Pelabuhan – Koran Sindo

Kita harusnya senang ketika mendengar rencana Menteri Perhubungan Ignasius Jonan membenahi pelabuhan-pelabuhan di Indonesia.

Ini jelas pekerjaan raksasa. Bayangkan, ada 1.241 pelabuhan di bawah naungan Kementerian Perhubungan. Memang tak semua pelabuhan tersebut bakal dibenahi pada 2016. Ini karena anggarannya sangat terbatas, hanya Rp24 triliun. Anggaran itu pun masih dibagi lagi untuk pembenahan perkeretaapian, bandara, dan sebagainya. Selain itu, prioritas pembenahan juga bakal dilakukan untuk pelabuhan-pelabuhan di daerah tertinggal, terutama di kawasan Indonesia timur. Ini sejalan dengan arahan atau misi pemerintahan Jokowi-JK yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran.

Bicara soal pelabuhan, sesungguhnya kita masih sangat tertinggal. Bukan saja fasilitas fisiknya, tetapi juga jumlahnya. Saat ini jarak antarpelabuhan di negara kita masih 3.000-3.500 kilometer. Sebagai perbandingan, di Jepang jarak antarpelabuhan sudah 15 kilometer atau di Thailand jaraknya 50 kilometer.

Kalau memakai Thailand sebagai rujukan, dengan panjang garis pantai kita yang 100.000 kilometer, mestinya kita memiliki 2.000-an pelabuhan. Jadi, kita masih sangat kekurangan pelabuhan. Tapi, biarlah itu menjadi pekerjaan rumah kita bersama.

Bukan Hanya Dwelling Time 

Membahas rencana Menteri Jonan membenahi pelabuhan, mungkin yang terbayang di benak kita keberhasilannya menata beberapa bandara di kawasan Indonesia timur. Misalnya, Bandara Wamena di Papua, Bandara Wakatobi di Sulawesi Tenggara, dan Bandara Kalimarau di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Tiga bandara tersebut kini menjadi lebih luas, lebih nyaman, dan tampak lebih modern.

Landasannya lebih panjang dan toiletnya juga bersih. Kata Menteri Jonan, tak kalah dengan toilet Istana Presiden di Jakarta. Sejalan rencana Menteri Jonan untuk membenahi pelabuhan- pelabuhan di Indonesia, saya ingin memberikan beberapa catatan dan masukan. Pertama, pembenahan kapasitas pelabuhan dan penampilan fisiknya memang penting. Beberapa pelabuhan kita memang tampak kusam, tak terawat, dan berantakan.

Kita tak perlu pergi jauh-jauh untuk melihat itu. Datanglah ke Pelabuhan Muara Angke di Jakarta Utara, yang menjadi titik pemberangkatan bagi para wisatawan yang ingin berkunjung ke Kepulauan Seribu. Alamaaak, betapa becek, kotor, bau, dan sangat berantakan. Hujan sedikit saja, atau jika laut sedang pasang, air menghitam dan berbau tergenang di mana-mana. Jadi, pembenahan fasilitas fisik dan kapasitas pelabuhan memang tak bisa ditawar lagi. Itu harus.

Belum lagi kalau kita ke dermaga pelabuhan ikan air tawar di Waduk Janggari di Cianjur. Itu pusat produksi ikan mas, tetapi menjadi satu dengan kubangan sampah yang amat berbahaya bagi keamanan pangan kita. Kedua, pembenahan kapasitas dan fasilitas fisik itu adalah hardware-nya. Pembenahan seperti ini biasanya lebih mudah. Tapi, persoalan terbesar pelabuhan kita adalah software-nya. Di sini yang saya maksud software adalah regulasi, perilaku, dan budaya kerja SDM serta stakeholders-nya.

Saya kira soal ini kita tahu persis. Kita merasa sudah berhasil kala sebuah bangunan terbangun. Tetapi, setelah itu kita sama sekali mengabaikan perawatannya. Manusianya bahkan tak kita rawat. Toilet kering, tapi dikelola manusia yang biasa merawat toilet basah. Belum lagi ketelitian dalam perawatan. Itu yang menyangkut perilaku dan budaya kerja SDM serta stakeholders-nya. Banyak yang masih perlu dibenahi. Ini akan menjadi PR berat bagi kita semua. Andaikan sebagai pengunjung kita mau peduli, kita bisa ikut berpartisipasi dalam mendidik SDM yang bukan apaapanya kita.

Hanya karena peduli, kita bisa berbuat sesuatu. Tapi, kalau bicara pelabuhan di negara kita, masalah terbesar adalah regulasi yang tumpang tindih. Bicara regulasi, mungkin perhatian Anda langsung terpusat kepada isu dwelling time. Kalau iya, itu artinya Anda masih memandang masalah pelabuhan di Indonesia hanya dari sudut pandang Jakarta. Belum dari sudut pandang Indonesia. Nah, sekarang saya ajak Anda untuk melihat masalah pelabuhan dari sudut pandang Indonesia. Langsung dengan contohnya.

Tumpang Tindih 

Banyak pemerintah daerah yang menganggap pelabuhan sebagai sumber penerimaan. Contohnya Pelabuhan Dumai yang menjadi tempat mengekspor minyak mentah dan CPO. Benar banyak devisa yang masuk ke pemerintah pusat dari pelabuhan ini. Tapi, begitu melihat uangnya, Pemerintah Kota Dumai, saya dengar, menginginkan penerimaan tadi masuk ke kas daerah. Di Cilegon juga begitu.

Pemerintah kotanya mengeluarkan peraturan daerah tentang pengelolaan pelabuhan. Intinya, mereka ingin pengelolaan pelabuhan berada di bawah kewenangan pemerintah kota, bukan Kementerian Perhubungan. Sengketa soal ini bahkan masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah kota dan pemerintah kabupaten, yang tergabung dalam asosiasi, melakukan judicial review atas aturan pemerintah pusat. MK mengabulkan judicial review tersebut.

Maka, jadilah kewenangan pengelolaan pelabuhan pindah ke daerah dan tak jarang tumpang tindih dengan aturan-aturan lainnya yang berlaku standar secara global. Apakah mereka tahu konsekuensinya? Saya ragu. Sejak Tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS), pengelolaan pelabuhan dan kapal-kapal yang melayani pelayaran internasional mesti tunduk pada regulasi International Maritime Organization (IMO), sebuah badan yang berada di bawah naungan badan dunia PBB. Lalu, ada lagi aturan dari International Ship & Port Facilities Security (ISPFS) yang juga harus dipenuhi.

Intinya, semua aturan itu untuk menjamin safety dan security baik untuk barang, manusia, maupun kapal-kapalnya. Akibat kelalaian kita dalam menerapkan aturan tersebut, setibanya di AS, kapal-kapal yang berasal dari lima pelabuhan di Indonesia harus melewati prosedur keamanan tambahan. Jadi, mereka tak boleh langsung bersandar. Belum banyak pelabuhan kita yang comply dengan aturan dari IMO dan ISPFS. Inilah PR yang mesti dibenahi Kementerian Perhubungan. Ada juga masalah yang terkait UU Pelayaran. UU ini mengatur bahwa keselamatan pelabuhan menjadi tanggung jawab Otoritas Pelabuhan dan Syahbandar. Bagaimana bisa?

Dalam buku-buku manajemen mana pun, tanggung jawab harus berada di satu tangan. Jika lebih, menjadi tak jelas siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab. Padahal, isu safety dalam pelayaran masih menjadi masalah serius di negara kita. Anda membaca bukan berita tenggelamnya KM Marina di Perairan Siwa, Sulawesi Selatan. Penyebabnya, kapal itu bocor. Mestinya sebelum kapal itu meninggalkan pelabuhan, syahbandar dan otoritas pelabuhan mengecek dulu kondisinya. Jika kapal dinilai tak layak berlayar, ya jangan dibiarkan meninggalkan pelabuhan.

Kenyataannya tidak demikian. Itulah akibat tumpang tindihnya kewenangan. Jadi, selagi Menteri Jonan berencana membenahi kapasitas dan fasilitas fisik pelabuhan- pelabuhan di Indonesia, kita juga harus membenahi SDM dan regulasinya. Jangan sampai muncul kesan mobilnya Mercy, tapi pengemudinya masih Metromini.

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *