Sambil makan malam, mata saya arahkan ke program talk show di sebuah stasiun TV swasta. Debat yang ditayangkan stasiun TV itu sedang seru-serunya.
Para pembicaranya saling sela dan memotong pembicaraan lawannya. Tiap pihak ngotot dengan argumentasinya untuk menunjukkan bahwa dialah yang paling benar. Menurut hemat saya dan berdasarkan obrolan dengan banyak penonton lainnya, kita yang berada di luar jauh lebih mudah memilah siapa yang pendapatnya berbobot dan mana pembicara yang ngaco, asbun alias asal bunyi.
Mereka yang ngaco biasanya asal bicara. Modalnya cuma suara yang lantang, ngomongnya panjang tanpa jeda, tetapi kalau disimak baik-baik, isinya semua tak keruan. Hanya menyalahkan sana-sini. Di matanya semua tak ada yang benar meski dia juga tidak menawarkan solusi apa-apa. Tak mengherankan kalau sekarang model bicara seperti itu mulai muncul di sekeliling kita. Rupanya belajarnya dari sana. Tahu sedikit saja sudah meledak.
Dasarnya hanya membaca judul atau petikan pesan dari media sosial, lalu bom! Meledaklah ketidaksenangan. Beberapa ilmuwan mulai biasa mudah tersulut, padahal di kelas ia melarang mahasiswanya menggunakan media sosial sebagai referensi. Menurut David Waitley, orang-orang semacam ini sedang bermain untuk menjadikan bangsanya kalah, menjadi the looser, pecundang. Alih-alih memberikan informasi yang benar, mereka justru sedang “bermain”.
Mereka tahu itu kurang pas, tapi kalau menyajikan yang benar, rasanya kok kurang elegan, kurang terlihat kritis, kurang berani. Padahal semua orang tahu, seorang pejuang itu adalah orang yang membela yang benar, bukan membela yang bayar, apalagi membela yang jelas-jelas salah. Kata teman saya, seorang ilmuwan terkemuka, sebagian dari mereka ini adalah orangorang yang ketika menduduki posisi yang terhormat ternyata tidak melakukan apa-apa kecuali membuat ribut dan ketika diturunkan dari jabatannya kemudian ngoceh ke sana-sini.
Menyalahkan semua pihak. Di layar TV lalu muncul pengamat lainnya yang mengatakan kalau mengambil langkah A salah, menjalankan B tidak boleh, kalau menempuh cara C pun melanggar hukum. Tetangga saya yang sedang bertamu dan mendengar dialog itu dari TV terlihat bingung. Padahal ia ketua RW yang suaranya didengar warga. Tapi nalar sehatnya masih ada. Dia masih bisa geleng-geleng kepala. “Mau dibawa ke mana bangsa ini oleh orang-orang itu,” ujarnya sambil terkekeh-kekeh.
Celakanya memang para looser ini suka sekali mencari panggung untuk menyuarakan pendapatnya. Meski ngaco, ada saja yang suka mendengarnya. Siapa pendengarnya? Orang-orang kalah juga. Dan kalau mereka ketemu media yang suka mencari sensasi, klop. Jadi ramai. Padahal substansinya tak ada atau sebutlah biasa-biasa saja.
Reaktif vs Proaktif
Baiklah kita ambil satu contoh, yakni debat soal tax amnesty. Anda tentu tahu siapa saja orang yang suaranya begitu lantang kalau sudah bicara soal ini. Mereka kesannya membela kalangan tertentu. Misalnya kelompok usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Materi yang mereka lontarkan kebanyakan begini. Banyak pengusaha kecil, kata mereka, yang bingung dengan taxamnesty.
Mereka tidak paham apa itu sesungguhnya tax amnesty. Dan itu diucapkan pula dalam talk show saat ia mulai paham. Tapi, ia katakan, sesungguhnya yang tidak paham itu rakyat. Sudah begitu sosialisasi dari pemerintah, menurut mereka, juga sangat kurang. Mereka juga mempersoalkan, mengapa pemerintah terus memburuburu pengusaha UMKM agar mau mengikuti tax amnesty. Ngaco bukan! Mereka sudah memelintir isu, kata Pak RW yang sedari awal merasa paham.
“Sebab kita semua tahu bahwa tax amnesty itu menyasar para pengusaha besar, terutama mereka yang masih menyimpan sebagian asetnya di luar negeri. Jadi bukan untuk pengusaha kelas UMKM. Bukan buat kita yang usaha warungan,” ujarnya. Hanya kalau ada pengusaha UMKM yang dulu belum membayar pajaknya, silakan manfaatkan momentum ini. Silakan isi form dan melunasi utang pajaknya. Pemerintah tak akan memeriksa,” tambahnya lagi.
Saya juga heran, pintar sekali ketua RW saya walaupun sekolahnya hanya sampai SMA, kalah dengan narasumber yang senang marah-marah di TV tadi. Akan tetapi bukan itu yang menjadi concern saya. Buat saya, ramai-ramai soal tax amnesty membuat kita bisa dengan mudah melihat gambaran dari kelompok yang perilakunya serbareaktif dengan mereka yang mempunyai perilaku proaktif. Apa maksudnya? Begini. Mengapa sih kita mesti menunggu sosialisasi dari pemerintah? Sebab kalau kita memang mau mencari tahu soal tax amnesty, caranya gampang sekali.
Kita bisa mencari informasinya di berbagai media cetak, media online atau media elektronik. Bahkan di YouTube. Tinggal tanya pada Google. Kita juga bisa mencari informasinya di website Ditjen Pajak. Kalau kurang, masih ada situs Kementerian Keuangan, website dari bank-bank yang bekerja sama dalam program tax amnesty , dan masih banyak lagi sumber lain. Di era sekarang ini, informasi begitu terbuka, melimpah, dan tersedia di mana-mana. Jadi, bagi saya, menunggu sosialisasi adalah perilaku yang reaktif, bukan proaktif.
Dan reaktif adalah perilaku para looser. Sementara perilaku para pemenang sebaliknya. Mereka justru bersikap proaktif. Mereka cari dan kalau tidak paham baru bertanya. Perilaku semacam inilah yang saya lihat berkembang di mana-mana. Di dunia kerja, juga di lingkungan pendidikan. Di lingkungan pendidikan, misalnya, sekarang bukan lagi eranya satu arah. Dosen mengajar, mahasiswa mendengarkan dan mencatat.
Setelah itu dosen menugasi mahasiswa untuk mengerjakan tugas-tugas dan dia tinggal menilai. Ini cara lama. Cara sekarang berbeda. Sekarang dosen menjelaskan topik yang akan dipelajari untuk esok hari. Para mahasiswa diminta untuk mempelajarinya terlebih dahulu. Sumbernya silakan cari dari mana saja. Buku-buku di perpustakaan atau googling di internet. Esok harinya dosen dan para mahasiswa akan membahas bersamasama topik tersebut.
Mahasiswa sekarang banyak yang menyadari cara baru itu. Kecuali dosennya mendiamkan. Sekarang semua tugas yang mesti dikerjakan di rumah juga sudah di-upload di website . Jadi mahasiswa mesti aktif mengecek website, mencari tahu apa saja tugas yang harus mereka kerjakan. Bukan lagi menunggu perintah dari dosen. Itu di lingkungan pendidikan. Di lingkungan perusahaan juga kurang lebih serupa. Karyawan-karyawan baru tak lagi dituntun.
Mereka hanya diberi gambaran besar tentang pekerjaannya, selebihnya cari sendiri. Mereka dituntut untuk proaktif. Silakan bertanya kirikanan. Kalau belum jelas, silakan bertanya ke atasan. Dengan cara seperti itu, perusahaan akan lebih mudah memilah mana karyawannya yang potensial dan mana yang tidak. Mana karyawan yang reaktif dan sukanya menunggu perintah serta mana yang proaktif.
Mengerjakan sesuatu tanpa menunggu di perintah. Kata Robin S Sharma, “A leadership culture is one where everyone thinks like an owner, a CEO or a managing director. Its one where everyone is entrepreneurial and proactive.” Anda tahu, Robin Sharma adalah penulis dan pembicara publik asal Kanada. Salah satu buku karyanya berjudul The Monk Who Sold His Ferrari. Jadi kalau Anda lebih suka memilih tipe karyawan yang mana?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Mantap !