Dalam persidangan, kita memanggil hakim dengan sebutan penuh hormat: Yang Mulia. Mengapa? Sebab hakim adalah orang yang diberi kuasa untuk menjalankan sebagian dari kewenangan Ilahi. Ia diberi hak untuk menghukum atau mengampuni. Maka, orang dengan kewenangan seperti itu, ia betul-betul menjadi orang terhormat, dan karenanya layak dihormati.
Dalam kehidupan ini kita sering diperkaya dengan kisah tentang hakim yang adil dalam mengambil keputusan, tetapi penuh belas kasih terhadap mereka yang teraniaya dan bicara tentang kebenaran. Salah satunya kisah klasik tentang Hakim Bao.
Nama lengkapnya Bao Zheng. Ia hidup pada zaman dinasti Song dan karena kejujurannya, ia mendapat julukan Bao Qingtan atau Bao si biru langit.
Tapi, Bao bukan hanya jujur. Ia pemberani. Suatu ketika Hakim Bao menjatuhkan hukuman mati untuk menantu kaisar. Keputusannya itu mendapat penolakan keras dari permaisuri dan tentu saja para anteknya. Bao pun habis dihujat mereka. Namun, Bao bersiteguh dengan keputusannya. “Keluarga kaisar dan rakyat punya kedudukan yang sama di muka hukum. Jadi tetap harus tunduk pada hukum negara,” katanya.
Akibatnya itu, ia babak belur diintimidasi. Kalau di sini sekarang, barangkali ia sudah dipansuskan. Namun, Semua ancaman ia hadapi. Sang menantu tadi tetap dieksekusi.
Saya bangga kita juga pernah punya beberapa hakim yang begitu membanggakan, seperti Bismar Siregar dan Yahya Harahap, yang keputusannya benar-benar mewujudkan rasa keadilan. Juga Benyamin Mangkudilaga yang berani menolak suap.
Suap dan Godaan
Kita tentu ingin punya hakim seperti Hakim Bao, Bismar, Yahya atau Benyamin. Bukan cuma hakim, tapi juga menteri, anggota DPR, guru, dosen, wartawan, CEO, pengusaha dan para penegak kebenaran lainnya. Berani, adil, tegas dan penuh belas kasih terhadap yang lemah dan tertindas. Tak takut dengan intimidasi, kehilangan apapun, apalagi cuma sekedar jabatan, tahan godaan serta tak bisa disuap. Bicara godaan atau suap, bulu kuduk saya tiba-tiba meremang ketika kita menyebut kata Yang Mulia pada hakim-hakim kita sekarang ini.
Sebab, belum lama berselang seorang hakim PTUN di Sumatera Barat tertangkap ketika sedang “nyabu” bersama dengan seorang oknum kepolisian setempat.
Di Bengkulu, seorang hakim juga ditahan karena terbukti mengkonsumsi sabu. Bahkan di Sibolga, Sumatera Utara, seorang hakim digerebeg warga saat tengah nyabu bersama selingkuhannya. Gila! Lalu yang tak kalah gila, masih di Sumatera Utara, seorang pengguna narkoba, sebut saja namanya Ucok, menjadi hakim untuk mengadili perkara narkoba juga.
Kasus hakim Ucok ini sungguh ruwet. Ia menerima narkoba dari terpidana yang kasusnya dia putuskan. Ucok bukan hanya mengenal, tetapi juga “berhutang”pada terpidana itu. Terpidana itulah yang menyelamatkan Ucok dari amuk warga yang murka mendapati Ucok berduaan dengan seorang wanita yang bukan istrinya di rumah dinasnya. Belakangan bahkan juga masih ramai diberitakan tentang hakim yang menerima suap dari seorang pengacara kondang. Ini juga ruwet karena banyak pejabat yang ikut terseret.
Apakah Anda rela memanggil Yang Mulia untuk Ucok dan hakim-hakim yang menerima sesuatu untuk menangani kasus kita?
Sekali lagi, apakah Anda rela memanggil hakim-hakim itu dengan sebutan Yang Mulia?
Olok-olok
Tapi, rupanya itu pun belum cukup rendah. Kata Yang Mulia belakangan betul-betul berada di titik nadir. Mengapa?
Saya mendengarnya tak sengaja. Salah satu stasiun radio di Jakarta punya acara reguler yang isinya menampung komentar warga atas suatu isu tertentu. Topik hari itu adalah sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sudah berlangsung selama dua hari, Rabu dan Kamis (2-3 Desember 2015).
Selama program tersebut disiarkan, para pendengar dengan sukahati menyebut pembawa acara dengan panggilan “yang mulia”. Sebaliknya, sang penyiar juga memanggil warga yang sedang mengemukakan pendapatnya dengan panggilan “yang mulia”.
Nadanya, Anda tentu tahu, penuh dengan olok-olok. Saya geli mendengarnya, tapi sekaligus prihatin. Kalau sebalnya sudah tak alang kepalang, seakan tak berdaya, masyarakat kita menjadi powerful dalam ber-olok-olok. Tapi saya yakin ini cuma sementara, sampai akhirnya masyarakat akan berbuat sesuatu yang amat besar bila mereka mendiamkannya.
Ekspresi populer lainnya adalah meme (dibaca, mim). Cobalah klik, Anda akan dengan mudah menemukan meme yang berisi olok-olok soal sidang MKD. Saya jamin, minimal Anda akan senyum-senyum sendiri.
Meski tersenyum, hati saya pahit sekali. Kata “yang mulia”, yang harusnya kita gunakan untuk mengungkapkan rasa hormat kepada seseorang, sekarang digunakan untuk menggambarkan kondisi sebaliknya. Sosok yang bebal, menjijikkan, tak tahu malu, dan “murahan” mempertontonkan kebodohannya sungguh tidak layak mendapatkan penghormatan dengan panggilan Yang Mulia.
Lebih memalukan lagi, mereka diberi jubah berwarna merah putih. Saya sungguh tak rela warna bendera kita dipakai oleh orang-orang seperti itu.
Saya berharap apa yang dipertontonkan oleh para “yang mulia” dalam sidang MKD tidak membuat kita skeptis dan akhirnya memandang rendah para hakim. Sebab masih banyak hakim yang baik dan layak menyandang sebutan Yang Mulia.
Tapi, maaf ya, bukan yang asal bicara di MKD tadi. Bukan salah sebutan Yang Mulia-nya, tetapi merekalah yang tidak pantas memakai panggilan itu.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Nice