Satelit BRI di Kurva Kedua – Koran Sindo

Siklus perusahaan selalu begini. Mulai dari bawah, lalu bergerak naik dan mencapai titik puncaknya. Setelah itu mulai turun. Ini alamiah. Kita mengenal fenomena tersebut dengan istilah Kurva Sigmoid, sebuah kurva yang bentuknya menyerupai huruf S tertidur.

Meski itu gejala alamiah, kita perlu hati-hati. Jika tidak dikelola dengan cermat, penurunan tadi bisa berlanjut dan membawa perusahaan ke titik nadir. Ini berbahaya. Jika sampai ke titik nadir, kerap kali sulit bagi perusahaan untuk bangkit lagi. Maka penting bagi perusahaan untuk mengelola perubahan semacam ini. Bergerak jauh sebelum ia turun dan mengalami kesulitan.

Kata Charles Handy, “The secret of constant growth is to start a new Sigmoid Curve before the first one moves to decline.” Dalam buku Change, saya mengategorikan siklus perubahan tersebut dalam tiga kelompok strategi, yakni transformasi, turn around, dan manajemen krisis. Baiklah saya uraikan sekilas satu per satu.

Di sini yang saya maksud transformasi adalah lompatan kurva yang dilakukan ketika perusahaan sedang sukses, kinerjanya masih dalam kondisi prima. Perubahan yang dilakukan pada saat tersebut adalah perubahan antisipatif. Artinya perubahan dilakukan sebelum terjadi sesuatu—munculnya pesaing baru, perubahan lingkungan bisnis, dan sebagainya—yang menuntut kita untuk berubah.

Sementara itu turn around adalah lompatan kurva yang kita lakukan ketika kondisi mulai turun. Perubahan yang kita lakukan ini merupakan perubahan yang bersifat reaktif. Kita melakukannya setelah terjadi suatu perubahan yang menuntut kita berubah. Adapun manajemen krisis adalah lompatan kurva yang kita lakukan setelah kondisi perusahaan sudah sangat kritis. Penurunan sudah terjadi dan perusahaan berada di titik nadir.

Lompatan Bersejarah 

Beranjak dari tiga kelompok perubahan tadi, saya mengajak Anda menimba pengalaman dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI). Untuk itu sekilas saya mengajak Anda ke Guyana Prancis. Di sana pekan mendatang akan terjadi lompatan penting dalam sejarah BRI. Bahkan lebih dari itu, menurut saya, peristiwa tersebut akan menjadi lompatan penting dalam sejarah industri perbankan Indonesia.

Pada pekan itu satelit milik BRI atau BRIsat akan diluncurkan ke orbitnya oleh perusahaan asal Prancis, Arianespace, dari pusat peluncurannya di Guyana. Setelah itu, sekitar tiga bulan kemudian, BRIsat mulai beroperasi. Mengapa ini menjadi lompatan penting dalam sejarah industri perbankan Indonesia?

Untuk Anda ketahui, bank-bank ternama di dunia seperti JPMorgan-Chase, Wells Fargo atau Citigroup (ketiganya dari Amerika Serikat) pun tidak memiliki satelit sendiri. Begitu pula dengan Industrial & Commercial Bank of China (ICBC), China Construction Bank atau Agricultural Bank of China (ketiga bank terkemuka dari Tiongkok), atau DBS Bank asal negeri jiran Singapura. Jadi BRI adalah satu-satunya bank di dunia, juga yang pertama, memiliki satelit sendiri.

Bahkan kelak mereka akan mengoperasikan sendiri satelit tersebut. (BRI sudah mengirimkan sejumlah teknisinya untuk menjalani pelatihan di Space Systems/Loral di Palo Alto, California, AS, perusahaan yang membuat satelit tersebut.) Bukankah ini lompatan penting dalam sejarah perbankan nasional?

Lalu, apa kaitan BRIsat dengan tiga strategi perubahan tadi? Saya ajak Anda untuk melihat kinerja BRI di 2015. Pendapatan dari suku bunga meningkat 13,5% dari Rp72,46 triliun menjadi Rp82,22 triliun. Lalu pertumbuhan kreditnya juga naik 13,8%—meski ini membuat rasio nonperforming loan (NPL) kotor naik tipis dari 1,69% menjadi 2%. Begitulah bisnis. Kian ekspansif, risiko juga meningkat.

Data lainnya, laba bersih BRI juga bergerak naik. Kalau tahun 2014 masih Rp24,17 triliun, pada 2015 menjadi Rp25,2 triliun. Jadi, naik lebih dari 4%. Ini menunjukkan kinerja BRI tidak flat, tetapi melandai. Dengan kinerja semacam ini, selagi masih berada di puncak, saya kira sudah sewajarnya kalau untuk membangun Kurva Sigmoid kedua, seperti kata Charles Handy tadi, BRI perlu melakukan transformasi.

Bukan melakukan turn around, apalagi menerapkan manajemen krisis. BRI jauh dari krisis. Peluncuran BRIsat, menurut saya, adalah salah satu lompatan penting dalam penciptaan Kurva Sigmoid yang kedua tadi. Melalui lompatan yang berbasis teknologi ini, saya mencatat BRI menyelesaikan beberapa masalah sekaligus. Persis seperti ungkapan “sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui”.

Apa saja? Pertama, Anda tahu, cabang-cabang BRI tersebar di mana-mana, tetapi kebanyakan di desa-desa, kecamatan atau kabupaten. Sebagian bahkan berlokasi di daerah-daerah terpencil. Sebab di sanalah nasabah BRI berada. Selama ini dengan teknologi komunikasi yang ada, yang berbasis GSM atau CDMA, BRI sulit untuk melayani nasabah- nasabah tersebut.

Maka harus ada terobosan dari sisi teknologi. Hadirnya teknologi satelit menerobos kendala tersebut. Ini sekaligus juga meningkatkan inklusi perbankan kita. Kedua, ini soal antisipasi ke depan. Kita mungkin bisa membaca hal ini dari tingkat penetrasi di industri telekomunikasi yang sudah mencapai 120%.

Artinya setiap orang di Indonesia sekarang ini punya lebih dari satu nomor ponsel. Kondisi semacam inilah yang membuat profil nasabah perbankan masa depan bakal berubah total. Ke depan, akan semakin banyak nasabah membutuhkan layanan perbankan yang berbasis ICT (information and communication technology).

Masyarakat Bebek 

Di negara-negara maju, ini sudah terjadi. Di sana hampir 60% nasabah bertransaksi dengan perangkat mobile-nya. Mereka bisa bertransaksi 20-30 kali per bulan. Sangat aktif. Berapa banyak di antara mereka yang masih pergi ke bank? Hanya tinggal 3%. Itu pun mereka hanya bertransaksi 1-2 kali per tahun.

Ingat, per tahun, bukan per bulan. Akankah fenomena serupa terjadi Indonesia? Iya dan menurut saya segera terjadi. Perubahan profil nasabah seperti inilah yang harus diantisipasi BRI. Betul, saat ini profil nasabah perbankan kita masih terbelah dua, yakni digital immigrant dan digital native. Anak-anak kita adalah digital native. Mereka sejak kecil sudah akrab dengan produk-produk berbasis ICT.

Sementara para orang tuanya adalah digital immigrant. Anak-anak menjuluki mereka dengan istilah generasi gaptek alias gagap teknologi. Mengurus masalah ini adalah tantangan bagi BRI. Digital native adalah profil nasabah masa depan, sementara digital immigrant adalah nasabah masa kini. Mereka inilah yang harus diajak menatap ke masa depan. Sulitkah? Rasanya tidak juga.

Masyarakat kita itu kadang seperti itik atau bebek. Mulanya mereka kadang tidak percaya bahwa dirinya bisa berenang. Tapi kalau kita sedikit memaksa dengan mendorong mereka masuk ke kolam, nyatanya mereka bisa juga berenang. Itulah, saya kira, yang perlu dilakukan BRI kalau mereka mau kinerja BRIsat optimal.

Dan memang harus dioptimalkan karena investasinya tidak murah. Tapi penghematan yang dicatat dan inovasi yang dihasilkan saya lihat akan sangat berarti bagi perbankan Indonesia. Nanti, sekembalinya dari Guyana, saya ingin bercerita lebih banyak lagi soal BRIsat ini.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

 

Sebarkan!!

1 thought on “Satelit BRI di Kurva Kedua – Koran Sindo”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *