Ribut-ribut pencopotan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyentak perhatian publik.
Kita semua prihatin. Seandainya saja Arcandra sebelum dilantik menjadi menteri menyatakan secara terbuka kepada Presiden Jokowi mengenai kewarganegaraannya, mungkin persoalan menjadi lain. Dia bisa tidak terpilih, tapi bisa juga ditunda pengumumannya. Namun, nasi sudah jadi bubur. Dan Anda tahu, di negeri kita kasus semacam ini pasti membuat heboh. Komentarnya macam-macam. Di negara kita umumnya masyarakat terbelah dalam dua kelompok.
Pertama, mereka yang ”masih hidup di masa lalu” atau masih terperangkap pada mindset masa lalu. Maka, semua komentarnya beranjak pada hal-hal yang pernah terjadi di masa lalu. Misalnya, selalu terkait dengan masalah keamanan. Bagaimana regulasinya? Kalau salah, ya mesti dihukum. Bukan hanya itu, hukumannya pun diperluas. Ibarat manusia yang merasa, maaf, insecure, menjadi parno sendiri. Kata seorang teman, orang yang feel insecure tadi, ibarat orang yang selalu curiga pasangannya telah menjalin hubungan dengan orang lain.
Makanya di rumah si istri dilarang bergaul, pagarnya dipasang tinggi-tinggi, dan kalau ada orang yang mendekat dia segera menghardik dan mengancam. Lihatlah mereka bahkan membesar- besarkan masalah. Sebagai contoh, isunya kemudian digeser soal impeachment karena Presiden Jokowi dianggap melanggar undang-undang dan peraturan. Kelompok kedua, mereka yang sudah hidup di masa depan. Mereka menempatkan masalah ini dalam bingkai yang lebih besar.
Kelompok ini biasanya selalu berpikir untuk mencari solusi guna menyelamatkan kepentingan bangsa. Kepentingan yang lebih besar. Dan sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang feel secure, percaya pada niat baik orang lain.
Zero Sum Game
Bicara soal Arcandra, saya ingin mengajak Anda untuk melihat kasusnya dari perspektif yang lebih luas. Kita hidup di era persaingan global. Berbagai produk dari luar negeri lalu lalang di depan kita. Begitu bebas. Sebagian jadi pelengkap, tapi banyak juga yang ”membunuh” produk-produk kita. Apa saja? Banyak sekali. Ada tekstil dan batik dari China. Mobil dari India juga sudah masuk.
Gadget, semacam ponsel pintar, jangan tanya. Nyaris semuanya produk asing. Juga dari Korea Selatan yang kini mengisi khazanah budaya anak-anak muda kita dengan K-Pop, termasuk sinetronnya. Itu kalau bicara produk. Belum lagi yang berupa jasa. Dokter asing sudah masuk. Begitu pula dengan tenaga pendidik. Kalau ada proyek yang didanai lembaga keuangan China hampir pasti di sana ada tenaga kerja asal negara itu yang bekerja di proyek tersebut.
Anda mau menganggap ini masalah sepele? Saya jelas tidak. Saya tidak antiproduk asing atau jasa asing. Kalau produknya belum ada di negara kita, silakan saja masuk. Juga kalau keahlian dari tenaga asing tersebut belum kita miliki, saya setuju mereka hadir di sini. Selebihnya, kalau produknya sudah ada di sini, atau kita memiliki tenaga kerja dengan kualifikasi tersebut, jangan pakai tenaga kerja asing. Kita harus menghargai tenaga kerja sendiri.
Kalau tidak, mereka bakal lari keluar. Di dunia olahraga, itu sudah terjadi. Banyak pebulu tangkis andal kita yang direkrut untuk melatih di negeri orang. Di Eropa, Amerika Serikat, bahkan di Asia. Mereka bahkan diberi kewarganegaraan agar bisa menikmati hari tua yang sehat plus fasilitas publiknya. Saya ambil satu contoh. Kita punya Juara Dunia 2001, Hendrawan, yang kini melatih tim bulu tangkis Malaysia.
Kini, atlet-atlet bulu tangkis asal negeri jiran itu bukan hanya mampu menyulitkan atlet-atlet bulu tangkis kita, tetapi juga mengalahkannya. Itu dari bidang olahraga. Sekarang saya ajak Anda untuk melihatnya dari perspektif ekonomi dan bisnis. Saya akan mengutip survei yang dilakukan McKinsey & Co. Survei itu melibatkan 77 perusahaan dengan 6.000-an responden.
Kesimpulan survei, di era new economy, ajang kompetisi terjadi pada tingkat global. Ketika itu modal bukan lagi persoalan. Ide-ide bisnis berkembang dengan sangat cepat dan kian murah. Dalam kondisi seperti ini, hingga 20 tahun ke depan sumber daya perusahaan bukan lagi modal, bahan baku, dan bahkan teknologi, melainkan talent. Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang pintar, canggih dan melek teknologi, cerdik dan tangkas bekerja. Ini celakanya.
Menurut survei McKinsey & Co, meski permintaan akan talent di dunia bakal terus meningkat, pasokannya justru sebaliknya. Kian menurun. Alhasil, di dunia terjadilah peperangan dalam memperebutkan sekian talent tersebut. Anda merasakannya? Mungkin tidak, atau belum.
Tapi, cobalah bertanya pada korporasi papan atas kita, mereka pasti merasakannya. Pertarungan memperebutkan talent ibarat zero sum game. Kalau di luar sana perusahaan lain dapat satu, itu artinya ada satu juga talent kita yang hilang. Kalau di luar sana dapat 10, maka kita pun kehilangan 10.
Pemasok Talent
Sementara banyak negara berebut mencari talent-talent tersebut, kita secara tak sadar— atau malah disengaja— lewat berbagai cara, sudah menjadi pemasoknya. Saya tadi sudah memberi contoh dalam bidang olahraga. Dalam dunia teknologi dan bisnis, itu juga sudah terjadi. Saya bisa menyebut beberapa contoh. Beberapa nama mungkin sudah familier di telinga Anda.
Misalnya, Khoirul Anwar yang lahir di Kediri, Jawa Timur. Dia kini bekerja di Nara Institute of Science and Technology, Jepang. Dia ahli dalam bidang telekomunikasi dam pemilik paten dalam sistem telekomunikasi 4G yang berbasis Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM).
Ada Andrivo Rusydi, 33 tahun, dan Nelson Tansu. Keduanya adalah pakar teknologi nano. Saat ini Andrivo menjadi dosen di National University of Singapore, sementara Nelson Tansu menjadi pengajar di Universitas Lehigh, Amerika Serikat (AS). Ada nama lama, Sehat Sutardja, yang kini menjadi pendiri dan CEO Marvell Technology Group, AS.
Lalu, Johny Setiawan yang menjadi penemu planet pertama yang mengelilingi bintang baru TW Hydrae. Johny kini memimpin tim peneliti di Max Planc Institute for Astronomy, Heidelberg, Jerman. Saya masih punya banyak nama lainnya. Hanya, agak kelu untuk menyebutkannya. Betapa tidak. Sementara talent kita banyak dipakai di luar, membuat maju dan sejahtera negara-negara tersebut, kita malah mau menyingkirkan satu talent lagi. Pahit bukan?
Lalu, mengapa harus menjadi penonton kalau bangsabangsa lain justru mengundang talenta-talenta terbaik dari seluruh dunia, sementara kita malah hanya berkomentar sinis karena takut tak kebagian pekerjaan saat mereka pulang atau mereka bekerja buat kita?
Saya berharap akan ada banyak orang yang tak lagi picik sehingga tak lagi terkurung di masa lalu, apalagi menyandera ”anak-istrinya” dalam sangkar emas, karena feel insecure tadi.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Pak Rhenald, kaum muda kita juga banyak yg ikut berpikir dengan cara lama: sempit dan paranoid. Apakah dosen, gurubesar dan pembimbing spiritual mereka sudah banyak belajar berpikir secara luas? Selama gaya berpikir dogmatik masih diutamakan (dengan rujukan tunggal “apa kata guru”, “apa kata pemimpin agama”), maka cara berpikir luas itu akan sulit dicapai. Selama belajar filsafat seolah dinajiskan oleh berbagai kelompok masyarakat, cara berpikir luas itu masih jauh dari kenyataan. Salam Perubahan.