkan momentum itu untuk membenahi banyak sektor di negaranya. Malu bukan kalau kita menjadi tuan rumah event berskala internasional, tetapi banyak fasilitas di negara kita yang amburadul.
Jalan-jalan berlubang, listrik byar pet, jembatan banyak yang rusak, polusi menggila, wajah kota tampak kumuh, sarana transportasi terbatas, dan sebagainya. Beijing terpilih menjadi tuan rumah Olimpiade pada 2001. Segera setelah itu mereka berpacu.
Gilanya, Beijing bahkan mencanangkan Olimpiade di kota itu sebagai Olimpiade Hijau. Padahal, Anda tahu, Beijing termasuk salah satu kota dengan tingkat polusi tertinggi di dunia. Baiklah, kita lihat apa yang dilakukan Beijing. Venue-venue dibenahi.
Ada 12 stadion baru di Beijing yang dibangun khusus untuk Olimpiade. Lalu enam stadion baru dibangun di luar Beijing. Asal Anda tahu, biaya untuk membangun enam stadion baru tadi menghabiskan dana hingga Rp19 triliun. Jadi Beijing betul-betul tidak mau bekerja tanggungtanggung. Selain venue, Beijing juga membenahi infrastrukturnya.
Mereka membangun jalur baru untuk kereta bawah tanah (subway) sebagai sarana transportasi massal. Jalur sepanjang 27,6 km ini dibangun dengan biaya hingga Rp14,5 triliun. Bukan hanya itu. Beijing juga membangun tiga jalur baru kereta lainnya, termasuk jalur ke bandara dan jalur khusus melewati Taman Olimpiade.
Pembangunan subway ini sekaligus untuk mengurangi kemacetan di jalan-jalan raya di Beijing. Kemacetan di Beijing memang tak kalah dengan Jakarta. Apalagi pada jam-jam sibuk. Banyaknya kendaraan di jalanjalan raya menyebabkan polusi udara meningkat. Sore hari awan kelabu yang berasal dari knalpot kendaraan bermotor kerap menutup langit kota itu.
Beijing memang dikenal sebagai kota dengan tingkat polusi yang tinggi. Seiring dengan selesainya pembangunan subway, otoritas pengatur lalu lintas Beijing pun melakukan pembatasan kendaraan bermotor dengan menerapkan sistem ganjil genap. Saya lihat, ini betul-betul fair. Fasilitas transportasi publiknya dulu dibangun, baru larangannya diterapkan.
Jadi, masyarakat punya pilihan. Bukan asal main larang. Dengan berkurangnya jumlah kendaraan di jalan raya, udara di Beijing menjadi lebih bersih. Inilah bukti dari janji Olimpiade Hijau. Sebagai pemerhati perubahan, satu hal yang betul-betul membuat saya terpukau adalah Beijing juga memanfaatkan ajang Olimpiade untuk melakukan perubahan sosial di masyarakatnya. Bagaimana caranya? Rupanya tidak rumitrumit amat.
Pemerintah Kota Beijing mencetak dan mendistribusikan 4,3 juta buku ke masyarakat. Isinya panduan tentang hal-hal yang tidak boleh dilakukan warga selama Olimpiade berlangsung. Apa saja? Misalnya tidak boleh menanyakan ke orang asing tentang usia, status, agama, dan keyakinan politik.
Lalu ada panduan etiket yang menyarankan warga agar tidak masuk lift sebelum yang ada di dalam keluar terlebih dahulu. Ada juga sanksi denda bagi mereka yang meludah sembarangan. Luar biasa, bukan?
Knowledge Based Society
Sekarang kita kembali ke Tangsel. Di sana ada ajang TGIF. Saya tahu, menjelang perhelatan itu pihak Pemkot Tangsel sudah berbenah. Banyak apresiasi diberikan para ilmuwan dan inovator nasional kepada wali kota yang begitu gigih melibatkan warganya berinovasi. Banyak hal yang mereka lakukan untuk membuat ajang TGIF ”berbuah”.
Di antaranya adalah pembinaan kaum muda untuk berinovasi dan berwirausaha. Wali Kota Airin juga tengah membangun sejumlah co–working space agar anak-anak muda Tangsel kelak menjadi wirausaha tangguh berbasiskan teknologi. Apa buahnya? Technopolis. Maksudnya, Tangsel perlu berancang- ancang untuk menjadi kota yang berbasis teknologi.
Jadi, istilah saya, teknologi harus menjadi regional competitiveness dari Tangsel. Dan, saya lihat, Tangsel memiliki modal untuk itu. Misalnya di sana ada Puspitek (Pusat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) Serpong. Lalu di Tangsel dan seputarnya juga banyak perguruan tinggi. Industri-industri skala besar juga ada di sana. Memang sebagian besar masih industri manufaktur.
Biar saja. Itu bisa menjadi lompatan untuk masuk ke industri yang berbasis teknologi tinggi. Untuk sampai ke sana, kuncinya adalah sumber daya manusia. Maka, menurut saya, penting bagi Tangsel— melalui strategi rekayasa sosial seperti yang dilakukan Beijing—untuk membangun knowledge based society.
Seperti apa sih knowledge based society? Simpelnya begini. Anda tahu compact disk (CD). Harga satu keping CD kosong mungkin hanya sekitar Rp2.500. Apa jadinya kalau CD tersebut berisi karya kreatif seperti software, game, lagu atau bahkan film. Harganya berlipat kali. Sekeping CD berisi game, lagu atau film harganya bisa puluhan hingga ratusan ribu rupiah. Kalau isinya software bisa jutaan rupiah. CD adalah produk manufaktur.
Sementara CD berisi game, lagu, film atau software adalah produk dari knowledge based society atau masyarakat yang berbasis pengetahuan. Atau, kalau mau ekspor tenaga kerja, pasti yang diekspor bukan TKI, melainkan tenaga ahli atau konsultan. Mereka adalah knowledge worker, bukan PRT, sopir atau pekerja kasar lainnya. Itulah kalau masyarakat kita sudah menjadi knowledge based society.
Sekarang dengan semakin masifnya pemanfaatan information & communication technology (ICT), salah satunya internet, membangun knowledge based society menjadi lebih mudah. Saya kira di sini pihak Pemkot Tangsel bisa mengambil peran. Pada masyarakat yang berbasis pengetahuan, inovasi akan mengalir deras. Inilah buah yang saya maksud. Jelas tidak sekarang, tapi mungkin beberapa tahun ke depan. Untuk itu, saya kira, kita pantas bersabar menunggu.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan