Saya kadang jengkel dengan penggunaan kata ”nakal” oleh media massa kita. Misalnya, pengusaha nakal, bankir nakal, aparat pajak nakal, hakim nakal, polisi nakal, jaksa nakal, politisi nakal, dan…ah artis nakal.
Padahal, menurut kamus bahasa Indonesia, kata nakal adalah perilaku dengan pelanggaran norma ringan. Nah, setujukah Anda? Kadang saya berpikir, katakata yang kita gunakan sangat memperhalus makna yang mau disampaikan. Seakan baik benar media massa kita dengan hanya menyebut mereka nakal. Saya setuju kalau predikat nakal diberikan kepada anakanak kita yang kerap kali membuat nangis anak tetangga, menyembunyikan tas temannya di sekolah, atau sesekali mencuri buah mangga dari kebun tetangga.
Anak-anak memang nature- nya begitu. Quentin Crisp, penulis asal Inggris, malah cemas kalau melihat anak-anak yang terlalu pendiam. Katanya, ”When children are doing nothing, they are doing mischief.” Kalau anak kita diam saja, itu artinya dia bisa dianggap melakukan kejahatan. Bahkan sebagian orang tua menganggap nakalnya anak-anak sebagai tanda kreativitas. Makin nakal, makin kreatif.
Dulu semasa masih anakanak, pengusaha jamu Jaya Suprana juga terkenal nakal. Di kelas, setelah selesai mengerjakan tugasnya, dia mengaku berkeliling untuk mengganggu teman- temannya. Itu sebabnya semasa kecil Jaya kerap kena hukum gurunya. Pendiri Apple, Steve Jobs, semasa kecil juga sangat nakal.
Pernah suatu kali dia bersama temannya, Rick Ferrentino, membuat pengumuman di sekolah: ”Bring your pet to school.” Pengumuman ini mereka desain sedemikian rupa sehingga seolah-olah dikeluarkan secara resmi oleh pihak sekolah. Esoknya sekolah pun geger. Semua siswa membawa hewan peliharaannya. Kekacauan pun terjadi di mana-mana. Anjing-anjing berlarian mengejar kucing. Itulah nakalnya anak-anak.
Kenakalan Orang Dewasa
Topik tentang kenakalan orang dewasa pernah ramai dibicarakan tahun 1980- an. Ituterjadi saat mahasiswa dongkol melihat perilaku para pejabat yang gemar memperkaya diri dan memiliki banyak ”simpenan”. Kalau sekarang, orang tua yang nakal ternyata jauh lebih pintar. Coba kalau kasus nakalnya seperti ini. Robert Tantular adalah pemilik tiga bank, yakni Bank Pikko, Bank CIC, dan Bank Danpac.
Oleh karena masalah permodalan, tiga bank tersebut kemudian dilebur menjadi Bank Century. Bersama Hesham al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi, Robert Tantular menguasai 70% saham Bank Century. Sejatinya Robert Tantular tidak lulus fit & proper untuk menjadi bankir. Kenyataannya ia tetap bisa mengendalikan banknya. Akibatnya dengan leluasa ia mengeruk dana milik nasabah untuk kepentingan sendiri.
Alhasil langkah merger tiga bank tersebut tetap tidak mampu menyelesaikan masalah Bank Century. Bank itu tetap menghadapi masalah likuiditas yang serius. Padahal mereka sudah mengeruk banyak dana masyarakat dengan iming-iming bunga tinggi. Orang-orang yang bernafsu mendapat keuntungan pun masuk perangkap.
Upaya menyelamatkan Bank Century, dengan memberikan dana talangan senilai Rp6,7 triliun, malah menjerat sejumlah petinggi Bank Indonesia (BI). Mereka dianggap menyalahgunakan wewenang dengan memberikan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) untuk bank tersebut. Budi Mulya, Pejabat BI, dihukum 17 tahun penjara dan denda Rp800 juta.
Nasabah juga dirugikan. Mereka tidak boleh menarik dananya sampai masalah Bank Century selesai. Skandal Bank Century juga memicu terjadinya geger di pentas politik. Upaya DPR membentuk Pansus Hak Angket Bank Century membuat masalahnya jadi melebar ke mana-mana. Anda tahu, politisi kita kerap kali meributkan banyak masalah yang tidak substansial bagi kemajuan bangsa, tetapi kerap menyedot energi dan perhatian kita.
Akhirnya kita semua menjadi lelah. Semua itu terjadi akibat ulah Robert Tantular, seorang bankir. Jadi, setujukah Anda kalau dia hanya disebut bankir nakal? Saya punya contoh lain ”kenakalan” orang dewasa. Masih dari lingkungan bisnis, beberapa bulan lalu negara kita dilanda kabut asap.
Celakanya asap itu tak hanya menyebar di negara kita, tetapi juga melebar ke beberapa negara tetangga. Malaysia dan Singapura mengeluh. Dari mana datangnya asap itu? Sebagian dari para pengusaha perkebunan sawit yang dengan seenaknya membuka lahan lewat cara membakar. Biayanya memang lebih murah ketimbang melakukan land clearing dengan cara-cara mekanis. Tapi, cobalah lihat dampaknya.
Berkhianat
Contoh ”kenakalan” yang dilakukan aparat pemerintahan juga tak kalah banyak. Pertengahan Desember lalu kita membaca berita tentang ditangkapnya tiga pegawai pajak di Provinsi DKI Jakarta oleh kepolisian. Ketiganya dituding melakukan korupsi, berkongkalikong dengan wajib pajak untuk mengurangi tunggakan pajak dari si wajib pajak. Ini jelas kasus kesekian meski kalah ngetop dengan kasus Gayus Tambunan.
Kalau googling, Anda bisa dengan mudah menemukan kasus-kasus serupa yang dilakukan oknum pegawai pajak. Di mana-mana, di seluruh Indonesia. Kasus korupsi yang dilakukan bupati, wali kota hingga gubernur, kita sampai bosan mendengarnya, tapi sekaligus heran. Sudah begitu banyak pejabat eksekutif daerah maupun pusat yang ditangkap KPK, tapi nyatanya masih saja ada yang berani melakukannya.
Mereka betul-betul bengal. Tapi apa jadinya kalau ada politisi atau artis yang nakal? Kalau artis yang nakal—seperti yang kemarin namanya ramai jadi pembicaraan—, mungkin itu hanya akan membuat malu pejabat yang namanya ada dalam daftar klien sang artis. Kalau politisi? Sebetulnya kita juga sudah bosan mendengar anggota DPRD atau DPR yang ditangkap KPK.
Meski begitu kita masih tetap menunggununggu, kapan ada satu anggota DPR lagi yang ditangkap polisi atau kejaksaan. Tentu tak semua politisi mempunyai akhlak buruk, tapi mohon maaf mereka selalu kalah oleh kejahatan yang dilakukan secara terorganisasi oleh kawan-kawannya. Anda masih ingat kan bagaimana mereka berkolusi menyingkirkan Sri Mulyani sebagai menteri keuangan? Lalu mungkin juga Anda ingat sewaktu Ari Soemarno memimpin konversi minyak tanah ke gas?
Baca kembalilah berita pada masa-masa itu, politisi yang namanya masih sama dengan yang Anda dengar kenakalannya pada hari ini adalah orang yang menghalangi program itu dan bahkan minta konsesi atau penambahan kuota minyak tanah di daerahnya? Untuk rakyat? Ternyata ada udang di balik batunya. Baiklah, Anda tahu bahwa semua kasus korupsi itu membuat rakyat kita menjadi semakin miskin dan telantar.
Dana yang semestinya dialokasikan untuk perbaikan layanan publik, membangun jalan, sekolah atau rumah sakit, mereka kantongi sendiri. Mereka bukan hanya memperkaya diri sendiri, tapi juga mengkhianati sumpah jabatannya. Anda ingat, dalam sumpahnya mereka berjanji untuk tidak memberikan atau menjanjikan suatu apa pun kepada siapa pun. Mereka juga berjanji untuk tidak menerima dari siapa pun suatu janji atau pemberian.
Sumpah itu mereka ucapkan di hadapan kita dan di hadapan Allah SWT. Jadi, apakah Anda setuju kalau pejabat seperti ini, yang mengkhianati sumpahnya, hanya kita sebut ”pejabat nakal”? Saya jelas tidak. Mereka adalah para pengkhianat! Mereka mengkhianati sumpahnya. Mereka mengkhianati kita yang memilihnya. Saya mendoakan orang-orang baik akan menang perang melawan kejahatan ini. Happy holiday.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan