Entah mengapa, setiap kali pemerintah mendapatkan ekonom FEUI (kini FEBUI), ada kalangan tertentu yang selalu mengaitkan dengan kata Berkeley. Lebih spesifik lagi, ‘Mafia Berkeley’.
Istilah itu sendiri berawal dari berangkatnya ekonom-ekonom muda Indonesia pada 1960-an untuk mengejar ilmu ekonomi ke kampus-kampus papan atas di luar negeri atas bantuan Ford Foundation.
Harap maklum, ketika itu belum ada doktor ilmu ekonomi, selain Prof. Soemitro Djojohadikusumo. Kalau lima atau enam orang masuk ke Berkeley, tentu jumlah ini sudah cukup berarti. Apa lagi setelah itu pikiran-pikiran mereka di pakai Presiden Soeharto untuk menstabilkan dan merestorasi perekonomi an yang sedang dilanda krisis besar.
Harus diakui, mereka belajar di Amerika Serikat pada tahap awal berkembangnya ilmu ekonomi neoklasikal, dalam suasana pertempuran Marxism vs Capitalism. Keduanya sama-sama tumbuh menjadi ideologi dan model ekonomi sejumlah negara, dan saling meramalkan kehancuran bagi lainnya.
Dalam bingkai perang dingin, keduanya saling berhadapan sehingga wajar bila istilah ‘Mafia Berkeley’ di awal 1970-an dipopularkan kalangan kiri baru.
Saya tak bermaksud membahas lebih jauh apa kontribusi kelompok ekonom lulusan Berkeley yang sudah sering kita baca plus-minus-nya, melainkan memberi perspektif baru tentang tantangan kelompok ‘Go Illini’ yang mungkin baru bagi telinga Anda.
‘Go Illini’ ini mungkin lebih tepat untuk menyebut kelompok ekonom yang kini membantu kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla. Mereka lahir antara 1960-1970- an, dibesarkan dalam era demo-demo besar mahasiswa yang menuntut reformasi.
Rekan-rekan mereka dibesarkan dalam era liberalisasi perbankan dan pasar modal yang digelorakan para ekonom senior sejak awal 1980-an. Saat mereka berangkat ke AS di awal 1990- an, mereka tengah menyaksikan ujian berat yang dihadapi pemerintahan Soeharto dan perbedaan pendapat dengan para teknolog dan kelompok lainnya.
Di kampus-kampus besar Amerika Serikat saat itu, selain ekonom number cruncher muncul kelompok yang mendalami human capital economy. Banyak ekonom Indonesia yang studi di sana ketika itu mendalami teori ini, mungkin karena pemberantasan kemiskinan merupakan hot topic di tanah air.
Bila generasi sebelumnya sangat mendewa-dewakan ilmu klasik, mereka justru dihadapkan oleh tantangan baru dalam rangka mengisi ekonomi pasca berakhirnya perang dingin. Tantangan baru itu adalah persaingan ekonomi antarbangsa, keunggulan daya saing dalam globalisasi, ketimpangan sosial, dan kemiskinan.
Saya sendiri berangkat ke Illinois agak belakangan dan di Bandara Urbana-Champaign dijemput junior saya yang kelak masuk dalam Kabinet Jokowi-JK sebagai Menkeu, lalu menjadi kepala Bappenas, Bambang P.S. Brodjonegoro.
Setelah saya kembali, juga datang Prof. Suahasil Nazara, yang kini dipercaya Menkeu sebagai kepala BKF (Badan Kebijakan Fiskal) dan sebelum Bambang, lebih dulu belajar di sana, Sri Mulyani Indrawati (SMI).
Tentu saja generasi ini berbeda dengan generasi mendiang Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana, yang amat mereka hormati. Sebab tak semua ‘Go Illini’ dibesarkan dari kampus UI.
Sebut saja Prof Sri Adiningsih dari UGM yang kini menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.
Tentu saja ada cukup banyak doktor ilmu ekonomi lainnya yang kini menyebar di berbagai kementerian maupun di sejumlah kampus lain. Tapi Illini bukan cuma identik dengan ekonom, sebab banyak juga tokoh-tokoh nasional yang kita kenal di negeri ini dalam bidang computer science, teknik sipil, pertanian, dan biologi. Di Silicon Valley tidak terlalu sulit menemui PhD Go Illini.
Dan karena kehadirannya di sana tidak ada yang mengorganisir, sudah pasti pula sulit disebut sebagai mafia. Reformasi juga mengubah banyak hal. Posisi-posisi penting yang dulu hanya diisi oleh para ekonom, belakangan banyak diambil alih oleh para politisi.
Tapi lagu nyanyian mahasiswa FEUI masih tetap sama hingga hari ini ‘paling apes menjadi menteri’.
Di Barat sendiri, era central planning yang dulu begitu kuat dijalankan oleh Bappenas disini juga makin tak dikenal. Dalam kurun waktu 15 tahun belakangan ini, harus diakui Bappenas seperti kehilangan daya. Tentang hal ini biarlah para ekonom yang menjelaskannya.
Kini dunia menghadapi tantangan-tantangan baru yang berbeda dengan apa yang dulu bisa kita rencanakan. Ekonom Schumpeter menyebut kehancuran kapitalisme akan selalu ada pada setiap zaman yang datang bersama krisis ekonomi. Namun selalu ada peremajaan yang dibuat oleh entrepreneur. Hanya saja, kini masa penghancuran (baca: krisis ekonomi) datangnya semakin sering dan makin lama dampaknya.
Sementara perencanaan ekonomi berada di belakang panglima demokrasi, yaitu politik. Tanpa kewibawaan, kebijakan ekonomi sulit menemukan pintunya.
ERA DISRUPTION
Saling ejek antara penganut Kapitalisme dan Marxisme di awal abad ke-20 sangat kental. Wajar saja kalau kata neolib juga masih biasa dilontarkan hingga hari ini. Apalagi kemudian negara-negara penganut Kapitalisme mengalami depresi ekonomi yang kronis dan nyaris membuat bangkrut. Ini membuat kelompok kiri tersenyum.
Tetapi dengan berbagai upaya, para pemimpin negara industri berhasil memperbaiki keadaan justru dengan pendekatan dan disiplin ilmu ekonomi.
Pada tahun 1930-1940-an, ekonom Joseph Schumpeter menjelaskan ‘kehancuran kreatif’ akan menjadi gejala ekonomi masa depan, dan itu merupakan bentuk penghidupan kembali perekonomian (Kapitalisme).
‘The perennial gale of creative destruction’, istilah Schumpeter, diperankan oleh entrepreneur.Sejak itulah kita mengenal kata entreprener.
Gagasan itu pada 1997 dikumandangkan secara kebih jelas oleh Clayton Christensen dalam disruption theory, yang melahirkan start-up di bidang sharing economy berbasiskan teknologi aplikasi.
Sejak saat itu dunia pun memasuki tantangan disruptive. Bila antara 1950-1970 hanya ada 20-an perusahaan Fortune 500 yang ‘keluar’ (mati) setiap tahunnya, kini jumlahnya telah mencapai sekitar 50-an setiap tahunnya.
Dunia menyaksikan pergeseran ekonomi besar-besaran dan pertarungan antara pioneer globalisme vs Nasionalisme. Perdagangan internasional dan sistem keuangan baru mengalami banyak ujian.
Apalagi generasi millenials sudah mulai memegang kendali dalam dunia ekonomi. Uangnya pun berbentuk digital yang tak diterbitkan oleh bank-bank sentral.
Itulah tantangan yang dihadapi ekonom-ekonom muda yang kini menempati posisi strategis. Kata Peter Drucker, mereka hampir pasti akan berhadapan dengan gejolak turbulensi, karena telah muncul teknologi baru yang ditafsirkan para elit melalui kacamata kemarin (old mindset in new technology).
Kita juga berhadapan dengan era finance yang menghadirkan teknik-teknik permodalan dan pemerkayaan aset yang canggih yang menuntut kewaspadaan baru sekaligus kecepatan tindak.
Dunia usaha juga tengah berselancar dalam teknik-teknik financial leverage yang kompleks yang hidup dalam cara berpikir yang berbeda dengan yang dialami generasi-generasi sebelumnya. Yang satu mengatakan potensi value creation dibiarkan hilang begitu saja, sementara yang lain mengecam atas dasar pandangan-pandangan sempit.
Ekonom-ekonom terkini baru mengatasi separuh dari seluruh peta besar ekonomi dunia yang penuh tipu muslihat perebutan kekayaan itu. Kita mendengar ucapan Sri Mulyani di Fakultas Hukum UI belum lama ini: Potensi ekonomi Indonesia luar biasa, tetapi terlalu banyak hambatan yang membuatnya sulit bergerak.
Sebagian orang menafsirkan, dia pasti akan mengambil langkah-langkah deregulasi yang agresif, untuk membuang belenggu-belenggu yang menghadapi kelincahan gerak ekonomi negeri ini.
Bagi kita, rakyat, ini tentu kabar gembira. Sebab belenggu-belenggu itu memang harus dibongkar. Belenggu-belenggu itu adalah kesepakatan jahat antara berbagai kepentingan.
Tetapi jangan lupa, setiap kemajuan pasti menimbulkan reaksi geopolitik yang tak ringan. Maka, cara pandang mereka, menurut hemat saya, akan jauh berbeda dari pandangan para ekonom pendahulunya.
Lagi pula Illini bukan cuma SMI. Semua amat tergantung pada orkestrator yang memimpinnya yang menghendaki ketangkasan (agility). Mereka pasti menghadapi dilema-dilema yang tak ringan, antara nasionalisme dan daya saing global yang mensyaratkan pentingnya agility itu.
Entahlah kalau masih ada yang ingin menyebut mereka ‘mafia’.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan