BRIsat dan Disruption di Bisnis Perbankan – Koran Sindo

Bagi seorang ayah, detik-detik menunggu istrinya melahirkan adalah momen membahagiakan, tapi juga sangat menegangkan. Bagi sebagian orang mungkin pula terasa mencekam. Suasana semacam itulah yang saya rasakan saat menemani direksi Bank BRI menunggu detik-detik peluncuran BRIsat di pusat peluncuran satelit di Kourou, Guyana Prancis, Amerika Selatan.

Setelah ditunda, saya kembali ke Jakarta karena masih perlu beberapa hari lagi. Meski demikian putra saya yang punya naluri jurnalisme kuat (ia seorang fotografer profesional) sudah lebih dulu berada di Kourou. Waktu diberitakan ditunda, dia sudah bertemu saya di Paris, lalu berangkat ke Kourou dan menjelajahi Hutan Amazon. Kemudian kembali lagi ke Kourou.

Naluri jurnalistiknya yang kuat telah menghasilkan foto-foto yang menurut saya selain bersejarah, juga indah. Suasana serupa juga saya rasakan ketika berada di tengah-tengah jajaran direksi PT Angkasa Pura II (AP II) menanti detik- detik jadi tidaknya Terminal 3 Ultimate dioperasikan.

Maklum suasana di T1 dan T2 di luar Hari Raya Lebaran saja sudah begitu crowded. Bahkan limpahannya sudah sampai ke Bandara Halim Perdanakusuma. Kadang saya gemas mengapa izin slot terbangnya dibuka terus. Dan kalau terbang di pagi hari saya sering khawatir menyaksikan satu-dua penumpang yang menjadi mudah marah dan bentrok. Karena penumpangnya banyak sekali melebihi kemampuan daya tampungnya. Padat sekali dan antrean mengular panjang. Waswas kalau ada pesawat yang delay.

Sore hari kalau landing di T1 atau di Bandara Halim, saya pun merasakan hal yang sama. Sama sekali sudah tak nyaman. Ya di udara, ya di darat. Apalagi terminal Halim sering dipakai tamu VVIP. Yang sudah pasti sewaktu-waktu dihentikan penerbangannya. Maka kalau jadi dioperasikan T3U, pasti akan baik bagi kenyamanan penumpang.

Dan harapan saya, kenyamanan adalah buah dari keamanan. Kebetulan dua peristiwa tersebut, peluncuran BRIsat dan Terminal 3 Ultimate, terjadi dalam waktu berdekatan. Dan keduanya harus menghadapi kenyataan yang sama, yakni penundaan. Keputusan penundaan peluncuran BRIsat bahkan sampai tiga kali.

Semula BRIsat bakal diluncurkan Kamis, 9 Juni 2016. Namun peluncuran itu ditunda karena ada masalah pada bahan bakar roket. Rencana peluncuran berikutnya ditetapkan pada Jumat, 17 Juni 2016, tetapi lagi-lagi ditunda akibat adanya gangguan sistem elektrik. Penundaan ketiga terjadi pada Sabtu, 18 Juni 2016, akibat gangguan cuaca di Kourou. Angin di sana bertiup sangat kencang. Setelah tiga kali mengalami penundaan, akhirnya pada Minggu (19/6) dini hari waktu Indonesia, satelit BRIsat berhasil diluncurkan.

Lega. Persis seperti suami yang sekian lama menunggu istrinya melahirkan, akhirnya saat itu tiba juga. Sang istri melahirkan seorang bayi. Keduanya, ibu dan anak, dalam keadaan sehat. Kalau BRIsat akhirnya berhasil diluncurkan, bagaimana dengan Terminal 3 Ultimate? Agaknya pihak AP II masih harus bersabar. Sampai sekarang kami di AP II tidak tahu kapan terminal tersebut bisa dioperasikan. Ketidakpastian semacam ini tentu melelahkan. Meski begitu kami terus mencoba memetik hikmahnya.

Namanya juga kerja kolaborasi. Di antara pihak-pihak itu selalu ada yang tak menjalankan tugasnya, alpa menyediakan ini dan itu, atau ada yang sama sekali tak mau keluar biaya. Tapi ada juga yang baru tahu kekurangannya di last minute. Namun, jangan lupa, untuk melayani masyarakat, yang namanya aparatur sipil negara (ASN) juga punya kewajiban yang diatur dalam UU Pelayanan Publik (UU No 25 Tahun 2009). Kita perlu bahu-membahu membantu, bukan pamer kekuasaan.

Tiga Kali Penundaan

Saya berada di Jakarta ketika pihak Arianespace memutuskan untuk menunda peluncuran BRIsat. Saya juga mendengarkan penjelasannya. Sangat detail dan teknis, tetapi saya paham maksudnya. Padahal dini hari itu, pukul 02.00 WIB, saya sudah dijemput sebuah stasiun TV. Pukul 06.00 berikutnya saya juga sudah meluncur ke Terminal 3 Ultimate dan akhirnya kepala saya pusing, dua hari saya terkapar di sebuah kamar perawatan.

Besoknya BRIsat melesat ke angkasa, tapi T3U belum bisa dipakai para pemudik. Tapi saya tetap minta teman-teman di Angkasa Pura II terus memperbaiki kekurangan yang ada, berikan yang terbaik. Kesan saya, sebagai perusahaan yang sangat berpengalaman dalam peluncuran satelit, Arianespace memilih bertindak ekstra-hati-hati. Maklum investasi BRI untuk BRIsat tidak sedikit.

Hampir Rp3,4 triliun. Tapi Terminal T3U juga tak kalah besar investasinya, sekitar Rp7 triliun. Semua itu tentu dilakukan untuk mengatasi ketertinggalan. Selain itu Arianespace tentu juga memiliki standard operating procedure (SOP) yang sangat ketat. Soal ini Arianespace tak mau toleran sama sekali. Kalau kondisi tak sesuai dengan SOP, mereka lebih baik tak meluncurkan satelit sama sekali.

Ini harga mati. Bahkan 20 menit sebelum launching, peluncuran satelit itu pun nyaris ditunda lagi. Tapi alhamdulillah, puji Tuhan, masalah segera diatasi. Hal lain yang membuat saya sangat terkesan adalah budaya kerja Arianespace. Setiap kali ada masalah, mereka membahasnya secara detail guna mencari solusi dan—ini yang menarik— sinergi.

Bukan malah gontok- gontokan dan sibuk mencari siapa yang salah. Ini budaya yang patut kita tiru dan kembangkan di negeri ini. Negeri yang kalau ada masalah, yang pertama dicari adalah siapa yang paling bisa dipersalahkan. Bukan mencari masalahnya apa, lalu menemukan solusinya terlebih dahulu. Apalagi dengan memakai pendekatan yang sinergis. Maksudnya semua pihak diajak memberikan kontribusi. Diajak bekerja sama.

Mendisrupsi Diri Sendiri 

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari peluncuran BRIsat dan tertundanya pengoperasian Terminal 3 Ultimate? Pertama, jelas kita bisa belajar dari Arianespace. Ketika ada masalah, yang pertama mereka cari adalah masalah dan solusi. Senyampang mencari solusi, mereka dengan tangan terbuka menggandeng pihak-pihak lain untuk diajak bekerja sama.

Saya garis bawahi: kerja sama. Itulah yang belakangan saya rasakan mulai menghilang di negeri ini. Bukan hanya di masyarakat, bahkan fenomena menipisnya kerja sama ini sangat terasa di jajaran pemerintahan. Presiden Joko Widodo sudah mengatakan dari awal, tak ada lagi visi menteri. Tapi, mohon maaf, harus saya katakan kerja sama ini amat mahal di negeri kita sendiri.

Kalau ada kesalahan, yang pertama- tama dicari siapa yang mau di-blame, baru dicari-cari apa yang mau di-blame. Karena itu masalahnya bisa menjadi rumit. Kedua, BRI adalah bank pertama di dunia yang memiliki satelit sendiri. Ini membanggakan, tetapi di sisi lain juga menyimpan tantangan.

Apa tantangannya? Anda tahu banyak perkembangan teknologi yang mendisrupsi bisnis-bisnis model lama. Istilah change kini memasuki babak baru: disrupsi. Dan ini menyangkut inovasi yang berlangsung sejak 20 tahun terakhir, yang puncaknya tengah terjadi saat ini. Ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di dunia.

Ini adalah topik kajian yang sedang saya rampungkan dalam revisi edisi buku Change yang saya tulis 10 tahun lalu. Dan ketidakpahaman negara terhadap dampak dan proses inovasi disruption yang tengah melanda dunia dapat membiarkan lembaga perbankan dan jajaran regulator mengatur pembiayaan dan perizinan dengan cara-cara yang counter-productive.

Alih-alih menumbuhkan inovasi positif, dunia usaha malah diarahkan pada inovasi efisiensi yang bertentangan dengan semangat penciptaan pekerjaan. Inovasi disruption dalam beberapa hal memang bisa berdampak buruk bagi bisnis incumbents yang keras kepala dan kurang meremajakan diri, tapi berdampak luas bagi penciptaan lapangan pekerjaan baru.

Kita di Tanah Air juga menyaksikannya. Korbannya, hampir semua incumbents yang selama ini berjaya sampai awal abad ke-21 ini. Jangan cuma lihat usaha taksi saja, tapi hampir semua, termasuk partai-partai politik yang sedang merintih kesakitan melihat langkah dukungan publik terhadap jalur independen.

Di luar itu, disruption tengah terjadi dalam bisnis-bisnis pendidikan, pelayanan keagamaan, perhotelan, perjalanan wisata, kebandaraan, pelabuhan, media massa, sampai termasuk bisnis perbankan. Ini bukan masalah sepele, melainkan turut berkontribusi terhadap pelemahan negara dalam penerimaan pajak dan shifting bisnis yang selama ini kambing hitamnya dianggap ada di pelambatan ekonomi Tiongkok atau dampak kebijakan moneter yang diambil The Fed.

Tapi nantilah kita dalami soal ini. Untuk sementara, saya ajak Anda kembali ke perbankan karena soal lain-lain akan saya bahas terpisah. Saat ini perbankan kita tengah berancang-ancang menghadapi gempuran dari lembaga keuangan digital— yang sudah mempreteli bisnis perbankan konvensional di negara- negara maju.

Anak-anak muda di seluruh dunia, menurut Millenials Disruption Index, kini sudah tak tertarik dengan perbankan konvensional. Mereka ingin mendapatkan layanan finansial dari Google , Facebook, atau Amazon.

Gila bukan? Padahal kini bukan cuma mereka. Apple saja sudah menguasai metode pembayaran (Apple Pay), belum lagi perusahaan seperti Home Depot yang mulai dituntut pasar membiayai pinjaman mortgage. Maka, BRI tak perlu meniru bisnis transportasi konvensional kita yang berteriak meminta perlindungan pemerintah.

Dengan modal BRIsat, saya ingin BRI melompat tak hanya selangkah ke depan, tetapi dua atau tiga langkah sekaligus. Bagaimana caranya? BRI memakai BRIsat untuk mendisrupsi bisnis-bisnisnya sendiri. Jargonnya: manage your company like a startup! Lalu perkuat lini bisnisnya dengan kehadiran satelit sendiri.

Menurut saya, banyak unit bisnis perbankan yang sudah tak layak lagi karena ongkosnya yang terlalu mahal. Bisnis kredit, misalnya, skema yang ada di bisnis perbankan konvensional terlalu bertele-tele. Prosesnya terlalu berbelit-belit dan mahal. Akibatnya debitor harus menanggung ongkosnya dengan suku bunga yang tinggi. Ingat model bisnis yang dikembangkan para disruptor bukan hanya harus save money, melainkan juga save time.

Ini modal besar untuk menjalan misi inklusi keuangan yang sebagian besar berada di jalur nonkonvensional, luar pulau besar dan informal. Bisnis ATM juga saya anggap sangat mahal. Mungkin sebentar lagi juga tergilas dengan hadirnya uang digital. Lalu untuk apa juga bank-bank terus membuka kantor-kantor cabang yang besar-besar? Itu era owning economy yang mahal, bukan sharing economy.

Dan masih banyak lagi bisnis perbankan konvensional kita yang perlu didisrupsi oleh bisnis-bisnis finansial yang berbasis teknologi (financial technology atau fintech). Beranikah BRI? Saya harap begitu. Sayang kalau investasi BRIsat yang sudah begitu besar tidak dimanfaatkan secara optimal. Saya melihatnya ini sebagai sebuah peluang besar.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

 

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *