Mengundurkan Diri – Koran Sindo

Momentum itu penting. Dalam banyak kasus bahkan momentum bisa menjadi segala- galanya. Misalnya bagi para penikmat sepak bola, momen emas Liga Champions musim kompetisi 2014/ 2015, saat Barcelona melawan Bayern Munich, adalah ketika Lionel Messi mencetak gol pertama pada menit ke- 77.

Gol itulah yang mengubah irama permainan. Sebab setelah itu dalam waktu 13 menit tersisa, Barcelona mampu membobol gawang Bayern Munich dengan dua gol tambahan. Jadi, total 3-0. Apa jadinya ketika Messi mencetak gol pertama, Anda pergi ke toilet? Well, Anda kehilangan momentum tersebut. Mungkin ada tayangan ulangnya, tapi rasanya sudah kurang asyik.

Begitulah, banyak peristiwa di dunia menjadi terasa istimewa karena momentum. Contohnya, pesta kembang api menjadi meriah ketika dilakukan tepat pada malam pergantian tahun. Bukan saat matahari tahun baru terbit. Lalu, banyak suami yang buruburu ke rumah sakit karena ingin mendampingi istrinya saat melahirkan.

Kalau dia terjebak kemacetan dan baru tiba di rumah sakit saat sang istri sudah melahirkan, momen emas pun terasa hilang. Baiklah, saya mau to the point saja. Kalau kali ini saya membahas soal momentum, itu terkait dengan pengunduran diri Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito dari posisinya.

Ia mundur dari posisinya karena gagal mencapai target perolehan pajak yang, maaf, memang terlalu tinggi untuk dapat dicapai dalam konteks saat ini. Sesuai rencana, target penerimaan pajak pada APBN 2015 adalah Rp1.295 triliun. Namun, sampai dengan November 2015, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp865 triliun atau sekitar 66%-nya.

Dengan sisa waktu hanya tinggal satu bulan, menurut perkiraan Sigit, mungkin penerimaan pajak hanya akan mencapai 80-82% atau sekitar Rp1.061,9 triliun. Angka itu masih kurang bila dibandingkan dengan target penerimaan pajak yang dapat ditoleransi, yakni minimal 85%.

Padahal, kalau bisa mencapai angka 85%, Sigit selamat. Tapi, oleh karena merasa gagal mencapai target, Sigit Priadi pun memilih gentleman, mengundurkan diri. Kini, dengan perkiraan penerimaan pajak sampai akhir tahun yang 80-82%, berarti APBN 2015 bakal bolong Rp233,1 triliun. Mau ditutup dengan apa? Utang?

Banyak Nomor 

Saya tak ingin membahas terlalu detail soal itu meski sebetulnya ada langkah yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah fiskal tersebut. Ya, tentu saja ia perlu diberi amunisi yang cukup dan tentu saja perlu dukungan yang datang dari bermacam sektor dan peraturan yang sayangnya kurang diberikan untuk mencapai target yang fantastis.

Baiklah, saya ingin mencatat, langkah mengundurkan diri Sigit tersebut menjadi penting karena setidak-tidaknya dua hal. Pertama, Anda tahu gaji seorang dirjen pajak, bukan? Dulu itu sempat ramai diberitakan atau tepatnya digunjingkan, setiap bulannya mencapai Rp117,37 juta. Dengan pertimbangan tersebut, kalau Sigit mau ngotot bertahan pada posisinya, sebenarnya bisa saja.

Sebab meski tidak berhasil mencapai target perolehan pajak, kita semua masih bisa memakluminya. Apalagi banyak argumen yang bisa dia lontarkan untuk membela diri. Misalnya, dukungan pemerintah yang kurang optimal. Menurut saya, penerimaan pajak kita tak akan pernah optimal selama kita belum menetapkan nomor pokok wajib pajak (NPWP) dengan single identity number (SIN).

Baiklah, Anda mungkin familier dengan NPWP. Kalau SIN? Ilustrasi sederhananya begini. Cobalah Anda buka dompet dan lihat kartu-kartu yang kita miliki. Banyak sekali. Ada KTP, SIM, NPWP, kartu kredit atau kartu debit. Lalu, masih ada lagi kartu asuransi atau kartu keanggotaan klub tertentu. Kalau ditotal, rata-rata orang Indonesia memiliki setidak-tidaknya 16 kartu.

Di luar itu masih ada nomor lain yang juga terkait dengan diri kita. Misalnya, nomor langganan untuk rekening listrik, PDAM sampai nomor langganan internet. Banyak sekali dan saya yakin Anda tak akan pernah hafal nomor-nomor tersebut. Nah, melalui SIN, nomor-nomor tadi diintegrasikan menjadi satu.

Jadi, nomor KTP Anda sekaligus akan menjadi nomor kartu kredit dan kartu debit, bahkan menjadi nomor rekening bank, NPWP, nomor SIM, dan sebagainya. Semuanya bisa disatukan. Bukan seperti sekarang, seseorang bisa memiliki beberapa KTP, beberapa rekening bank, kartu kredit atau kartu debit.

Kalau semuanya disatukan, bukan hanya pekerjaan dirjen pajak yang menjadi lebih mudah, perbankan pun tertolong. Bank Indonesia dan PPATK tak perlu mengawasi terlalu banyak nomor untuk memantau lalu lintas transaksi seseorang. Begitu pula Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan lebih mudah menelisik kalau ada pejabat negara yang korupsi.

Anda tahu di negara ini banyak pejabat negara yang punya beberapa rumah atau dana di bank yang melampaui kewajaran. Maksudnya, di atas batas normal penghasilannya. Namun, semuanya menjadi sulit dilacak karena terlalu banyaknya nomor tadi. Maka, kalau target pajak mau dioptimalkan, satukan semua nomor tadi.

Nomor kependudukan, misalnya, saat ini dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri. Lalu, NPWP atau PBB ada di Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan. Mulai saja dari situ dulu. Tapi, ini sekali lagi kalau pemerintah serius ingin menjadikan pajak sebagai sumber utama penerimaan APBN. Kalau tidak, bersiap-siap saja kita terus gonta-ganti dirjen pajak–meski kalau dari pengalaman terdahulu, banyak dirjen pajak yang aman-aman saja walau tak berhasil memenuhi target pajak.

Nyali 

Kedua, pengunduran diri dirjen pajak menjadi penting kalau melihat momentumnya. Momentum apa? Anda tahu, kini sedang menguat tekanan di masyarakat agar seorang pejabat tinggi negara mengundurkan diri dari jabatannya akibat skandal ”Papa Minta Saham”. Bahkan belakangan masalahnya sudah bergeser.

Kalau semula masih menyangkut masalah etis, setelah rekaman yang durasinya mencapai 1 jam 27 menit beredar, ada gelagat perkaranya bakal berkembang masuk ke ranah pidana. Ini jelas lebih mengerikan. Nah, bagi kita pengunduran diri Sigit seperti mengirim sinyal yang amat jelas. Betapa prinsip profesionalisme itu masih ada di kalangan terdidik kita meski perilaku politisinya karut-marut begini.

Di panggung politik, bukannya mereka malu dan secara jantan mengakui kekeliruan yang dilakukannya, kita malah disuguhi perilakuperilaku picik yang, maaf, sama sekali tidak dilandasi prinsipprinsip kebenaran dan kehormatan diri. Mereka malah balik menyerang demi mempertahankan jabatannya.

Kita semua gemas dengan begitu ngotot-nya sahabat-sahabatnya yang terlihat begitu takut kehilangan jabatan kalau bosnya ikut rontok. Saya pikir mereka yang dibesarkan dalam partai berbasiskan agama bisa lebih pandai membawa diri, mengendalikan hawa nafsu, dan mengedepankan nuraninya. Nyatanya kita justru disuguhi permainan yang sama sekali tidak didasarkanpada kejujuran.

Sebaliknya, mereka malah menghasut dan mengajarkan kebohongan kepada kaum muda. Itukah nilai-nilai yang mereka junjung? Di sejumlah debat pada beberapa stasiun TV, argumentasi yang diangkat mitra koalisi sungguh membuat kita terperangah. Masalah etis didekati dengan cara prosedural dan aspek teknis lainnya.

Kita juga masih menyaksikan pembawa acara yang ikut menggoreng kasus dengan sengaja untuk mengecohkan publik. Namun, seperti biasa, kebenaran tidak akan pernah berhenti mencari pintunya. Sekalipun diputar-putar, ia akan terus mencari jalan sampai dunia mengakuinya. Maka, menjadi menarik menyaksikan dua sikap yang amat kontras.

Bukankah kita juga sudah sering disuguhi berbagai hasil survei dan opini yang menyesatkan? Para menteri yang bekerja dituntut untuk mundur, padahal mungkin sesungguhnya merekalah yang bekerja. Sebaliknya yang pandai membuat berita abal-abal malah menempati rating yang lumayan tinggi seakanakan telah bekerja untuk rakyat. Mereka dilegitimasi oleh survei-survei bayaran.

Sama halnya dengan proyek yang harusnya dijalankan, karena tidak jatuh di tangan yang menginginkannya, pejabat yang bekerja dengan baik justru dituding melakukan kesalahan. Demikianlah kebenaran sedang banyak diuji di negeri ini, membuat pikiran kita terbelah dan sikap masyarakat tak menyatu.

Memang, mengundurkan diri, kalau sudah berperilaku tak pantas atau tidak mencapai target, kalau merujuk kasus Dirjen Pajak tadi, membutuhkan nyali. Tapi, bukankah lebih elegan mengundurkan diri ketimbang dipaksa mundur? Bukankah di dunia ini sudah banyak contoh pejabat tinggi negara yang menjunjung tinggi kehormatannya demi membangun bangsa?

Banyak di antara mereka yang mengundurkan diri, tetapi sama sekali tidak kehilangan kehormatannya. Bahkan banyak orang kemudian menaruh respek. Itu sebabnya saya ingin menutup tulisan ini dengan kutipan dari Joseph Conrad, penulis ternama asal Inggris, ”Resignation, not mystic, not detached, but resignation openeyed, conscious, and informed by love, is the only one of our feelings for which it is impossible to become a sham.”

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

 

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *