Bagi mereka yang berseteru soal Blok Masela, menunggu keputusan Presiden Joko Widodo mungkin ibarat hitung tokek: darat, laut, darat, laut….darat. Akhirnya, Rabu (23/3) pekan lalu Presiden Jokowi memang secara resmi mengumumkan bahwa pembangunan kilang gas untuk Blok Masela dilakukan di darat (onshore).
Jokowi mengumumkannya di ruang tunggu keberangkatan Bandara Supadio, Pontianak. Seperti biasa, keputusan seperti ini tentu membuat senang satu pihak, tapi sekaligus mengecewakan pihak yang lain. Menguntungkan pihak sana, merugikan pihak sini. Namun, saya tak ingin kita terlalu larut dalam debat dikotomis mana yang lebih menguntungkan: dibangun di darat atau di laut.
Pilihan itu pun saya yakin bukan zero sum game. Maksudnya, kita akan rugi jika memilih yang satu, dan tidak memilih yang lainnya. Ekonomi dan bisnis bukan ilmu pasti—meski kita bisa membuat hitung- hitungannya. Maka saya mengajak Anda melihat Blok Masela dari perspektif yang lain, yakni perspektif perubahan. Tapi sebelum masuk ke sana, saya ingin mengajak Anda untuk melihat posisi Blok Masela dalam peta cadangan energi kita.
Menurut data statistik BP, cadangan terbukti (proven reserves atau P1) gas di Indonesia sampai akhir 2014 mencapai 101,5 triliun kaki kubik (trillion cubic feet, TCF). Sementara volume produksi gas kita 7,1 miliar kaki kubik (billion cubic feet, BCF) per hari, atau setahunnya setara dengan 2,6 TCF. Artinya dengan volume produksi sebanyak itu, usia cadangan gas kita akan bertahan hingga 39 tahun ke depan.
Ini dengan asumsi tidak ada penambahan cadangan gas yang baru. Kenyataannya tidak begitu. Sesuai dengan Plan of Development (PoD) yang dibuat Inpex dan Shell, dua kontraktor kerja sama migas di sana, Blok Masela mempunyai cadangan gas sebesar 10,73 TCF. Itu artinya dengan tingkat produksi gas seperti sekarang, Blok Masela bakal memperpanjang usia cadangan gas kita hingga empat tahun ke depan. Jadi, cadangan gas kita akan bertahan hingga 43 tahun ke depan.
Gas, Kita dan Qatar
Persoalan terbesar Maluku adalah provinsi itu memiliki 25 blok migas, termasuk Blok Masela. Ada 15 blok migas di sana yang sudah dimiliki investor, dan sepuluh lainnya masih dalam proses tender. Kenyataannya, blok-blok migas tersebut belum memberikan kontribusi yang nyata bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat Maluku.
Saya bisa katakan seperti ini karena saya bolak-balik ke Maluku, mengunjungi Ambon dan pulau-pulau sekitar, termasuk Pulau Buru, dalam menangani social project kami di daerah pedalaman yang sunyi dan miskin infrastruktur. Kadang kami terdampar di laut, menunggu badai berlalu hanya untuk menyeberang dengan aman.
Di banyak tempat tak ada listrik selain nyamuk malaria. Tapi baiklah, kita lihat data ini. Pada 15 tahun silam, Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan sensus. Saat itu Maluku menempati peringkat ke-3 provinsi termiskin se-Indonesia. Dua di atasnya adalah Papua Barat (ke-1) dan Papua. Januari 2015, BPS mengumumkan kembali hasil sensus terbarunya. Hasilnya, Maluku ternyata masih menempati peringkat ke-4 termiskin se- Indonesia.
Di atasnya masih ada Papua Barat, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Jadi setelah 15 tahun berlalu, nyaris tak ada perubahan yang signifikan di Maluku. Kondisi inilah yang, menurut saya, membuat perdebatan pembangunan kilang gas Blok Masela di darat atau di laut menjadi terkesan heroik. Panas dan sekaligus populis.
Maka tak heran kalau perdebatan ini sampai melibatkan dua menteri dalam Kabinet Jokowi-JK. Anda tahu, bukan keduanya! Bahkan saking heroiknya, ada menteri yang seakan-akan memastikan bahwa kalau kilang gas Blok Masela dibangun di darat, negara kita akan kaya raya, bahkan kita bisa mengalahkan Qatar. Padahal, potensi yang kita miliki dengan Qatar sangat jauh. Lihat saja angkanya. Cadangan minyak Qatar sampai akhir 2014 mencapai 25,7 miliar barel, sementara kita hanya 3,7 miliar barel.
Lalu, cadangan gas Qatar superjumbo, mencapai 866,2 TCF. Bandingkan dengan kita yang tadi hanya 101,5 TCF. Jauh, bukan! Itu pun di satu lokasi yang mudah dijangkau. Data peringkat negara terkaya berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) yang dibuat oleh Global Finance untuk tahun 2015, juga masih menempatkan Qatar sebagai negara terkaya di dunia.
Qatar menempati peringkat ke-1 dengan angka USD146.011,85. Kita jauh di peringkat ke-103 dengan angka USD10.759,8. Sejujurnya, saya juga tidak mau negara kita seperti Qatar. Sebagai sebuah negara, Qatar mungkin kaya raya, tapi rakyatnya tak sekaya penguasanya. Kekayaan di sana hanya dinikmati oleh segelintir elite. Semoga saja tidak demikian di Maluku.
Jejak Kaltim
Maka ketimbang menggantung mimpi Indonesia, dan terutama Maluku, bakal menjadi sekaya Qatar berkat Blok Masela, lebih baik kita bicara bagaimana menggunakan cadangan gas tersebut sebagai modal untuk melakukan transformasi masyarakat dan pembangunan.
Utamanya di Provinsi Maluku. Seperti apa caranya? Bicara soal ini, saya jadi teringat dengan pengalaman sahabat saya di Kalimantan Timur (Kaltim), Awang Faroek, ketika melakukan transformasi pembangunan di provinsinya. Ketika terpilih menjadi gubernur, Awang Faroek kaget mendapati cadangansumberdaya mineraldi daerah yang dipimpinnya betulbetul terkuras.
Nyaris habis. Lalu, ia mendapati bahwa meski memiliki kekayaan alam yang berlimpah di mana-mana, rakyat Kaltim ternyata tidak sejahtera. Berbagai literatur menyebut kondisi ini dengan istilah natural resources curse atau kutukan sumber daya alam (SDA). Kondisi ini tentu akan membahayakan kelangsungan pembangunan di Kaltim. Maka itu, Awang Faroek pun memutuskan untuk melakukan transformasi.
Ia mengubah haluan pembangunan Kaltim dari yang berbasis SDA yang tak dapat diperbarui (non-renewable resources) menjadi mengandalkan SDA yang dapat diperbarui (renewable resources) dan sumber daya manusia. Untuk mengimbangi strategi ini, Awang Faroek menggagas sejumlah langkah, di antaranya gerakan penyelamatan SDA. Jadi, pemakaian SDA yang tersisa dihemat sedemikian rupa.
Bukan malah dieksploitasi habis-habisan. Lalu, Kaltim juga mendorong pembangunan agroindustri secara besar-besaran. Sejumlah kawasan industri disiapkan untuk itu. Di kawasan-kawasan tersebut, bahan-bahan mentah diolah menjadi barang setengah jadi dan bahkan barang jadi. Ada juga langkah lompatan.
Kaltim, misalnya, memilih membangun pembangkit listrik tenaga nuklir, ketimbang membangun pembangkit listrik tenaga batubara atau berbasis bahan baku mineral lainnya. Itulah pengalaman di Kaltim. Harap Anda maklum, perjuangan itu butuh waktu yang panjang, lebih dari tujuh tahun. Jadi harap bersabar, apalagi kalau tak punya pemimpin berkaliber tinggi.
Maluku, dalam beberapa aspek, memiliki kesamaan dengan Kaltim. Misalnya, industri pertanian dan perikanan tumbuh subur di sana. Maka sebelum melangkah terlalu jauh, ada baiknya Maluku meniru jejak Kaltim. Percayalah, SDA tidak akan membuat masyarakat Maluku sejahtera. Hanya elitenya yang makmur. Namun, saya ingatkan, meniru jejak Kaltim tidak mudah. Banyak tentangan di sana-sini, sebab banyak orang yang lebih suka dengan cara mudah ketimbang berpayah-payah.
Tantangan internal dan eksternalnya cukup besar. Banyak orang yang lebih suka berpikir jangka pendek ketimbang jangka panjang, dan terlalu banyak kepentingan yang tersembunyi di dalamnya. Hanya, meski susah, itu bisa dilakukan. Soalnya, mau atau tidak!
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan