Elang, Perubahan, dan DPR Kita – Koran Sindo

Alam, dengan caranya, sesungguhnya memberikan inspirasi yang berlimpah kepada kita. Contohnya bertebaran di mana-mana. Misalnya, banyak jurus dalam ilmu bela diri yang terinspirasi oleh gerak-gerik binatang saat mereka menyerang atau membela diri.

Itu sebabnya Anda pernah mendengar nama-nama seperti jurus harimau, monyet, ular atau jurus bangau. Beberapa negara juga menggunakan binatang sebagai simbol. Negara kita dan Thailand memakai burung garuda. Dua negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia, memakai simbol singa dan harimau. Kalau Jerman, sebagai negara maju, memakai simbol elang hitam.

Australia menjadikan kanguru dan burung emu sebagai simbol negaranya. Sejumlah perusahaan kita juga menjadikan binatang sebagai logonya. RCTI memakai simbol Rajawali. Atau produk-produk farmasi memakai simbol ular yang melilit di gelas anggur. Masih menggali inspirasi dari binatang, saya akan mengulas agak panjang tentang elang. Mengapa?

Proses yang Menyakitkan 

Apakah Anda tahu bahwa elang adalah unggas yang umurnya paling panjang di dunia, bisa mencapai 70 tahun. Usia ini hanya sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata harapan hidup penduduk Indonesia yang pada 2014 sudah mencapai 72 tahun. Cerita yang ingin saya sampaikan, usia sepanjang itu tidak diperoleh elang dengan cuma-cuma atau terjadi dengan sendirinya.

Mungkin Anda sudah pernah membacanya: ia harus melalui perjuangan yang berat. Bahkan harus melalui perjalanan perubahan yang sangat menyakitkan. Sejatinya ketika elang sudah mencapai usia 40 tahun, ia mulai menua. Ada ciri-ciri fisik yang menyertainya. Misalnya, paruhnya tumbuh memanjang dan membengkok. Panjang lengkungannya nyaris menyentuh dada.

Ini membuat paruh elang sulit digunakan untuk mematuk. Ciri-ciri lainnya, bulu sayapnya tumbuh semakin lebat dan kian tebal. Kondisi ini membuat elang sulit terbang. Bahkan tak bisa terbang. Apa jadinya jika burung tak bisa terbang? Mungkin ibarat petinju yang tangannya lumpuh. Atau ibarat pelari yang kakinya tak bisa lagi dipakai untuk berlari.

Matikah elang itu?

Jelas tidak. Alam mengajari kita naluri untuk bertahan hidup. Jangan gampang menyerah. Begitu pula dengan elang. Namun, untuk mencapai usia hingga 70 tahun, sang elang harus bersedia melakukan transformasi.

Bertransformasi pada usia 40 tahun jelas menyakitkan dan membutuhkan waktu yang panjang. Begini prosesnya. Sang elang harus terbang terlebih dahulu menuju puncak gunung. Di sana, ia akan membangun sarang di tepian jurang. Begitulah dengan bulu-bulunya yang menebal dan sayap yang terasa berat, elang harus naik menuju puncak gunung. Sangat melelahkan.

Di puncak gunung, elang akan membangun sarang yang akan menjadi rumahnya selama 150 hari. Itulah waktu yang ia butuhkan untuk melakukan proses perubahan. Pada tahap pertama, elang akan mematuk-matukkan paruhnya ke bebatuan sampai paruh itu lepas. Ia kemudian akan berdiam diri, menunggu paruhnya yang baru tumbuh kembali. Lalu, dengan paruhnya yang baru, elang tadi akan mencabuti satu per satu cakar-cakar yang ada di kakinya.

Lagi, setelah itu ia harus menunggu sampai cakar barunya tumbuh. Kemudian, dengan cakar barunya, elang akan mencabuti bulu-bulu tebal yang ada di tubuhnya dan menunggu sampai tumbuh bulu-bulu yang baru. Proses ini memakan waktu lima bulan. Begitulah, setelah melalui proses yang panjang dan menyakitkan, elang tampil dengan wajah barunya. Paruhnya kokoh dan sanggup digunakan untuk merobek mangsanya. Dengan sayap barunya, elang bisa kembali terbang tinggi.

Cakar barunya juga tajam dengan jari-jari yang kuat. Bisa untuk menerkam mangsanya. Dengan penampilan barunya, elang akan menjalani 30 tahun kehidupan barunya sebagai remaja baru. Segar, lincah, dan semakin berbahaya.

Inspirasi dari Elang 

Apa inspirasi yang bisa kita pelajari dari elang? Banyak sekali. Kalau bisa, kita tentu ingin seperti elang yang bisa panjang umur dan menjalani kehidupan kedua dengan semangat ”muda”. Hanya berapa banyak dari kita yang bersedia menjalani proses perubahan yang menyakitkan tersebut? Proses perubahan tadi adalah keputusan besar.

Untuk bisa melakukan itu, kita membutuhkan sejumlah hal. Pertama, nyali. Sang elang harus mempunyai keberanian untuk menyakiti dirinya sendiri demi menjadi elang baru yang lebih gagah. Beranikah kita melakukannya? Kedua, kesabaran. Perubahan tidak terjadi seketika. Ada tahaptahapnya, persis seperti yang dilakukan elang tadi. Begitu pun kita.

Kalau ingin berubah, harus sabar menjalani tahap demi tahap perubahan. Jangan maunya langsung lompat. Ketiga, kesediaan meninggalkan comfort zone. Elang harus pergi menyepi di puncak gunung yang harus didakinya dengan susah payah. Ia harus menjalani 150 hari yang tak nyaman. Kita ingin berubah.

Maukah kita meninggalkan comfort zone? Dalam banyak kasus perubahan, yang sering saya dengar terutama dari kalangan pimpinan adalah silakan kalian semua berubah, asal jangan saya. Perubahan juga menyakitkan bagi mereka yang sudah bergaji besar dan bergelimang kekayaan. Keempat, visi. Elang bertransformasi untuk menjadikan dirinya mudah kembali. Bukan sekadar berubah. Ini masalah yang sering kita hadapi. Kadang kita berubah karena sekitar kita berubah.

Tapi, kita tak tahu apa tujuannya. Kelima, kita mungkin ingin berubah, tetapi ada sekelompok kecil dalam organisasi yang tidak mau. Mereka bukan sekadar tidak mau meninggalkan zona nyaman, tetapi juga menyimpan kepentingan yang lebih besar jika kondisi berada dalam keadaan status quo.

Maka perubahan juga harus diperjuangkan. Ia membutuhkan perlawanan dan menuntut kita agar tidak mudah menyerah. Bicara soal ini, saya jadi teringat kepada oknum para anggota DPR kita yang masih gemar menipu rakyat. Saya tahu, banyak di antara anggota DPR kita yang sadar bahwa reputasi mereka sudah berada di titik nadir.

Mereka ingin berubah. Mereka ingin memulihkan reputasi DPR yang sangat tercoreng oleh skandal ”Papa Minta Saham”. Tapi, sayangnya, hanya sebagian kecil saja dari mereka yang mau bergerak untuk melakukan perubahan. Sebagian besar memilih bersikap wait and see.

Padahal, Barack Obama sudah menegaskan, ”Change will not come if we wait for some other person or some other time. We are the ones we’ve been waiting for. We are the change that we seek.” Lalu, apa lagi sih yang mereka tunggu?

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

 

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *