Saya sedang berada di Paris dalam perjalanan menuju Cayenne, French Guyana di dekat Venezuela.
Putra saya, Adam, yang sedang kuliah di Amerika Serikat bahkan sudah lebih dulu terbang ke Cayenne. Bahkan ia sudah sampai ke area dekat Kurou. Sebagai fotografer (dia pernah magang diHarian Kompas), kakinya gelisah begitu melihat potensi obyek foto.
Dari bandara Cayenne, rencananya kami akan pergi ke Guyana Space Center, menyaksikan peluncuran satelit milik bank pertama di dunia: BRIsat. Rekan-rekan saya, ilmuwan asal Prancis begitu bersemangat. Maklum, mereka tahu persis Indonesia adalah negeri kepulauan terbesar dan terpanjang di dunia.
Quality Control
Pembicaraan terputus saat putra saya mengabarkan dari Cayenne bahwa peluncuran masih baru akan diluncurkan beberapa hari. Waktu saya tanya, ia menjelaskan begini: “Wajar, ini barang teknologi, quality control-nya ketat. Begitu ada sedikit anomali, mereka periksa lagi.”
Anomali itu ada pada tahap persiapan yang menemukan adanya kelemahan aliran bahan bakar antara satu elemen dengan elemen lainnya. Jadi masalah teknis saja. Alhasil, rencana mempercepat peluncuran yang semula ditargetkan Juli yang akan datang, mungkin masih bisa dilakukan pada bulan puasa ini. Namun, namanya juga teknologi, ketekunan dan kehati-hatian besar amat dibutuhkan.
Kalau ini bisa dilaksanakan, maka ini hadiah Lebaran yang bagus buat bangsa Indonesia dari BUMN-nya, selain Terminal 3 Ultimate bandara Soekarno Hatta yang Insya Allah akan dioperasikan segera. Akhirnya kita punya bandara kelas dunia juga yang tak kalah dengan negri tetangga. Juga kita saksikan bank nasional kita unjuk gigi dengan satelit barunya yang membuat transaksi amat efisien.
Tapi saya senang melihat jajaran pimpinan BRI mengambil keputusan. Soal risiko, dihitung hati-hati, tetapi mereka bukan tipe penakut. Apalagi Asmawi Syam, dirutnya saat ini, dikenal sebagai sosok yang pernah mengawal BRI di masa-masa sulit saat bertugas di masa peralihan Timor Leste.
Ia bahkan pernah diberikan penghargaan “Melakukan Tugas Melampaui Batas Kemampuannya”. Ya, itu saat BRI tinggal menjadi satu-satunya bank milik NKRI yang masih buka di Timor Leste. Padahal satu persatu pegawainya sudah hidup dalam ancaman kematian.
Kalau saja ia penakut, sudah pasti cabang itu ia tutup, kembali ke kantor wilayahnya di Denpasar yang jauh lebih nyaman. Namun akibatnya daya dukung pasukan tempur RI di sana tak ada yang membiayai. Jadi, siang tadi saya mengikuti penjelasan Asmawi saat membahas masalah teknis tersebut. Saya pikir, memang lebih baik sedikit bersabar, toh hanya beberapa hari saja.
Di dunia internasional, saya membaca rilis dari Arianespace yang mengabarkan bahwa mereka amat bersungguh-sungguh menantikan peluncuran satelit ke-533 dan ke-534 sekaligus. Jadi, ini adalah babak baru peluncuran satelit dunia. Pada satu roket yang sama, diluncurkan dua satelit seberat 9.840 kg. Satunya milik BRI, satunya lagi milik EchoStar XVIII yang dioperasikan DISH Network LLC. Maka quality control amat diutamakan.
Ekonomi Archipelago
Jadi, mengapa saya ikut-ikutan bersemangat? Bukannya apa-apa. Sebagai ilmuwan yang sudah keliling habis hampir semua pulau-pulau di Nusantara ini, saya pernah punya ide mengembangkan mata kuliah baru, lengkap dengan buku teksnya: Ekonomi Archipelago.
Topik ini juga sudah saya diskusikan dengan beberapa ilmuwan dari beberapa negara. Tentu saja mereka merasa ada sesuatu yang baru. Maklum, Indonesia adalah archipelago terbesar dan terpanjang di dunia ini. Asal Anda tahu saja, di dunia ini, perekonomian yang kita pelajari selama ini adalah ekonomi mainland, semuanya serba darat.
Negara mengontrol ekonomi point-to-point dalam satu kontinen daratan. Begitulah Eropa, Rusia, Tiongkok, Timur Tengah, Afrika dan Australia. Begitu antarpulau, kita semua tahu, disparitas, cost structure,leadership, infrastruktur dan aneka kesulitan selalu timbul.
Maka mengelola ekonomi kepulauan itu dapat diibaratkan seperti Amerika Serikat mengawal dunia memakai kapal individu dengan pulau-pulau yang beragam potensi ekonomi dan disparitasnya. Jangankan soal antarpulau, menteri pada kabinet yang sama saja bisa berbeda pendapat dalam menentukan dimana lokasi fasilitas pengelolaan Blok Masela di darat atau di laut. Tentu saja point of view-nya bukan cuma ekonomi belaka.
Nah, di dunia ini, selain Indonesia, memang masih ada beberapa negara yang basis ekonominya archipelago, yaitu Jepang, Filipina dan Maladewa. Tetapi pulau-pulau mereka tak sebanyak kita. Demikian juga perbedaan alam dan budayanya. Maka bagi saya, ekonomi kelautan, bukan cuma masalah transportasi. Ini soal pengelolaan ekonomi.
Nah, apa kaitan BRIsat dengan ekonomi archipelago tadi? Mengapa di dunia ini hanya baru bank BRI yang tertarik mengembangkan satelitnya sendiri.
Begini, selain masalah archipelago, kita tengah berada dalam era disruption. Disruption sendiri dapat diartikan sebagai inovasi yang bisa membuat segala sesuatu yang dilakukan incumbents bakal usang, ketinggalam zaman. Selain itu, disruption biasanya dilakukan dengan bisnis model baru yang berbeda dengan yang lama. Yang akibatnya, mereka akan merusak pasar dengan posisi low cost dan menawarkan pasar dengan biaya jauh lebih murah.
Ambil contoh saja taksi online vs taksi konvensional lah. Sedangkan perbankan kini sedang menghadapi ancaman serius dari fintech, termasuk peer to peer lending dan crowdfunding. Wajar kalau BRI harus mendalami strategi disruption. Di nusantara ini, asal Anda tahu saja, di pulau-pulau terpencil yang potensinya besar, sering kali hanya BRI yang hadir.
Dari catatan yang saya miliki, BRI memiliki lebih dari 10.600 cabang operasi, dengan sekitar 240.000 electronic channel outletsdan 53 juta nasabah di seluruh archipelago Nusantara.
Bayangkan, berapa besar biaya yang bisa dihemat kalau bank ini mampu mendisrupsi bisnis model-nya. Pilihannya bukan lagi change or die, tetapi disrupt or being disrupted.
Alhamdulilah saat ini saya dengar masalah yang dihadapi pembuat satelit BRIsat mulai ditemukan. Rupanya itu hanya masalah teknis ringan. Sekarang sedang diperbaiki.
Saya masih menunggu di Paris, sementara putra saya sudah menjelajahi bumi selatan Amerika.
Dari Cayenne, ia sudah melipir ke Suriname, menemui keluarga-keluarga Indonesia yang sejak puluhan tahun lalu bermigrasi ke sana. Kadang saya terkekeh kekeh saat ia menceritakan Pak Suwito yang bekerja di Arianespace, berbaju batik dengan celana bahan, tapi ia berbicara dalam bahasa Perancis berlogat Jawa tapi tak bisa berbahasa Indonesia.
Rambutnya panjang sampai ke kaki, jadi kata Adam, ia amat mirip dengan dukun di sini. Putranya diberinama Gudel, dan ia baru saja tahu bahwa gudel adalah julukan anak kerbau di Jawa. Kini putra-putri Suriname keturunan Jawa yang bekerja di Areanespace begitu bergairah menanti peluncuran BRIsat.
Kita doakan yang terbaik, dan mulai sekarang harus ada ekonom yang mendalami ekonomi archipelago. Sebab big data analitics-nya sebentar lagi sudah ada.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan