Mungkin karena “berada di dalam”, kita kerap tak sadar bahwa perubahan terjadi di mana-mana. Meluas dan dalam skala yang masif. Ada perubahan yang dipicu teknologi, tapi ada juga perubahan yang disebabkan kondisi sosial kemasyarakatan.
Saya bersyukur sebab dalam beberapa kasus perubahan itu menawarkan nilai-nilai yang positif. Contohnya berikut ini. Setiap kali bicara tentang polisi jujur dan pemberani, ingatan kita langsung mengarah kepada sosok Hoegeng, Kapolri 1968-1971. Padahal, Hoegeng—nama lengkapnya Hoegeng Imam Santoso— sudah meninggalkan kita sejak 14 Juli 2004.
Tapi, presiden kita yang jenaka, Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, menambahkan dua lagi. Keduanya adalah polisi tidur dan patung polisi. Sayangnya, Gus Dur juga sudah meninggalkan kita pada 30 Desember 2009. Kalau tidak, ia pasti akan punya tambahan daftar polisi jujur lainnya.
Siapa saja mereka? Namanya Seladi. Ia anggota Satlantas Polres Kota Malang, Jawa Timur, dengan pangkat brigadir polisi kepala (bripka). Jangan lihat kata “kepala”-nya. Meski sudah 39 tahun menjadi polisi, ia sama sekali bukan atasan di sana. Sehari-hari Bripka Seladi bekerja di bagian pengujian SIM A. Gajinya Rp5,7 juta per bulan. Hidup dengan tiga anak, gaji sebesar itu jelas tak cukup.
Apalagi ia punya banyak cicilan utang yang harus dibayar—di antaranya karena bisnis sebelumnya bangkrut. Maka Seladi menutupi kekurangan kebutuhan keluarganya dengan menjadi pemulung. Padahal posisinya di bagian pengujian SIM—yang menentukan lolos tidaknya seseorang saat ujian SIM—memungkinkan Seladi mengutip dari kirikanan. Atau menerima suap.
Tapi Seladi tidak memilih jalan itu. Ia memilih mencari rezeki bersih dengan menjadi pemulung. Seladi adalah sosok polisi yang jujur. Masih ada lagi polisi jujur lainnya. Ia Ajun Inspektur Satu (Aiptu) Mustamin. Sebagai polisi dengan pangkat rendahan di Polsekta Ujungpandang, Sulawesi Selatan, gaji Mustamin paspasan. Untuk menutupi kebutuhan keluarganya, selepas jam kantor, Mustamin menjadi tukang tambal ban. Ia sudah melakoni itu selama 20 tahun.
Di Aceh ada Aiptu Ruslan. Sehari-hari ia kanit Binmas di Polsek Pidie. Selepas jam kerja, Ruslan bekerja sebagai tukang sol sepatu. Tiga polisi tadi punya sejumlah kesamaan. Mereka sudah bertahun-tahun menjadi polisi. Meski gajinya pas-pasan, mereka tak mau menerima uang haram, uang suap, dan korupsi. Mereka hanya mau terima uang halal meski untuk itu harus rela menjadi pemulung, penambal ban, atau tukang sol sepatu.
Tiga Sosok Lainnya
Baiklah kita cari orang-orang jujur dan pemberani lainnya. Di masa lalu, selain Hoegeng, nama yang kerap disebut-sebut adalah Hakim Agung Bismar Siregar dan Jaksa Agung Baharuddin Lopa. Keduanya adalah petinggi di lingkungan penegak hukum dan sudah lama meninggalkan kita. Meski masuk jajaran elite negara ini, gaya hidup keduanya sangat sederhana.
Tapi, itu dulu. Sekarang kalau bicara orang jujur atau pemberani, referensinya sudah lain sama sekali. Baiklah saya angkat tiga di antaranya— sosok-sosok yang mungkin tidak Anda kenal sama sekali. Pertama, Agus Chaerudin, 35 tahun. Ia office boy di Bank Syariah Mandiri Cabang Kalimalang, Bekasi.
Ketika sedang melakukan pekerjaan rapi-rapi, Agus menemukan bundel uang Rp100 juta di lantai dekat tempat sampah. Apa yang Anda lakukan jika berada dalam posisi seperti Agus? Saya tak ingin berandai-andai. Silakan Anda renungkan sendiri. Saya hanya ingin menceritakan apa yang dilakukan Agus. Ia melapor ke petugas satpam dan kemudian menyerahkan uang tersebut ke atasannya. Mungkin saja Agus tergiur, tapi ia kuat melawan godaan.
Maka ia tak mengambil selembar pun uang dari bundel tersebut. Ia ingat betul ajaran agamanya, Jangan ambil apa pun yang bukan menjadi hak kamu.” Agus juga sangat terinspirasi dengan kisah Umar bin Khattab, sahabat Nabi Muhammad SAW, yang mengutamakan kesederhanaan dan kejujuran. SosokkeduabernamaMulyadi, 32 tahun. Ia bekerja sebagai petugas cleaning service di Mal Kota Kasablanka, Jakarta.
Saat membersihkan toilet mal, Mulyadi menemukan tas tercecer. Ia mengambil tas tersebut dan menyerahkannya ke customer service. Saat dibuka, isinya uang Rp100 juta. Lagi, apa yang Anda lakukan jika berada dalam posisi seperti Mulyadi? Sosok ketiga adalah pengemudi taksi bernama Suharto, 53 tahun.
Suatu ketika ada dua warga Australia yang naik taksinya. Setelah mengantar mereka ke tempat tujuan, sekitar pukul 02.00, Suharto langsung kembali ke rumah. Ia sama sekali belum sadar kalau ada tas yang tertinggal di taksinya. Beberapa jam kemudian, Suharto pun menerima pesan pendek dari penumpangnya tadi yang menginformasikan bahwa tasnya tertinggal di taksi. Isinya uang Rp100 juta. Suharto kaget. Ia memeriksa taksinya. Benar, tas itu tergeletak di belakang kursinya. Ia lalu bergegas mengantarkan tas tersebut kepada pemiliknya.
Mbah Ratmo dan Daffa
Itu tadi cerita tentang tiga orang yang berani jujur. Mereka jelas orang-orang hebat. Hidupnya lurus. Supaya lengkap, kali ini saya ingin menambahkan cerita tentang orang-orang hebat dengan dua sosok yang saya nilai pemberani. Pertama, namanya Sumarjono, 63 tahun, kakek dengan enam cucu.
Suatu ketika saat melintas di Jalan Suratmo di Semarang Barat, di dekat rumahnya, Sumarjono menyaksikan seorang perempuan muda disambar sepeda motor yang sedang melakukan balapan liar. Perempuan itu terkapar, tertindih sepeda motor. Pelakunya kabur. Peristiwa tersebut menginspirasi Sumarjono.
Dengan berbekal sebatang tongkat, Sumarjono dengan berani membubarkan aksi balap liar yang sering dilakukan di jalan itu. Nyaris setiap malam. Pernah ketika membubarkan aksi tersebut, Sumarjono dikeroyok. Ia melawan dengan senjata tongkatnya. Pengeroyoknya bubar meski hidung Sumarjono terluka dan berdarah. Kini, berkat aksinya yang berani, jalan tersebut sepi dari aksi balap liar.
Masyarakat setempat kemudian menjuluki Sumarjono dengan Mbah Ratmo, sebutan yang diambil dari nama jalan tersebut. Kalau sosok pemberani pertama adalah seorang kakek, sosok kedua sebaliknya. Ia masih kanak-kanak. Namanya Daffa, ia siswa kelas IV SD di Semarang. Setiap pukul 15.00, seusai mengerjakan PR, Daffa keluar rumah. Ia memarkir sepeda di trotoar jalan untuk mencegah sepeda motor lewat.
Kalau ada pengendara sepeda motor yang ngotot , memaksa melintas, Daffa akan lebih ngotot lagi. Daffa memang anak pemberani. Baiklah, sekarang apa yang bisa kita tangkap dari cerita ini? Jelas sekali, dulu contoh sosok jujur dan pemberani datang dari kalangan elite. Kapolri, hakim agung dan jaksa agung adalah sosok elite. Kini, terjadi perubahan. Sosok itu justru datang dari lapisan bawah.
Rakyat biasa, seperti kita semua. Di mana teladan dari para pemimpin? Padahal, pemimpin itu ibarat sumbu roda. Kalau dia bergerak sedikit, lapisan bawahnya akan lebih banyak bergerak. Jadi kalau dia bisa memberi teladan, akan banyak jajaran di bawahnya yang meniru. Kalau itu terjadi, saya yakin tak ada negara mana pun di dunia yang mampu menandingi kehebatan Indonesia.
Saya berharap kisah Seladi, Mustamin, Ruslan, Mbah Ratmo dan Daffa bisa menginspirasi kita dalam mengisi Ramadan 2016. Selamat merayakan Idul Fitri 1437 H. Selamat mudik dan bertemu keluarga, kerabat, teman masa kecil. Sebuah kebahagiaan yang kita miliki
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan