Pokemon Go adalah potret lain dari fenomena digital divide yang terjadi di negara kita, dan mungkin di banyak negara lainnya.
Anda tahu, Pokemon Go adalah game augmented reality—game yang mengombinasikan dunia digital dengan dunia nyata. Game ini dikembangkan oleh Pokemon Company, bekerja sama dengan Nintendo dan Niantic. Di negara kita mewabahnya Pokemon Go membuat orangorang tua cemas dan curiga.
Lalu, menyebarluaskan informasi tentang dampak negatifnya yang memang juga riil. Misalnya ada pemburu Pokemon yang jatuh dari tebing atau mengalami kecelakaan karena tak memperhatikan kondisi sekitar. Padahal sudah ratusan orang yang juga mati karena dampak negatif ponsel. Mulai jatuh masuk dalam kawah karena ingin selfie, sampai kecelakaan lalu lintas. Toh, ponsel tak pernah dimusuhi seperti Pokemon.
Lalu, yang lain menyinggung soal ancaman kecanduan. Memainkan Pokemon Go bisa lupa waktu dan tempat. Bahkan, waktu bekerja pun bisa dipakai untuk main Pokemon Go. Ada juga yang menyinggung soal isu keamanan.
Yang dicemaskan, Pokemon bisa dijadikan alat untuk memetakan kondisi Indonesia—juga negara-negara lainnya. Walaupun tanpa Pokemon, pakai drone pun itu bisa dilakukan. Jadi, katanya, ibarat mata-mata yang akan mengirim data peta lokasi digital ke server Pokemon Go. Alhasil setiap titik yang ada di negara kita bakal diketahui pihak asing.
Kalau saya bicara orangorang tua, ini sama sekali tidak merujuk kepada kelompok usia tertentu, terlebih mereka yang berusia lanjut. Ini lebih kepada sekelompok masyarakat yang biasanya gaptek dan kesulitan memahami fenomena Pokemon Go. Maka, mereka pun akan menatapnya dengan penuh rasa curiga.
Orang-orang muda lain lagi. Mereka tak hanya memandang Pokemon Go sebagai permainan, tetapi juga melihatnya sebagai peluang bisnis. Di kawasan Gelora Bung Karno, misalnya, kita bisa melihat anak-anak muda yang memanfaatkan opportunity ini, menjual merchandise Pokemon. Tapi, menurut saya, ini bisnis yang skalanya masih kecil-kecilan. Padahal, ada peluang bisnis yang jauh lebih besar.
Digital Divide
Sebelum membahas soal itu, baiklah saya akan mengajak Anda untuk melihat fenomena digital divide terlebih dahulu. Hadirnya teknologi, terutama information & communication technology (ICT), membuat masyarakat kita dan berbagai negara lainnya, terbelah.
Istilah digital divide mencuat pertama kali dalam laporan The National Telecommunication and Information Administration (NTIA). Ini badan di Amerika Serikat (AS) yang mengurusi bidang telekomunikasi dan informasi.
Mirip dengan FDA yang mengurusi masalah pangan dan obat-obatan, atau DEA yang secara khusus menangani masalah narkotika. Berdasarkan kemampuan dalam mengakses ICT, laporan tersebut memuat konsep ”the haves” dan ”the have-nots”. Kalangan the haves adalah mereka yang bisa dengan mudah mengakses ICT, biasanya adalah kaum muda dan kelas menengah. Sementara the haves-nots sebaliknya, dan umumnya generasi tua tadi.
Ibaratnya guru dengan murid, sudah amat jelas terbagi dua. Potret itu jelas menggambarkan tidak merata akses ICT—atau kita bisa menyebutnya dengan akses internet dan telekomunikasi. Pentingkah akses ini? Sangat! Sebab kesenjangan teknologi tadi bisa berimbas ke mana-mana. Ia bisa menciptakan dan memperlebar kesenjangan sosial, kesenjangan ekonomi, politik, budaya, dan seterusnya.
Kesenjangan digital ini dipicu oleh tiga hal. Pertama, keterbatasan infrastruktur ICT. Kedua, kemampuan dan pengetahuan masyarakat dalam menggunakan perangkat ICT. Ketiga, kemampuan dalam menciptakan konten-konten yang berbasis ICT. Itulah tiga hal memicu terjadinya kesenjangan digital, baik di luar sana maupun di negara kita.
Potensi Bisnis
Kesenjangan itulah yang membuat kita selalu melihat perkembangan teknologi dengan tatapan penuh curiga, apalagi kalau teknologi tersebut sampai menghancurkan (disruption) bisnis-bisnis yang mapan dan menggantinya dengan yang baru. Kondisi semacam inilah yang membuat kita sulit memaksimalkan potensi Pokemon Go untuk mengembangkan bisnis.
Maka jangan kaget kalau mereka yang mendulang rezeki. Kita ya, baru sebatas curiga, takut atau baru mampu menjadi komentator saja. Padahal, di banyak negara sudah terjadi. Saya punya beberapa contoh. L’inizio Pizza Bar di Long Island, New York, AS. Resto ini membelanjakan USD10 untuk membeli Lure, modul dalam Pokemon Go yang biasa digunakan memanggil Pokemon.
Lure itu kemudian ia tebar di gerainya, yang kini menjadi Pokestop. Satu modul senilai 100 koin Poke (Pokecoin). Harganya USD0,99 atau sebutlah USD1. Jadi dengan USD10, L’inizio Pizza Bar bisa mendapatkan lebih dari 1.000 Pokecoin yang kemudian ia tebar sebagai Lure. Lalu, Pokemon-Pokemon pun akan berdatangan ke gerai tersebut.
Smartphone kita, yang sedang memainkan Pokemon Go, bakal mendeteksi adanya Pokemon di L’inizio Pizza Bar. Kita pun akan berhenti untuk memburu Pokemon-Pokemon yang ada di sana. Maka, tamu-tamu pun berdatangan. Kalau ditebar pada jam yang tepat, misalnya jam makan siang, tamu-tamu yang lapar terbukti banyak yang mulai memesan piza di sana.
Berkat menebar Lure, menurut laporan Bloomberg, pada akhir pekan penjualan piza di L’inizio meningkat hingga 30%. Peningkatan penjualan juga dialami gerai-gerai lainnya. Misalnya, Flying Saucer Pizza di Massachusetts dan Huge Café di Atlanta. Di California, Rosine’s Restaurant memakai Pikachu—salah satu Pokemon dalam Pokemon Go—untuk mempromosikan produk pastry-nya.
The Grind Coffee House menebar satu modul Lure setiap kali terjadi 15 transaksi di gerainya. Bukan hanya restoran yang menggunakan Pokemon Go untuk memikat pengunjung. Di The ShowDown, ajang bermain game di San Francisco, menggelar pesta Pokemon Go dan tiada henti menebar Lure sambil musik yang terus berdentam.
Kebun binatang Palm Beach dan Morikami Museum, keduanya di Florida, mem-posting berbagai tipe Pokemon yang berhasil ditangkap di sana. La France, sebuah toko vintage fashion di Tampa Bay, Florida, menjadikan gerainya sebagai Pokestop. Semua mengalami peningkatan penjualan. Di Melbourne, Australia, sebuah kafe memberi diskon khusus bagi para pengunjung yang mampu menunjukkan Pokemon yang berhasil mereka tangkap.
Di negara kita, belum banyak gerai yang menggunakan Pokemon Go untuk mendatangkan pengunjung. Itu semua gerai yang dijadikan sebagai Pokestop. Selain itu, gerai-gerai juga bisa dijadikan Pokegym. Ini ajang untuk tempat menempa dan ajang tanding antar-Pokemon.
Dengan menjadi Pokestop atau Pokegym, bisnis-bisnis skala kecil dan menengah, yang dulunya sama sekali tidak kelihatan, bakal bermunculan dan mulai dilirik pengunjung. Dikombinasikan dengan media sosial, Pokemon Go bakal menjadi ajang promosi yang luar biasa. Strategi promosi semacam ini jelas berpotensi men-disrupts cara-cara lama.
Kita mungkin tak perlu beriklan— termasuk iklan luar ruang berukuran besar dan mahal. Kita tak perlu merekrut salesman atau salesgirl untuk mendatangkan pengunjung. Kita juga tak perlu mendatangkan penyanyi atau band ternama untuk membuat mal menjadi ramai. Cukup dengan menebar Lure, Pokemon akan muncul dan pengunjung berdatangan.
Siapa butuh promosi! Saya lihat fenomena semacam itu bisa berkembang secara masif. Aplikasi yang terkait dengan Pokemon Go pun bisa kian beragam. Fenomena semacam inilah yang belakangan disebut sebagai Pokeconomy. Seberapa besar potensinya di negara kita? Anda tahu berapa banyak orang yang sudah menginstal Pokemon Go di smartphone-nya? Selama enam hari sejak diluncurkan, game ini sudah di-download pada 15 juta smartphone.
Itu yang resmi. Saya menduga yang tidak resmi jumlahnya bisa berlipat kali. Di Indonesia, secara resmi Pokemon Go belum lagi dirilis. Anda tahu berapa banyak yang sudah memainkannya? Kalau mau memakai data, sampai pertengahan 2016 saja jumlah pemakai smartphone di negara kita sudah mencapai 55 juta. Kalau tidak pakai data, lihat saja di jalan-jalan. Lihat ke mereka yang sambil jalan terus menatap layar smartphone-nya. Itulah potensi ekonominya.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Yth, Bapak Rhenald Kasali dan Tim Rumah Perubahan
Perkenalkan, Saya Muhammad Iqbal Fasa
Saya Benar benar Terinspirasi Oleh Karya-karya Prof. Rhenald Kasali,
Dari Keseluruhan karya tersebut, muncul suatu Impian dalam benak saya untuk Menjadi pemuda perubahan Indonesia
Ada impian yang ingin saya sampaikan kepada Tim Rumah Perubahan,
Smga ini bisa dimulai dari Kita
Impian tsb upaya dalam mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan masyarakat
“Membuat Aplikasi Seperti Google Map”
namun, objek pencariannya adalah Masyarakat Menengah Kebawah,,
jadi, seluruh masyarakat Indonesia bisa mengetahui titik-titik dimana lokasi mereka yg membutuhkan
minimal, mereka mengetahui siapa tetangga mereka yg membutuhkan
Implementasi:
1. Pendataan Masyarakat Menengah Kebawah
a. Bisa bekerjasama dengan BPS (Sensus Ekonomi Kemrin)
b. Bekerjasama Dinas Sosial
2. Persiapan IT
a. Mempersiapkan program software dll
b. Pembuatan Aplikasi
3. Action
a. Menggerakkan dan mensosialisasikan secara massive
b. Memulai dari diri kita dan mengajak sesama
Semoga impian ini bisa terwujud, agar terciptanya kesejahteraan bersama