Di Jakarta, heboh rasionalisasi pegawai negeri sipil (PNS) terus bergulir. Awalnya simpang siur dan sempat membuat suasana menjadi panas. Untungnya belakangan arahnya kian jelas.
Mulanya yang mencuat penyataan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) soal pemangkasan jumlah PNS dari total 4,5 juta menjadi tinggal 3,5 juta. Ini baik di tingkat pusat maupun daerah. Jadi bakal ada 1 juta PNS yang dirumahkan. Mereka adalah PNS yang dinilai tidak kompeten, tidak profesional, dan tidak disiplin. Maklum, harus diakui, masih banyak yang bekerja dengan metode 804. Maksudnya?
Masuk pukul 8, pulang pukul 4 petang, di tengah-tengah kosong alias tidak tampak batang hidungnya. Untuk mengidentifikasi, Kemenpan-RB akan melakukan audit kinerja. Sesuai dengan hasil audit, para PNS akan dikelompokkan dalam empat kategori. Pertama, yang berkinerja baik dan kompeten. Ini tentu kelompok masa depan, harus diganjar promosi. Kedua, yang kinerjanya baik, tetapi tidak kompeten. Kelompok ini akan dikirim ke lembaga pendidikan.
Ketiga, yang kinerjanya buruk, tetapi kompeten. Walaupun lebih baik mengambil program karier kedua, katanya kelompok ini bakal dirotasi. Keempat, sudah kinerjanya buruk, tidak kompeten pula. Jelas, ini bakal dipensiundinikan. Bagaimana prosesnya? Mulanya, itu tadi, direview, lalu dipangkas. Belakangan Presiden Joko Widodo mengoreksi. Pemerintah tidak akan memangkas, melainkan menerapkan kebijakan negative growth. Jadi kalau ada 120.000 PNS yang pensiun, pemerintah hanya akan merekrut 60.000. Berkurang separuhnya.
Minat Jadi PNS
Kalau isu pemangkasan PNS heboh di tingkat pusat, di daerah lain lagi. Masih banyak anak muda yang ingin menjadi PNS. Mereka bahkan disokong orang tuanya. Saya ajak Anda ke Pangkalan Kerinci di Kabupaten Pelalawan, Riau. Di sana saya bertemu dengan beberapa petani kelapa sawit yang awalnya hanya punya 1 petak kebun seluas 2 hektare. Berkat ketekunannya mereka bisa membeli petak-petak sawit milik tetangganya yang kurang tekun.
Alhasil, dari 1 petak, kini sebagian punya 4-5 petak. Dengan hasil jerih payahnya, mereka mengirim anak-anaknya bersekolah di kota, termasuk ke Jawa. Setelah lulus, mereka tidak berharap anaknya kembali ke Pangkalan Kerinci. “Untuk apa kembali ke sini? Mau jadi petani? Biarlah mereka bekerja di kota. Kalau bisa menjadi pegawai negeri,” ujar mereka. Nah! Bukti lain, saya kira bisa dengan mudah kita temukan di berbagai berita di media massa.
Contohnya, di Kemenpan-RB pernah ada 50 posisi PNS yang lowong. Anda tahu berapa banyak yang melamar? Lebih dari 17.000. Di Kementerian Keuangan pun serupa. Dari 2.700 posisi kosong, lebih dari 120.000 pelamar yang berebut. Di daerah, tingginya minat anak-anak muda untuk menjadi PNS malah kerap berbuah petaka. Contohnya di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Di sana ada seorang guru yang begitu ingin dua anaknya menjadi PNS.
Lalu bertemulah dia dengan seorang oknum. Kata si oknum, harga satu kursi Rp200 juta. Deal! Kemudian pak guru tadi mentransfer uang sebesar Rp315 juta. Sisanya bakal dilunasi kalau dua anaknya sudah mengantongi SK sebagai PNS. Anda sudah bisa menebak ujungnya, bukan? Iya, dua anak pak guru tadi gagal menjadi PNS. Lalu ributlah. Memprihatinkan, bukan? Ini sekaligus paradoks, apalagi banyak daerah tak ada industrialisasinya sama sekali. Jangankan industri, UKM saja tak dibangun pak gubernur, eh pak bupati.
Mereka anggap itu urusan masing-masing. Akibatnya, kalau bukan kedai kopi, anak-anak muda cuma bisa menjadi dosen (karena kampus selalu ada di kota mereka), ulama, guru, atau itu tadi: PNS. Saya agak mengerti soal ini karena saya ikut membangun wirausaha-wirausaha muda di kabupaten tertentu. Hasilnya, kini banyak bupati yang senang. Urusannya tak lagi diganggu para pemeras yang berkedok LSM, wartawan atau pendemo bayaran.
Sebab itu juga profesi para penganggur yang tak punya ide untuk menafkahi dirinya. Dan PNS bukan lagi satu-satunya profesi yang tersedia. Ekonomi pun bergerak. Tanpa wirausaha, infrastruktur yang baik tak akan menghasilkan kegiatan ekonomi seperti yang diharapkan banyak ekonom. Kalau Anda tak percaya, pergilah ke Aceh yang memiliki sarana infrastruktur terbaik di negeri ini. Atau ke pelosok-pelosok Kalimantan yang juga mulai bagus. Yang ada hanya pendatang dengan alat-alat berat yang hanya datang sebentar lalu pergi bersama hasil tambang dan pindah lagi entah ke mana.
Evaluasi Kinerja
Baiklah itu sisi lain. Di tengah hiruk-pikuk soal PNS di negara kita, saya ingin menyampaikan beberapa catatan. Pertama, soal mindset. Saya kira ini pekerjaan besar yang masih harus kita benahi. Saya tentu kenal banyak PNS profesional yang kerjanya jauh melebihi orang swasta. Betulan. Mereka luarbiasa. Sudah pandai bekerja, santun, beretika bagus, dan tahu kapan harus bertindak.
Ini membanggakan. Namun mereka juga mengeluh, masih sangat sedikit yang memiliki mindset melayani masyarakat. Jangan lupa, paradigmanya sudah bukan PNS lagi. UU Pelayanan Publik sudah ada (UU No 25/2009), demikian juga UU ASN (UU No 5/2014). Ya, paradigmanya kini adalah aparatur sipil negara yang basisnya bukan lagi pangkat, jabatan atau golongan, melainkan kompetensi dan integritas. Tugasnya adalah melayani, bukan mempersulit masyarakat.
Mengubah mindset bukan pekerjaan mudah. Saking tidak sabarnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama akhirnya memilih cara dengan “memaksa” para PNS di lingkungan pemerintah provinsinya untuk melayani warga. Kalau tidak suka dipaksa, silakan angkat kaki. Heboh, ribut, ia dianggap kurang santun, didongkel banyak politisi. Tapi rakyatnya puas dengan pelayanan publik baik di tingkat kelurahan, kecamatan sampai ke DKI.
Kalinya mulai bersih, pungli mulai hilang. Maka kalau mau menggantikan, rakyatnya minta pemimpin yang lebih galak, bukan yang lebih ganteng atau lebih punya banyak gelar. Bukan itu. Well, cara Ahok mungkin bukan yang terbaik. Saya juga kenal cara Abdullah Azwar Anas (Banyuwangi), Kang Yoto (Bojonegoro), dan IB Rai Dharmawijaya Mantera (Denpasar) serta Abdullah Abu Bakar (Kediri), Airin Rachmi Diany (Tangerang Selatan), Kang Emil (Bandung) atau yang baru mulai bekerja, Emil Dardak (Trenggalek).
Mereka juga hebat dan berada di tempat yang tepat. Tapi, bukankah kita mengenal pepatah “tak ada gading yang tak retak”? Semua orang yang bekerja pasti ada omongan negatifnya. Apalagi yang melakukan perubahan dan perform. Sudahlah! Catatan kedua, soal penilaian kinerja. Bicara soalini, pemerintah sebetulnya tinggal meniru saja perusahaan-perusahaan swasta kita, termasukBUMN, yang sudah menerapkannya sejak lama.
Intinya sederhana. Setiap tahun perusahaan tentu memiliki target yang harus dicapai. Itu target besar. Lalu target tersebut dipecah-pecah lagi menjadi target-target yang harus dicapai oleh para direkturnya. Kemudian turun lagi menjadi target para general manager, manajer, supervisor, dan akhirnya menjadi target setiap orang yang ada di perusahaan. Bagaimana cara mencapainya?
Setiap pegawai mesti memiliki program kerja, rencana aksi, termasuk time frame dan biayanya. Jangan dibalik ya. Sebab PNS biasanya money follow function. Anggarannya berapa, baru mikir apa yang mau dilakukan dengan uang itu. Akibatnya, ya apa lagi kalau bukan buat dibagi-bagi? Lalu rakyatnya tak dapat apa-apa dan bupatinya dicaci-maki. Memang tidak mudah mengorganisasi hal ini. Apalagi kalau melibatkan 4,5 juta PNS— meskipun kelak tinggal 3,5 juta.
Untungnya teknologi terus berkembang. Ada banyak solusi untuk ini, termasuk solusi yang berbasis teknologi informasi. Misalnya, balanced score card dan smart city atau smart kampung. Aplikasi semacam ini bukan hanya merekam kinerja setiap PNS, tetapi juga sekaligus menepis peluang terjadinya like and dislike yang masih dominan dalam pengukuran kinerja para PNS. Jadi, saya kira Presiden Joko Widodo tinggal menginstruksikan menteri-menteri dan lembaga pemerintahan lainnya untuk menerapkan aplikasi semacam itu.
Kalau hal tersebut bisa dilakukan, saya kira, pemerintah kita akan memiliki PNS dengan kinerja ala pegawai swasta. Ini, saya yakin, akan menjadi modal penting bagi terbentuknya entrepreneurial government. Pemerintahan yang perilakunya bak korporasi, yang selalu melihat masalah bukan sebagai ancaman, tetapi peluang.
Kalau ini terwujud, saya kira, itulah legacy besar Jokowi-JK dan para kepala daerah bagi negara ini. Ingat lho, Indonesia tengah dilanda sindroma megacities di mana kaum muda masih terus meninggalkan desa menuju kota yang makin meraksaksa. Lalu kabupaten terpinggir akan makin sulit bergerak, makin miskin. Itu sebabnya kita butuh leadership dan ASN yang tangguh.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan