Minggu (21/8) pekan lalu saya menjadi satu di antara puluhan ribu manusia yang memadati area seputar Danau Toba. Hari itu digelar acara Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba di Toba Samosir, Sopo surung, Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara.
Karnaval untuk merayakan HUT ke-71 kemerdekaan RI. Saya pernah berkunjung ke Danau Toba beberapa tahun lalu. Juga 25 tahun yang lalu dan 10 tahun lalu. Ketika itu saya menyaksikan hotel-hotel yang ada di sana masih sepi pengunjung. Saya juga menyeberang sampai ke Pulau Samosir. Juga sepi. Kebanyakan hanya pengunjung atau masyarakat lokal.
Di sana hanya ada beberapa penjaja kaos dan patung. Restorannya, maaf, agak kusam. Bahkan di sepanjang jalan dulu berserak kotoran hewan. Lalu beberapa tahun lalu sudah agak bersih, tapi restoran di tepi danau makin banyak, sedangkan danaunya dipenuhi keramba ikan mas.
Tentu ikannya enak luar biasa, fresh, apalagi dimasak dengan bumbu Batak oleh masyarakat yang pintar memasak, nikmat sekali. Cuma pemandangan danau sedikit terganggu. Maka hadirnya puluhan ribu orang diseputar Danau Toba pada Agustus lalu mungkin menjadi peristiwa yang langka. Bisa jadi baru sekali itu terjadi.
Itu sebabnya, menurut saya, karnaval itu bisa menjadi penanda bangkitnya industri pariwisata Danau Toba yang telah bertahun- tahun seakan-akan lesu darah. Karnaval Kemerdekaan adalah bagian dari upaya pemerintah menggeliatkan kembali potensi wisata Danau Toba.
Apalagi pemerintah sudah mencanangkan Danau Toba di Sumatra Utara untuk menjadi salah satu dari 10 destinasi utama wisata di Indonesia. Selain itu ada Bandung, Jakarta, Joglo Semar, Banyuwangi, Bali, Lombok, paket Bunaken- Wakatobi dan Raja Ampat serta Makassar.
Banyak Pekerjaan
Tapi sejatinya bukan hanya wisata seputar Danau Toba yang bangkit. Industri pariwisata Indonesia pun sebenarnya belakangan ini tengah ”panas-panasnya”. Makin menarik, apalagi berada di tangan orang-orang yang tepat. Ini datanya. Industri pariwisata kita sedang naik kelas.
Saat ini pariwisata sudah menjadi penyumbang devisa keempat terbesar setelah minyak dan gas bumi, batu bara, dan minyak kelapa sawit. Pada tahun lalu devisa yang kita peroleh dari industri pariwisata sudah mencapai USD12,6 miliar. Kalau bicara kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB), angkanya juga oke.
Selama tahun 2015, sumbangannya menjadi ketiga terbesar atau senilai USD80 miliar. Peringkat pertama dan kedua masih ditempati industri pertanian dan pertambangan. Lalu yang tak kalah mengesankan adalah ketika wisatawan membelanjakan uangnya, sebanyak 88% di antaranya dihabiskan di dalam negeri.
Jadi betul-betul kita nikmati. Kalau masih ada 12% yang ”bocor” ke luar, itu pun karena ada beberapa barang dan jasa di industri ini yang masih harus diimpor. Bandingkan dengan industri automotif, misalnya, yang impornya masih mencapai 37% dari total penjualan. Selain itu industri pariwisata kita juga menciptakan 9,8 juta lapangan kerja atau 8,4% dari total lapangan kerja secara nasional.
Itu data tahun 2014. Kini tentu angkanya sudah meningkat. Satu hal yang saya kira perlu menjadi catatan, industri pariwisata kita ternyata menjadi pencipta lapangan kerja termurah bila dibandingkan dengan industri-industri lain. Biayanya USD5.000 per pekerjaan, sementara untuk industri lainnya mencapai USD100.000 per pekerjaan.
Saya punya sejumlah data lain yang menggambarkan betapa kinerja industri pariwisata kita sedang ngetop. Meski begitu, menurut saya, itu masih jauh dari pencapaian terbaiknya. Mengapa? Sederhana saja. Misalnya, dari sisi jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman), angka kita masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Thailand, Malaysia dan Singapura. Berikut ini datanya.
Selama 2015, jumlah wisman ke Thailand mencapai 29,9 juta, Malaysia 25,7 juta, dan Singapura 15,2 juta. Sementara wisman yang ke Indonesia baru 10,4 juta. Artinya ruang kita untuk tumbuh masih besar. Padahal, wilayah kita jauh lebih luas ketimbang tiga negara tersebut.
Objek wisata kita juga jauh lebih berlimpah. Masak kita sampai kalah dengan tiga negara tersebut! Peluang inilah yang harus kita rebut. Untuk itu banyak urusan yang mesti kita bereskan. Misalnya atraksi-atraksi wisata. Sampai hari ini baru satu dua wilayah yang punya atraksi yang sudah terkemas dengan baik.
Selebihnya masih harus diciptakan lagi, dikemas dan dipoles. Kita juga masih harus membenahi berbagai fasilitas seputar daerah kunjungan wisata. Salah satu yang selalu saya perhatikan adalah toilet. Saya pernah berkunjung ke sejumlah lokasi wisata di Vietnam. Di sana harus saya akui toiletnya lebih bersih dan terawat.
Kalau toilet di negara ini, kadang saya masih harus mengelus dada. Anda tahulah. Itu baru dari sisi infrastruktur fisik. Masih ada lagi urusan infrastruktur nonfisik, yakni menyangkut manusianya. Ini jauh lebih sulit. Contohnya soal Karnaval Danau Toba tadi. Saya tahu, di masyarakat Batak ada ungkapan ”tikar selalu terbuka”.
Artinya mereka selalu siap menyambut tamu. Tapi apakah mereka siap dengan mentalitas melayani? Membangun budaya mau melayani itu tidak mudah. Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah bercerita. Untuk membangun kultur melayani dari para pegawai hotel yang ada di Makassar, ia mengundang orang Bali. Di hotel-hotel di sana, para pegawai bisa saja menerima tamu, tapi semuanya tanpa senyum. Maka ia pun mengundang orang Bali untuk mengajari para pegawai hotel di Makassar agar mau tersenyum ketika menerima tamu.
Lokomotif
Masih banyak lagi deretan pekerjaan yang mesti dibenahi untuk membuat industri pariwisata kita bisa menjadi lokomotif perekonomian nasional. Saya sebut lokomotif, sebab kalau industri pariwisata kita terus tumbuh, ia akan menarik gerbong-gerbong lainnya.
Misalnya industri kuliner, hiburan, properti, bahan-bahan bangunan (kalau hotel terus dibangun pasti permintaan semen meningkat), tenaga listrik (setiap hotel butuh listrik), elektronika (AC, kulkas, lampulampu dan sebagainya), bisnis-bisnis skala UMKM dan masih banyak lagi. Dalam dunia bisnis ada ungkapan, ”Jangan bunuh angsa yang bertelur emas.”
Siapa pun yang pernah belajar ilmu ekonomi dan bisnis tentu mengenal betul ungkapan tersebut. Kisah angsa bertelur emas ini sebetulnya cerita tentang keserakahan. Cerita tentang seorang petani tamak yang tak sabar menunggu angsanya bertelur emas setiap hari. Maka ia memotong sang angsa agar bisa mendapatkan seluruh telurnya sekaligus.
Malangnya setelah angsa dipotong dan dibelah isi perutnya, di dalamnya tak ada sebutir telur pun. Ia pun menyesal setengah mati. Tapi apa gunanya? Sang angsa toh tak bisa hidup kembali. Saya anggap industri pariwisata kita bak angsa tadi. Kini, karena masalah fiskal, Menteri Keuangan sudah memerintahkan semua kementerian/lembaga untuk memotong anggaran belanjanya.
Nilai pemotongannya mencapai Rp65 triliun. Lalu anggaran lain yang dipotong adalah dana transfer ke daerah sebesar Rp68,8 triliun. Jadi total anggaran yang dipotong Rp133,8 triliun. Itu angka sementara. Kalau target perolehan dana dari tax amnesty tak mencapai target, besaran anggaran bakal dipotong lagi.
Betul, saya setuju. Kita tak selayaknya hidup dengan kondisi lebih besar pasak daripada tiang. Hanya tentu kurang bijak kalau semuanya main pukul rata. Jadi, perlu dipilah. Dilihat lagi paretonya. Menurut saya, pariwisata adalah angsa petelur emas. Jangan sampai kita salah sembelih.
Kalau anggarannya bersifat konsumtif dan tidak memberikan imbal hasil, silakan dipotong. Sebaliknya kalau sifatnya investasi, yang kelak menghasilkan, ya jangan. Sayang bukan kalau kita tak bisa menikmati telur emasnya?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan