Di akhir tahun ini saya ingin mengajak Anda merefleksikan perubahan besar yang dampaknya ke mana-mana, yaitu: mengapa harga minyak mentah di pasar dunia bisa turun begitu cepat?
Pada Oktober 2014, harganya masih berada dikisaran USD90 per barel. Tapi lima bulan kemudian, persisnya Maret 2015— merujuk data www.marketwatch. com minyak mentah sudah dijual pada kisaran harga USD48/barel. Bahkan memasuki libur Natal 2015, harga minyak mentah turun lagi menjadi tinggal USD37,91/barel. Apa penyebabnya? Saya ajak Anda untuk melihatnya dari sisi pasokan. Banyak pandangan tertuju ke Amerika Serikat (AS).
Penemuan teknologi fracking membuat negara adikuasa itu mampu menggenjot produksi minyaknya secara signifikan. Menurut Energy Information Administration (EIA), sampai akhir 2014, produksi minyak AS sudah mencapai 13,9 juta barel per hari (bph). Ini capaian yang luar biasa. Sebab pada tahun itu, produksi minyak Arab Saudi masih berkisar 11,6 juta bph. Jadi, dari sisi produksi AS sudah mengalahkan Arab Saudi. Maka, tak aneh kalau Negeri Pam Sam itu kemudian mendapat julukan Saudi America.
Meningkatnya produksi minyak AS membuat dunia seakan kebanjiran emas hitam. Apalagi pasokan minyak juga mengalir dari mana-mana. Di antaranya dari Libya. Setelah jatuhnya Muammar Gaddafi, kalangan perminyakan menduga Libya butuh waktu panjang untuk kembali ke pasar. Nyatanya tidak.
Menurut www.oilprice.com, kalau semula kalangan perminyakan menduga produksi minyak mentah Libya hanya 150.000-250.000 bph, kenyataannya kini sudah 810.000 bph. Bahkan tahun 2016 angkanya bakal naik lagi menjadi 1,2 juta bph. Pasokan minyak juga datang pasar gelap. Di antaranya dari organisasi teroris dunia, Islamic State of Irak and Syria (ISIS).
Di Irak dan Suriah, ISIS menguasai 11 ladang minyak. Sebagai ilustrasi, volume produksi dua ladang minyak dan gas di Irak yang kini dikuasai ISIS mencapai 25.000 bph dan 40.000 bph. Itu belum termasuk dari ladang minyak ISIS di Suriah, yang volume produksinya jauh lebih besar. Sepanjang 2014, kalangan analis menduga nilai penjualan minyak ISIS di pasar gelap sudah mencapai USD500 juta.
Faktor berikutnya adalah dua negara utama OPEC, Arab Saudi dan Kuwait, tak bersedia memangkas produksinya. Ini mereka lakukan untuk menjaga penerimaan negaranya dan mempertahankan pangsa pasarnya, terutama di Asia. Jadi, dari sisi pasokan saat ini, dunia betul-betul kebanjiran minyak.
Bagaimana potretnya dari sisi permintaan? Sebaliknya, permintaannya malah melemah. Permintaan dari China dan India menurun. Selain itu sejumlah negara di Asia, seperti Indonesia dan Malaysia, juga memangkas subsidi BBM-nya. Padahal selama 2012, negara-negara itu paling banyak mengalokasikan anggaran untuk subsidi. Indonesia mengalokasikan 3% dari PDB-nya, Malaysia 2,3%, Thailand 2,6%, Vietnam 2,5%, dan India 2,3%. Pemangkasan subsidi membuat harga BBM di negara-negara itu naik sehingga permintaan akan minyak menurun.
Sejuta Barel
Kombinasi dua faktor itulah yang membuat harga minyak belakangan merosot terus. Bahkan harga saat ini belum lagi mencapai titik yang terendah. Persoalannya bagaimana kita di Indonesia menyikapi kondisi yang semacam ini? Saya sebetulnya agak bergidik ketika masih sering mendengar bahwa sampai hari ini kita masih menyimpan mimpi memproduksi minyak hingga 1 juta bph.
Mimpi ini sudah digadang-gadang sejak lama. Bahkan semasa negara ini masih dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat harga minyak begitu tinggi dan subsidi begitu besar dengan demand yang selalu naik. Mimpi itu memang tak pernah menjadi kenyataan. Maklum, sejak 2000, volume produksi minyak negara kita mulai bergerak turun dan terus berlanjut hingga kini.
Pada 2012, misalnya, volume produksi minyak kita hanya 762.000 bph. Lalu pada tahun-tahun berikutnya berfluktuasi. Sempat turun, lalu naik, dan turun lagi. Namun angkanya tak pernah mencapai 800.000 bph. Apalagi investasi besar-besaran tak banyak kita lakukan. Teknologi eksplorasi dan eksploitasinya pun begitu kita kembangkan. Setiap orang boleh bermimpi.
Hanya saja saya berharap semoga mimpi produksi minyak 1 juta bph tidak menjadi kenyataan pada hari-hari ini. Lebih baik kita cari energi alternatif yang lebih murah, efisien, dan ramah lingkungan. Mungkin kalau lima tahun lagi, bolehlah. Mengapa? Saat ini jelas harga minyak terus bergerak turun. Tapi, bukan hanya itu. Sejumlah analis menyebutkan bahwa dalam dua-tiga tahun ke depan harga minyak masih akan terus merosot hingga mencapai USD20/barel.
Proyeksi harga minyak mentah serendah itu tentu menjadi mimpi buruk bagi para pelaku industri perminyakan. Para kontraktor migas yang beroperasi di negara kita, misalnya, sudah kepayahan. Mereka kemudian memilih melepas saham yang dimilikinya ke pihak lain atau mencari mitra baru. Sampai November 2015 setidak- tidaknya sudah ada lima kontraktor yang melepaskan sahamnya.
Strategi Pertamina
Bagaimana dengan Pertamina? Bagaimana BUMN itu mesti mengambil sikap dalam kondisi seperti sekarang ini? Pertama , kita mesti memiliki pandangan yang sama bahwa kondisi sekarang ini memang merupakan masa-masa yang sulit bagi industri perminyakan. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga dunia.
Kedua , yang juga mesti diingat—ini prinsip dasar setiap pemimpin bisnis, baik pada tingkat individu maupun korporasi—bahwa di dalam setiap kesulitan selalu tersembunyi peluang. Semakin sulit masalahnya, semakin besar peluang yang tersembunyi di dalamnya. Kita hanya perlu menyingkap lebih keras agar peluang itu muncul ke permukaan.
Jadi, kalau dalam kondisi sekarang ini kinerja keuangan Pertamina mengalami sedikit gangguan, kita harus menerimanya secara wajar. Kenyataannya memang begitu. Misalnya, laba bersih Pertamina pada kuartal III/2015 hanya mencapai USD340 juta atau setara dengan Rp4,6 triliun. Ini berarti turun 42% bila dibandingkan dengan perolehan laba bersih kuartal yang sama tahun 2014.
Tapi tentu saja kita boleh menuntut Pertamina agar mengimbangi penurunan pendapatan dan laba bersihnya dengan upaya-upaya efisiensi. Saya yakin masih banyak pos biaya yang bisa dihemat. Masih banyak lemak yang harus dibuang dari dalam tubuh Pertamina. Inilah yang saya dengar terus digulirkan direksi Pertamina. Dan itulah jagonya Dwi Soetjipto yang dulu berhasil memajukan PT Semen Indonesia.
Saat ini biaya produksi migas Pertamina rata-rata sudah bisa diturunkan menjadi USD20/ barel. Artinya, dengan harga minyak saat ini, Pertamina sebetulnya masih mempunyai ruang untuk mengambil posisi yang baik. Kecuali jika harga minyak terus bergerak turun sampai di bawah USD20/barel, sebagaimana ramalan para analis tadi, Pertamina harus berjuang habis- habisan untuk bertahan hidup.
Itu sebabnya saya menganggap berbagai langkah efisiensi harus terus dilakukan Pertamina. Lalu, di mana peluangnya? Dengan turunnya harga minyak, biaya eksplorasi bakal ikut turun. Maka ini menjadi momentum bagi Pertamina untuk menyiapkan bisnis di sektor hulu masa depan dan mengembangkan energi alternatif. Pertamina mesti menemukan cadangan- cadangan migas baru baik di dalam maupun luar negeri untuk cadangan di masa depan.
Apalagi bangsa-bangsa besar sudah memasuki dunia energi baru yang wajahnya sama sekali berbeda dengan masa lalu. LPG saja sudah ada penggantinya, apalagi sumber-sumber yang renewable. Ini tentu bisa menjadi legacy bagi anak cucu. Kita bukan hanya generasi yang pandai menghabiskan, tapi juga bisa memperbarui cadangan. Eksplorasi dan inovasi berarti investasi.
Untuk itu Pertamina mesti menyiapkan dana yang cukup. Ini tentu dapat berimbas pada kinerja keuangan perusahaan. Misalnya bisa saja pendapatan atau laba bersih Pertamina menurun, bahkan merugi. Bagi orang bisnis sesungguhnya, untung rugi adalah hal biasa.
Tidak perlu terlalu dikhawatirkan kalau itu menjadi investasi. Kecemasan saya hanya satu, yakni ketika DPR mulai bertanya-tanya soalini. Maklum, kalausudahada kebutuhan dana politik, yang benar bisa menjadi salah dan sebaliknya.
Apalagi belakangan masyarakat pun dipolitisasi, profesi baru dihidupkan untuk mengecohkan kebenaran: cyber troops akun bodong. Anda tahu kan betapa repotnya berurusan dengan lembaga yang satu itu? Rumit!
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan