Dalam beberapa hari ke depan, kalau tak ada halangan (doakan saja), kebandarudaraan (bandara) Indonesia akan memasuki babak baru.
Ini seiring dengan beroperasinya Terminal 3 Ultimate, Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) di Tangerang, Banten. Bandara ini dikelola PT Angkasa Pura II (APII). Tidak main-main, disiapkan siang-malam, bertahun-tahun, dan dioperasikan (shadow operation) justru di saat menyambut libur mudik, Hari Raya Idul Fitri. Ini belum operasi penuh, baru untuk keberangkatan dan kedatangan beberapa kota sampai bulan September yang akan datang karena tentu kita harus amat teliti dan safe.
Melibatkan banyak pihak, dari Kemenhub, Imigrasi, Bea Cukai, Karantina, Air-Traffic Control, airlines, otoritas bandara, keamanan, pengelola bandara (Angkasa Pura), para vendor dan katering hingga pengelola parkir, people mover, dan seterusnya. Ini benar-benar rumit. Apalagi kita ingin menampilkan cita rasa karya putra-putri terbaik dalam bentuk galeri Indonesia.
Jangan lupa, bandara itu adalah pintu gerbang Nusantara. Menyangkut harga diri dan persepsi dunia terhadap kepribadian dan kejayaan bangsa. Semoga saja hal ini bisa mengurangi kepadatan arus mudik di terminal Cengkareng dan menambah kenyamanan Anda. Ya, memang baru di terminal. Belum sampai traffic menuju bandara karena jalur kereta baru akan jadi tahun depan.
Pengoperasian terminal baru ini pun dilakukan kalau lolos uji dari regulator, khususnya pada sisi udara. Saya senang karena Menteri Perhubungan (Menhub) memeriksa dengan teliti dan kita tahu, dalam soal safety, Menhub Ignasius Jonan bukanlah orang yang bisa diajak kompromi. Untuk itu kita ucapkan terima kasih.
Spesial
Saya sesungguhnya sudah menyaksikan Terminal 3 Ultimate sejak terminal ini masih dalam proses pembangunan. Saya menuangkan catatan itu dalam buku saya yang berjudul Agility: Bukan Singa yang Mengembik (2015). Kini terminal yang proses pembangunannya menerapkan konsep design & build tersebut sudah siap dioperasikan.
Kalau saya menyebut Terminal 3 Ultimate (bukan T3 yang lama) akan menjadi babak baru bagi industri bandara di Indonesia, itu karena beberapa hal. Pertama, dari sisi luas bangunan. Untuk Terminal 3 Ultimate luasnya mencapai 422.804 meter persegi. Initerminal terluas jika dibandingkan dengan terminal-terminal yang ada di seluruh bandara di Indonesia. Bahkan jika dibandingkan dengan terminal-terminal yang ada di ASEAN sekalipun.
Sebagai contoh dibandingkan dengan Bandara Changi, Singapura. Saat ini bandara itu memiliki tiga terminal. Salah satu terminal yang paling luas adalah Terminal 3. Anda tahu berapa luasnya? Hanya 380.000 meter persegi. Kedua, dari sisi kapasitas. Terminal 3 Ultimate ini bakal mampu menampung 25 juta penumpang per tahun. Lagi, bandingkan dengan Terminal 3 Bandara Changi yang “hanya” mampu menampung 22 juta penumpang per tahun.
Ketiga, terminal ini juga akan dilengkapi dengan garbarata ganda. Garbarata ini khusus untuk melayani pesawat superjumbo seperti Airbus A380. Mudah-mudahan kelak bandara kita bisa didarati pesawat-pesawat yang berukuran besar tersebut. Keempat, konsep art and culture. Bandara ini kelak dilengkapi beberapa ornamen dari berbagai daerah di Indonesia. Ini akan membuat terminal bisa menjadi tempat santai bagi para pengunjung dan sekaligus pameran yang bisa dinikmati para penumpang.
Kelima, teknologi, ini yang membuat terminal ini menjadi terkesan sangat modern dan ramah lingkungan. Misalnya, penerangannya memakai lampu LED dan banyak mengandalkan cahaya dari luar. Lalu, jalan-jalan seputar terminal banyak memakai lampu dari sel surya.
Jangan lupa juga, CCTVnya bisa langsung mendeteksi wajah-wajah yang masuk dalam daftar DPO. Begitu juga dengan penanganan bagasi yang mengadopsi teknologi baggage handling system (BHS) seperti di Bandara Kualanamu, Medan. Jadi, setiap bagasi yang masuk dipasangi barcode sesuai dengan tujuan penumpang. Ini untuk memperkecil kemungkinan bagasi yang tertukar atau salah alamat.
Film The Terminal
“All human life can be found in an airport,” begitu tulis David Walliams, penulis, komedian, dan presenter ternama Inggris (Anda mungkin sering melihat wajahnya di acara reality show Britain’s Got Talent). Selain itu di terminal juga ada paradoks. Kita akan sering menemukan tangis dan sekaligus tawa di sana. Bandara itu adalah tempat untuk meet and greet.
Ada tangis dari seorang gadis yang bakal ditinggal kekasihnya bepergian ke luar negeri untuk waktu lama. Berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Ada tawa (juga tangis haru) dari seorang ibu yang menjemput kedatangan anaknya setelah bertahun-tahun terpisah oleh jarak ribuan kilometer.
Bicara soal ini, tiba-tiba saya teringat dengan film The Terminal (2004) yang dibintangi aktor favorit saya Tom Hanks dan artis jelita Catherine Zeta- Jones. Saya cuplikkan sedikit inti ceritanya. Film ini berkisah tentang Viktor Navorsky (Tom Hanks), warga negara Krakozhia (negara fiktif di Eropa Timur) yang lugu dan polos. Ia berkunjung ke Amerika Serikat (AS) untuk menepati janjinya kepada sang ayah.
Ayah Viktor, seorang musisi jazz, meminta Viktor untuk mendapatkan tanda tangan dari musisi favoritnya yang asal AS. Maka pergilah Viktor ke Negeri Paman Sam itu. Viktor mendarat di Bandara Internasional JFK, New York, AS, dengan menenteng koper dan kaleng di tangan sehingga memicu kecurigaan petugas bandara. Apalagi Viktor sengaja merahasiakan isi kalengnya.
Celakanya lagi, pihak imigrasi menolak kehadirannya. Paspor Viktor dianggap tidak berlaku karena terjadi kudeta di negaranya. Pemerintah lama tumbang, diganti pemerintahan baru yang belum diakui pihak AS. Akibatnya paspor Viktor dianggap tidak berlaku. Ia tidak bisa masuk ke AS.
Maka jadilah Viktor terdampar di bandara. Bagaimana ia bertahan hidup? Itulah yang menjadi inti cerita film ini. Jenaka, tetapi juga kaya dengan satire tentang manusia. Perilaku para petugas bandara dan orang-orang yang ada di sana terhadap Viktor barangkali menjadi cerminan dari perilaku kita pula.
Saya tak ingin berpanjang lebar soal bagaimana Viktor menjalani hidup di terminal itu. Maklum, kudeta di negaranya baru selesai sembilan bulan kemudian. Eksistensi negara itu diakui kembali oleh Pemerintah AS. Paspor Viktor pun akhirnya berlaku kembali dan ia masuk ke AS untuk mendapatkan tanda tangan dari musisi favorit ayahnya. BKO,
Bukan Koordinasi
Kisah tentang Viktor tadi mungkin tak terjadi di negara kita. Meski begitu kisah tadi memberikan gambaran tentang betapa kompleksnya mengelola bandara dan terminal-terminalnya. Ini juga terjadi di negeri ini. Anda harap maklumlah, dulu yang kuat itu bukan sistemnya, tapi mantan-mantan pejabatnya yang masing-masing punya bisnis dan operator di lapangan.
Ada yang bisnis kargo, parkir, gudang, angkutan, restoran sampai vendor-vendor dan jasajasa preman lainnya. Pokoknya rumitlah. Jadi sudah pasti kehadiran Terminal 3 Ultimate ini sebuah program perubahan besar. Bukan sekadar fisik. Ini soal transformasi sistem, manusia, dan mental bangsa. Mental berbangsa dan berwirausaha. Juga mental kita dalam penyelamatan aset dan pendapatan negara yang legal.
Jadi kita perlu menerapkan tata kelola yang baru. Apalagi mayoritas petugas dari berbagai instansi yang ada di bandara berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Anda tahu, belum semua memiliki mindset melayani. Padahal, hampir semua urusan di bandara adalah soal safety dan pelayanan.
Dan pelayanan bukanlah melulu soal teknologi, ini soal mental manusia dan sistem. Maka ini PR berat kita semua. Saya percaya kita mampu kalau kita berani melakukan perubahan. Anda tahu, wajah bandara adalah wajah negeri ini.
Meski bandaranya megah dan rapi, kalau pelayanan para petugasnya, koordinasi, dan support-nya jelek, itu menggambarkan ada yang salah urus di negeri ini. Kita tentu tak mau orang luar mengecap kita sebagai negeri yang tidak becus mengelola, bukan?
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan