Saya masih suka naik taksi konvensional walaupun staf-staf saya sering memanggil taksi online dan sesekali saya ikut juga. Keduanya saya perlakukan dengan adil karena keduanya bekerja baik dan ramah.
Kesempatan itu kadang saya gunakan untuk berbincang dengan pengemudinya. Salah satu pertanyaan saya adalah soal pendapatan. Kebanyakan pengemudi taksi konvensional memang tengah mengeluh, penghasilan jauh berkurang, bahkan bisa separuhnya. Namun, dari seorang pengemudi, saya mendapat cerita menarik.
Katanya, perusahaan taksinya sedang menyiapkan strategi untuk menghadapi taksi online. Strategi ini sebagai antisipasi jika Kementerian Perhubungan mengeluarkan aturan yang kurang kondusif bagi bisnis taksi konvensional. “Ini strategi perang,” katanya. Saya jadi makin kepo. Untungnya si pengemudi terus saja bercerita. Katanya begini. Perusahaan bakal mengganti mobil-mobilnya ke minibus.
Jumlahnya ribuan. Lalu, tarif taksi diturunkan, akan lebih murah dari taksi online. Misalnya jika sekali buka pintu tarif online adalah Rp3.000, di perusahaan taksi ini hanya Rp2.000. Kemudian, tarif per kilometernya juga dibuat lebih murah. Jika tarif taksi online Rp3.000, mungkin perusahaan taksi konvensional ini bisa Rp2.000. Wah, ini betul-betul perang, gumam saya dalam hati.
Tetapi sebagai ilmuwan saya perlu mengingatkan, jangan perangi harga kalau belum mampu perangi biaya. Lawan-lawanmu itu bukan tengah bermain, melainkan mereka hidup dengan business model baru yang totally different. Ini era disruption, kelanjutan dari Cracking Zone yang sudah lebih dulu terjadi dalam industri jasa telco.
Perang harga, kalau tak diikuti perampingan cara dan biaya, hanya akan menggerus EBIT. EBITDA bisa sama, tapi EBIT-nya akan berkata lain. Maka inovasi yang harusnya dipilih bukan pada marketing side , melainkan pada business model.
Ruang yang Menyempit
Tapi, apakah Anda tahu regulasi yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan soal taksi online ini? Regulasi itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek.
Aturan ini di-posting di website Kementerian Perhubungan. Saya kutipkan beberapa. Pertama, perusahaan aplikasi tak boleh mengatur tarif, merekrut pengemudi dan menentukan penghasilan pengemudi. Siapa yang mengatur? Belum jelas. Mungkin pemerintah atau Organda.
Kedua, perusahaan aplikasi juga mesti mengurus izin perusahaan, minimal mesti memiliki lima kendaraan, memiliki pool dan bengkel. Selain itu, kendaraannya juga mesti lulus uji, termasuk uji kir—yang publik tahu di situ masih banyak biaya tak resminya. Jika tidak, bagaimana mungkin Metromini atau angkot yang bobrok bisa lulus uji kir?
Masih ada beberapa aturan lainnya, tetapi kurang lebih kita tentu bisa menerka isinya, yakni masih inefisien dan bisa diperbaiki agar berpihak pada kepentingan konsumen. Bukan pada salah satu pihak dan akhirnya mahal lagi. Masalah transportasi publik ini memang tengah menjadi perhatian dunia, termasuk PBB dan Bank Dunia.
Maklum saja, bisnis taksi, entah mengapa selalu dijadikan bisnis yang highly regulated. Wilayahnya dibatasi, ganti kota ganti izin dan nama perusahaan, banyak kewajiban dan detail teknisnya, tarifnya dikontrol, aturan usahanya banyak, mahal dan berbelit-belit. Selain izin, harus ada rekomendasi dan sebagainya. Banyak orang bingung mengapa transformasi industrinya tak semulus bidang retail, perbankan atau jasa perhotelan yang kini sama-sama terancam disruption.
Memang beberapa studi menemukan, di banyak kota besar industri ini menjadi tempat money laundering. Konon, banyak pejabat buat aturan yang rumit untuk melindungi ribuan kendaraan miliknya yang dititipkan pada perusahaan taksi atas nama keluarga atau kenalannya. Itu terjadi di luar negeri, mudahmudahan tidak di sini.
Tetapi kalau tidak, harusnya regulator bisa lebih bijaksana dan berpihak pada kepentingan umum dan turut menyelamatkan para incumbent dengan mendorong agar mereka mentransformasi diri, bukan membiarkan hidup dalam ekonomi biaya tinggi. Sekarang ini eranya akses, kolaborasi dan sharing economy yang berbasis teknologi. Maka jangan buat ruang transformasi itu menyempit.
Apa saja yang menyempit? Banyak sekali. Misalnya, ruang untuk melakukan inovasi. Anda setuju bukan penggerak utama dari bisnis taksi online adalah inovasi, terutama business model yang berbasis teknologi informasi. Kali ini inovasi itu dikalahkan oleh regulasi yang cenderung mempertahankan status quo.
Ruang lain yang menyempit adalah pemberdayaan aset-aset idle. Anda tahu banyak mobil pribadi yang per hari mungkin hanya dipakai selama 2-4 jam. Selebihnya menganggur. Padahal, di luar sana banyak calon penumpang yang membutuhkan angkutan, terutama yang tarifnya kompetitif—kalau tidak mau disebut murah.
Juga, kita masih memiliki jutaan pengangguran. Sebagian dari mereka memiliki SIM. Kalau jumlah mobil yang menjadi taksi online berkurang, pengangguran yang terserap juga menurun. Dan, masih banyak lagi. Saran saya, para regulator ini agar lebih banyak bicara dengan anak-anaknya. Tanyakanlah apa yang terjadi dalam kehidupan mereka sekarang ini. Dunia online tiga tahun lalu itu sudah jauh berbeda. Bicaralah juga dengan kaum muda dan serap kemajuan yang terjadi. Mari kita sama-sama introspeksi.
Modus Operandi
Kekhawatiran saya berikutnya adalah keberhasilan incumbent berlindung pada regulasi akan menjadi modus operandi bagi bisnis-bisnis lainnya yang terancam oleh bisnis berbasis aplikasi online. Potensinya ada. Misalnya, hotel-hotel kita akan berteriak minta perlindungan kalau pasarnya tergerus oleh aplikasi ala Airbnb atau Onefinestay. Travel agent akan berteriak melawan Traveloka.
Perbankan mungkin bisa meminta aplikasi ala Lending Club ditutup karena mengancam bisnis pinjaman. Alasannya sederhana saja, setiap perusahaan yang mengumpulkan dana masyarakat mesti memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan dan diawasi oleh Bank Indonesia. Sementara, bisnis ala Lending Club mungkin tak memiliki izin itu karena mereka tak mengumpulkan dana masyarakat.
Mereka hanya mempertemukan pebisnis yang membutuhkan dana dengan investor. Kemudian, perusahaan pergudangan bisa meminta aplikasi ala Flexe ditutup karena mengancam bisnis mereka. Flexe adalah pasar maya bagi para pemilik gudang yang ingin menyewakan ruang kosong sebagai gudang dengan masa sewa bulanan.
Bisa juga perusahaan jasa parkir meminta pemerintah untuk melarang aplikasi Citifyd. Aplikasi ini mempertemukan lahan kosong untuk disewakan sebagai tempat parkir. Anda tahu, di saat-saat tertentu mencari tempat parkir bisa menghabiskan waktu puluhan menit. Melelahkan.
Para penerbit juga bisa ramairamai meminta agar aplikasi Scribd ditutup. Mulanya Scribd hanya menyediakan layanan berbagi dokumen secara online. Layanan ini sangat populer bagi kalangan akademisi, pekerja kantoran dan mahasiswa. Namun, perusahaan startup ini melakukan inovasi langganan e-book dan audio book dengan bisnis model sharing economy.
Kini ada lebih dari setengah juta e-book dan audio book di pusat data Scribd. Lalu, perusahaan periklanan luar ruang akan komplain dengan kehadiran Wrapify. Untuk Anda ketahui, Wrapify adalah perusahaan aplikasi yang mempertemukan pengiklan dengan pemilik kendaraan yang mobilnya boleh ditempeli iklan.
Begitulah, semua bisa minta perlindungan dengan beragam alasan. Soal ini bangsa kita sangat pintar. Celakanya, modus operan disemacam ini tidak akan membuat bisnis-bisnis menjadi semakin efisien. Padahal, ketika berselancar di dunia baru ini, ibaratnya kita tengah hidup di ambang batas kekacauan (edge of chaos) dengan ciri 3S: speed, surprises, dan sudden shift.
Era semacam ini menuntut sosok perusahaan yang ramping, berotot, dan bergerak dengan gesit. Demikian pula regulatornya, harus smart and agile. Bangsa ini harus berdamai dengan perubahan. Apa yang Anda buat di masa lalu bisa saja sangat bagus kala itu, lalu tiba-tiba menjadi usang dan kita tak boleh cengeng dan cepat-cepat mengklaim hanya kitalah perubahan itu. Kata kuncinya adalah bijaksana dan open mind.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
SERINGKALI KITA BERUBAH; KARENA ADA PENETRASI DARI LUAR.KITA SANGAT SULIT BERUBAH JIKA TIDAK ADA MOTIV.